Kepada Udara yang Tidak Lagi Bernapas dan Puisi-Puisi Lainnya

15/08/2025

 

Kepada Sungai yang Tidak Lagi Mengalir

Apakah kau ingat
bagaimana tubuh-tubuh
ditarik dari air yang gelap
seperti lembaran sejarah
yang dicuci ulang?

Air matamu
tidak lagi asin
sejak racun dan batu bara
mengalir dari hulu
ke napas-napas anak desa.

Kini,
sungai tinggal nama
di peta pendidikan lingkungan
yang tak pernah dibaca.

– Dan setiap kubangan
adalah halaman terakhir
dari buku pelajaran
yang tidak pernah kita buka.

 

Bunyi-Bunyi di Simpang Kiri

Tak ada lagu pengantar tidur
di rumah pengungsian.

Hanya derit atap seng,
dan gelegar dari arah bukit,
yang terdengar
seperti doa-doa
yang tak pernah diijabah.

Anak-anak menggambar granat
di kertas bekas laporan puskesmas.
Seorang nenek menyanyikan
lagu natal
dengan lidah yang separuh
lumpuh oleh duka.

– Listrik padam,
tapi suara dendam
selalu menyala.

 

Seorang Bocah Bermain di Atas Kuburan Data

Ia duduk di trotoar sambil menyusun potongan kabel, seolah merakit mimpi dari sisa-sisa server yang tak lagi diakses. Di sekelilingnya, layar-layar menyala tanpa jeda: menampilkan wajah yang tak pernah tidur dan berita yang lupa diperiksa. Bocah itu menemukan satu chip kecil, tertulis: kenangan yang dihapus tahun lalu. Tapi tak ada yang peduli pada hal yang tak bisa diunggah kembali. Dunia sudah terlalu sibuk mengarsipkan kebohongan yang paling rapi.

Tak jauh dari sana, seorang ibu kehilangan sinyal saat memesan makanan untuk anaknya. Di layar, kata “gagal” muncul berkali-kali, seperti mantra dari zaman yang tak lagi percaya pada tangan manusia. Sementara itu, bocah tadi masih merangkai kabel, membentuk sesuatu yang mirip kupu-kupu. Ia berkata: jika ini bisa terbang, mungkin ia akan membawa pulang ingatan ayahku yang hilang di ruang interogasi digital.

Malam turun tanpa suara. Hanya lampu-lampu CCTV yang tetap berkedip, mengawasi mimpi yang tak bisa dipenjara.

 

Pecah

Seseorang merekam seorang ibu memecahkan telur di emper toko sambil menangis. Telur itu bukan untuk dimakan, katanya, tapi untuk membuktikan bahwa harga pagi ini sudah tak bisa dibeli dengan sisa marah semalam. Video itu viral sebelum akhirnya tenggelam di antara adu make up, debat buzzer, dan gosip seleb yang menangis karena lipstiknya hilang.

Di kantor-kantor mentereng, ada rapat tentang subsidi. Tapi kata “rakyat” di dalamnya tak lebih dari satuan logistik: berapa liter, berapa ton, berapa suara. Di jalan, truk mogok karena solar langka, dan seorang bocah menawarkan bensin eceran dengan harga yang membuat ayahnya sendiri malu.

Malamnya, berita utama menayangkan potret senyum pejabat dengan kalung bunga. Tak ada yang menyebut ibu yang memecahkan telur itu lagi. Seolah semua luka bisa hilang hanya karena kamera berpindah sorot.

 

Kepada Udara yang Tidak Lagi Bernapas

Apakah kau masih sanggup
menyusup ke paru-paru anak kecil
tanpa membawa batuk
dan laporan kualitas yang berwarna merah?

Kita pernah menanam angin
dengan nyanyian pagi
dan panen aroma hujan dari jendela.
Kini, kita menyemprotkan langit
dengan iklan, limbah, dan suara-suara yang menua sebelum waktunya.

Tidak ada musim
yang benar-benar datang tepat waktu.
Tak ada pagi
yang benar-benar bersih dari kepanikan.

– Dan setiap hembusan
adalah isyarat darurat
yang tidak lagi dibacakan di siaran berita.

 

Salman Alade, lahir di Gorontalo, kini menetap di Yogyakarta sebagai mahasiswa doktoral Ilmu Pendidikan Bahasa. Menulis puisi, cerpen, esai, opini, dan buku cerita anak sebagai cara memahami bahasa, realitas, dan ingatan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia juga aktif meneliti literasi anak melalui buku cerita. Karyanya tersebar di berbagai media, antara lain Omong-Omong Media, Besok Libur, Metafor.Id, dan Rubrik Persepsi Gorontalo. @salmenulis_ (Instagram)