Sebelum Aksara Itu Mati di Mulutku

04/06/2025

 

“Aku kehilanganmu seperti aku kehilangan bahasa. Perlahan, lalu lenyap, tanpa ejaan.”

 

Malam telah menua, dan di atas meja kerjaku, lampu belajar menggantung lesu, menyorot lembaran-lembaran kosong yang tak kunjung terisi. Jendela terbuka separuh, membiarkan angin membawa bau tanah basah dan suara jangkrik yang mengisi kekosongan malam. Aku duduk di sini, menatap kursor yang berkedip di layar laptop, seolah menagih janji pada kata-kata yang tak lagi mau singgah.

Kau pernah berkata, “Menulis itu seperti mencintai. Kau harus rela kehilangan, agar tahu betapa berharganya yang pernah kau miliki.” Saat itu aku hanya tertawa, mengira kau sedang bermain metafora, seperti biasa. Tapi kini, setelah kau pergi, aku benar-benar mengerti: kehilangan cinta dan kehilangan bahasa ternyata sama sunyinya. Sama-sama perlahan, sama-sama lenyap, tanpa ejaan.

Pernah, aku menulis puisi untukmu. Kata-kata mengalir deras, menari di ujung jemari, menubuh dalam bait-bait yang kau baca dengan mata berbinar. Kau bilang, setiap kata yang kutulis adalah caraku memelukmu tanpa menyentuh. Kini, bahkan untuk menulis namamu saja aku gamang. Huruf-huruf itu berjatuhan, patah sebelum sempat kurangkai.

Aku ingat sekali malam itu, ketika hujan turun deras dan kita duduk berdua di bawah payung kecil di teras rumah. Kau membisikkan kata-kata yang membuat hatiku meleleh, dan aku berjanji akan menulis selamanya untukmu. Tapi janji itu kini terasa seperti debu yang terbang terbawa angin, tak berbekas.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Lila, sahabatku, suatu malam ketika kami duduk di kafe langganan. Ia menatapku, menunggu jawaban yang tak kunjung lahir.

Aku menggeleng pelan. “Aku… kehilangan kata-kata, Lila. Seolah mulutku ini jadi kuburan bagi aksara-aksara yang dulu hidup.”

Lila tersenyum pahit. “Kamu kehilangan dia, atau kehilangan dirimu sendiri?”

“Mungkin keduanya.” Aku menunduk.

Di luar, hujan turun perlahan. Setiap tetesnya seolah mengetuk-ngetuk jendela hatiku yang telah lama tertutup. Aku ingin menulis tentang hujan, tentang pertemuan, tentang perpisahan. Tapi setiap kali kucoba, jemariku hanya menghasilkan spasi, jeda, dan hening yang panjang.

Hari-hari berlalu seperti lembaran kosong yang menumpuk di sudut meja. Aku mencoba menulis dengan cara berbeda: free writing, kata orang—menulis tanpa berpikir, membiarkan kata-kata mengalir apa adanya. Tapi yang keluar hanya kalimat-kalimat setengah jadi, patah di tengah jalan, seperti nafas yang terhenti sebelum sempat menghela lega.

Aku berjalan ke taman kota, berharap suasana baru bisa menyalakan kembali api yang padam. Di bangku kayu yang basah, aku melihat sepasang kekasih tertawa, tangan mereka saling menggenggam erat. Aku ingin menulis tentang mereka, tentang cinta yang sederhana, tentang kebahagiaan yang tak meminta banyak. Tapi lagi-lagi, kata-kata itu menolak hadir. Aku hanya menatap mereka, diam, seperti patung yang kehilangan makna.

Malamnya, aku bermimpi bertemu kau di antara tumpukan buku-buku tua. Kau tersenyum, membacakan puisi yang pernah kutulis. Suaramu lirih, nyaris tak terdengar, tapi setiap katanya menancap dalam-dalam di dadaku.

“Kenapa kamu berhenti menulis?” tanyamu.

Aku tercekat. “Karena aku kehilanganmu. Karena aku kehilangan bahasa.”

Kau menggeleng, matamu teduh. “Bahasa tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya bersembunyi, menunggu kau temukan kembali. Seperti cinta, ia tak mati, hanya menunggu dipanggil dengan nama yang baru.”

