Rebana Cinta dan Puisi-Puisi Lainnya

19/09/2025

 

Anatomi Cahaya 

bulan pucat pasi menyapa
kepada ingatanmu yang telah dipenggal cinta
seharusnya engkau menyambut semesta yang melahirkan kenangan

bukankah di luar sana, masih banyak yang lebih tabah
dari kata-kata yang belum mereka ucapkan

mereka menanam matahari di bawah lidah
berharap esok tumbuh suara yang tak lagi menggigil

sisa-sisa wajahmu membeku di balik cermin retak
dan waktu hanya tangga berlumur debu

 

Hujan yang Mengirim Pesan 

malam beranjak penat, sungsang dalam telapak mimpi
lampu-lampu makin redup, serupa lukisan tanpa warna

seseorang menggulung langit ke dalam secarik amplop
lalu mengirimkannya ke alamat yang tak pernah dijawab

angin membaca puisi dari tubuh yang kehilangan bahasa
sementara jam berdetak mundur di jantung pohon yang terbakar diam-diam

di dada kota, hujan jatuh seperti surat yang lupa ditandatangani
dan kita berjalan, tanpa bayangan, menyeberangi ingatan yang bocor

 

Bayangan Sunyi 

hari-hari jemuran di tiang gantungan masa
detik-detik rebah dalam kantung mata dewa yang lelah
aku menanak sepi di tungku langit
sementara rindumu menyaru sebagai kabut
yang menyelinap ke liang sunyi di tulang senja 

tatapanmu—sebuah peluru kata-kata 
menembus kaca jendela dimensi
mengoyak waktu seperti kertas usang
dan berlayar ke semesta yang tak bernama
menggenggam awan seperti memeluk genta 

kau baringkan tubuhmu di ranjang gema
diselimuti sutera bisu dari suara-suara mati
bulan menjahit luka di punggung langit
dan sunyi, oh sunyi,
ia menari di pelipis bintang
dengan langkah yang tak pernah tiba

 

Sajak untuk Amira 

di kota yang lupa cara bernapas 
kenangan membeku di kening tembok 
langit mengunyah waktu 
dan pagi mengecat mata dengan jelaga basah 

Amira—
namamu masih membisik di sudut tembok yang tak berwarna 
aku menggambar wajahmu
pada kabut yang mengerami malam 

kota ini bukan kota—ia degup rindu
yang mengantuk dalam kemasan mimpi 
jika hidup perjalanan berat 
aku mengetuk tanah dengan kata yang gagal tumbuh 

 

Sebuah Pagi di Stasiun 

jika tubuhku beku adalah lipatan kertas 
biar surat rinduku kau kubur di bawah jendela 
musim telah menjahit sunyi
dengan benang air sungai 

kita bersandar pada tanah 
yang tak pernah mau membaca puisi 
dan lagu kehilangan mulut 
seperti angin mencuri suara dari perut langit 

jiwaku penumpang kereta tanpa masinis 
suatu saat ia turun—
bukan di stasiun,
tapi di sela tulang yang menyerah pada pagi 

 

Cermin Retak 

hari-hari yang ‘kusinggahi adalah rambut basah
yang lupa cara mengering 
matahari menyelinap ke dada
membakar kata sebelum jadi puisi 

aku mengeja cinta dari pelepah daun kertas 
dan notasi hujan ditulis ulang
oleh tangan yang gemetar di kalender kusam 

wajahmu kini kabut di cermin retak 
dan lagu kita hanya gema
yang tersangkut di kancing baju tua 

 

Rebana Cinta 

aku menginginkanmu
seperti gelombang mengulang zikir kepada samudra
dan seperti kalam mencumbu huruf-huruf
yang fana
namun mewujudkan yang abadi

aku menginginkanmu
seperti rebana yang tak henti menepuk rindu
menjadi gema dari perjanjian purba
yang tertulis di Lauhul Mahfudz 

dan kita kelak
menjelma aksara—dibacakan langit 
dengan suara yang tak bisa dilupakan waktu

 

Kitab Tua yang Tersesat 

aku tak pernah tahu 
apakah ini malaikat atau bayang pikiran
yang mengusik malam-malamku

cinta menjelma
menjadi aksara yang tersesat dalam kitab tua
kadang metafora yang mengunci langit puisi

rindu pun menjadi aroma
yang naik seperti asap kurban
mengambang setinggi langit ke tujuh

dan engkau, 
seperti doa yang aku peluk 
agar tak jatuh dari pikiranku

 

Engkau Sedekat Kematianku 

engkau sedekat waktu
yang belum dititipkan padaku

selain embusan
yang tak pernah bisa aku takwilkan dari napas Ilahi 

engkau adalah sabda
yang mengalir dari sunyi
kala aku gagal mengeja arti penciptaan

engkau mungkin hanya bayang
tapi di sana, aku melihat cahayaku sendiri

engkau—permulaan
yang berakhir pada satu huruf: nun- 
titik kekekalan
yang bahkan maut tak bisa menyentuhnya

 

Perempuanku Amira 

wahai Amira, 
aku pikir bibirmu adalah fragmen ayat-ayat yang hilang
dalam kitab langit
dibawa angin dan tak pernah diwahyukan

cinta itu tak perlu disuarakan
cukup tumbuh di kegelapan
menanti ditiupkan ruh oleh malaikat kata

kelak ia hadir
di meja-meja sajak
berubah menjadi lembaran ziarah
penuh dedaunan tinta

wahai Amira, 
di ujung pena 
cahaya kehilangan arah

tinggallah butir-butir doa
yang menetes di sela getaran angin 
mengharap kasihmu dibaca
oleh Tuhan yang tahu nama kita 

 

Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, Februari 1964 -- Bertempat tinggal di Kab. Malang. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983. Founder grup Penyair Berkarya. Karya-karyanya telah dimuat di pelbagai media cetak lokal, nasional, dan Malaysia, antara lain: Koran TEMPO - Media Indonesia  –  Jawa Pos – Pikiran Rakyat – Kedaulatan Rakyat  -  Republika – Solopos –  Majalah Pusat - Suara Merdeka – Majalah Karas – Rakyat Sultra – Kompas.id – Bali Post – Utusan Borneo – Harian Ekspres - Batam Pos – Riau  Pos - Bangka Pos – Erakini.id, dll.  Termaktub dalam puluhan buku antologi.