Lagu Paling Sedih
Aku ingin menyanyikan
lagu paling sedih di dunia
ketika setapak jalan
yang tengah kutempuh
tiba-tiba lumat
ditelan kabut dan rasa takut
Aku ingin menyenandungkan
kata-kata tentang kesakitan
yang berjalan
ketika gerimis terus menggores
setajam ingatan
Aku ingin meniru lolongan anjing
dan suara langit malam yang robek
ketika kau terlalu jauh, sendirian,
di tengah hutan
Ketika pikiranku
mungkin saja jauh
tersesat
Tentang Puisi
Bagaiamana jika aku menulis
dan kau membaca
Bagaimana tidak aku menangis
karena engkau air mata
Gadisku
Ikan-ikan berenang dari dada ke dada
Menyusun jemari api dari remang cahaya
Dari kemacetan darah di seluruh urat ibu kota
Seperti juga mimpi dari bantal dan selimut Amerika
Sepi mulai merambati helaian rambut
Berkobar pada kediaman tiang-tiang baja
Dan sajak cinta hangus terbakar sebelum bicara
Di antara puting malam gadisku asing
Bulan mengerjap lalu sempurna bunuh diri
Dewi Sri
Kau tidak mesti seluruhnya memahami
Cengkih yang tumbuh dalam dingin
Dan panasnya cakar matahari
Kau pun tidak harus bertanya-tanya lagi
Mengapa pohon jati hanya ranggas
Setiap kali tangan kemarau mengutip napas
napas terakhir dari pohon-pohon yang lain
Singkong tumbuh tidak akan menjadi umbi
Mangga berbuah karena kehendaknya sendiri
Cuaca berubah-ubah. Angin datang dan pergi
Aku peduli dan sering pula abai
Tapi kau, siapa pun engkau, masih saja di sini
Bahkan setelah tubuhmu
jadi abu
Jadi debu
Sajak Ini, Cintaku, seperti Hujan di Akhir Desember
Sajak ini, Cintaku, seperti hujan di akhir Desember.
Matamu berjatuhan dari genting rumahku sore hari.
Matari pun mati. Kenangan basah kembali. Aromanya
meruap dari bunga-bunga, dari daun-daun, dari tanah
yang tak dikenal namanya. Ah, barangkali, kita sendiri
telah sepakat melupakannya.
Sajak ini, Cintaku, seperti hujan di akhir Desember.
Sebelum keinginan mengubah diri jadi kembang api,
jadi cahaya-cahaya sementara di langit malam hari
tanpa menyisakan apa pun selain hening kembali,
selain melodi percintaan kita sendiri. Meski akan
kudengar tepuk tangan riuh dari ilusi pertunjukan
entah nan jauh.
Sajak ini, Cintaku, seperti hujan di akhir Desember.
Rambutmu tergerai, rambutmu surai-surai
pertanyaan perihal waktu. Sesuatu yang mengilaukan
gundul kepala penyair Malna: apakah ia berjalan
ke depan atau ke belakang. Mengapa harus ia
berganti-ganti angka. Apakah mesti dirayakan
dengan doa-doa kesedihan atau dengan melodrama
yang menyedihkan dan sia-sia.
Sajak ini, Cintaku, seperti hujan di akhir Desember.
Akan kucintai dengan seluruh melankoli, dan
menjaga rahasia matamu, rambutmu, jari-jemari
tanganmu yang berjatuhan di antara masa lalu
dan masa depan yang menciptakan segala
kecemasan.
Sajak ini, Cintaku, seperti hujan di akhir Desember.
Membasahi pikiranku. Membasahi pikiranku.
Deri Hudaya lahir di Singajaya, Garut Kidul, 3 September 1989. Alumni Pendidikan Bahasa Daerah (Sunda) UPI tahun 2012 dan alumni Pascasarjana Kajian Budaya (Cultural Studies) Unpad tahun 2015.
*Puisi-puisi Deri Hudaya terhimpun dalam buku antologi puisi "Lawang Angin". Klik (di sini) untuk mendapatkan harga spesial.