Aku terbangun dengan air mata menetes di pipi. Di meja, secarik kertas kosong menantiku, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menulis satu kalimat: “Aku kehilanganmu seperti aku kehilangan bahasa. Perlahan, lalu lenyap, tanpa ejaan.”

Waktu berjalan, dan aku belajar menerima kehilangan. Aku menulis, meski terseok, meski kata-kata masih sering tersesat di antara jeda dan koma. Aku menulis tentangmu, tentang aku, tentang kita yang kini hanya tinggal kenangan. Aku menulis, bukan untuk menghidupkan kembali apa yang telah pergi, tapi untuk memberi ruang bagi diri sendiri—untuk berdamai, untuk tumbuh, untuk menemukan bahasa baru dalam sunyi.

Suatu sore, Lila datang membawa secangkir kopi. Ia duduk di hadapanku, memperhatikan lembaran-lembaran yang mulai terisi.

“Kamu sudah kembali menulis?” tanyanya.

Aku tersenyum, meski samar. “Sedikit demi sedikit. Kata-kata itu seperti benih. Kadang perlu waktu lama untuk tumbuh, tapi mereka tak pernah benar-benar mati.”

Lila mengangguk, matanya hangat. “Mungkin, kehilangan memang cara semesta mengajarkan kita arti memiliki.”

Aku menatap layar laptop, kursor masih berkedip, tapi kali ini aku tak lagi takut. Aku tahu, selama aku masih mau mencari, bahasa itu akan selalu menemukan jalannya pulang ke mulutku, sebelum benar-benar mati.

Dan di antara jeda dan koma, aku menulis: tentang kehilangan, tentang cinta, tentang aksara yang hidup dan mati di mulut seorang penulis.

“Jika suatu hari kau kembali, mungkin aku sudah menjadi bahasa yang berbeda. Tapi percayalah, setiap kehilangan akan selalu kutulis, agar tak ada yang benar-benar hilang sebelum aksara itu mati di mulutku.”

***

Beberapa minggu lalu, aku duduk di kafe yang sama dengan Lila, mencoba membuka kembali lembaran yang pernah tertutup rapat. Aku bercerita tentang masa-masa ketika kata-kata mengalir seperti sungai, dan bagaimana kini aku merasa seperti padang pasir yang gersang.

“Dulu aku menulis untukmu, untuk kita,” kataku. “Setiap kalimat adalah jembatan yang kubangun agar kau tetap dekat, meski jarak memisahkan.”

Lila mengangguk, lalu menatapku dengan serius. “Apakah kamu sudah mencoba menulis untuk dirimu sendiri?”

Aku terdiam. “Aku takut, Lila. Takut jika kata-kata itu hanya akan mengingatkanku pada kehilangan, bukan pada harapan.”

“Kadang, menulis untuk diri sendiri adalah cara terbaik untuk menemukan kembali harapan itu,” katanya lembut. “Kamu tidak harus menulis tentang dia. Tulis tentang kamu, tentang perjalananmu, tentang luka dan penyembuhan. Biarkan kata-kata itu menjadi pelita dalam gelapmu.”

Aku mengangguk pelan, merasakan secercah harapan tumbuh di dalam dada. Mungkin memang sudah saatnya aku membuka kembali pintu yang selama ini terkunci rapat.

***

Pada suatu pagi yang dingin, aku duduk di balkon apartemen, memandang kota yang mulai sibuk dengan hiruk-pikuknya. Di tangan, secangkir teh hangat yang mulai mendingin. Angin membawa aroma hujan semalam, menyegarkan sekaligus menyayat.

Aku membuka buku catatan lama, menemukan coretan-coretan yang dulu penuh semangat. Ada kalimat yang kutulis dengan tinta merah, “Menulis adalah cara aku bertahan hidup.” Kini kalimat itu terasa seperti bisikan dari masa lalu, mengingatkanku bahwa aku pernah kuat, pernah punya suara.

Aku menulis satu kalimat pendek, lalu berhenti. Menghela napas. Kata-kata itu seperti bayi yang baru lahir, rapuh dan penuh harapan. Aku tahu perjalanan ini belum selesai, tapi setidaknya aku sudah mulai melangkah.

 

St Annis Hidayati, lahir 17 November 2005. Seorang Mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar jurusan Sastra Indonesia yang tinggal di tinggal di Maros, Sulawesi Selatan. Instagram annishdyati_171125