Pohon Bercerita Apa Hari Ini? 

15/10/2025

 

Aku punya nama yang cantik, tentu saja. Siapa yang bisa membaca namaku dengan benar, maka dia bisa menjadi temanku. Banyak orang yang mengantre untuk menjadi temanku. Lihatlah ini, semua yang ada di kebun ini contohnya. Mereka sudah tidak sabar untuk mencoba mengeja namaku. Mari kita lihat hari ini, siapa yang berhasil mengucapkan namaku dengan benar. 

Aku mulai mengukir satu per satu huruf yang membentuk namaku di atas tanah. Maklum, calon teman baruku harus disuguhi tulisan dalam bentuk besar supaya bisa melihatnya. Maksudku, mereka memang sedikit lebih bodoh dariku, hihihi. 

*** 

“M-A-T-I-L-D-A”. 

Rangkaian namanya sudah tertulis agak berantakan di atas tanah. Meski begitu, usianya baru 5 tahun dan untuk anak seumurannya, Matilda cukup pandai. Namanya memang secantik parasnya. Rambutnya tidak terlalu panjang, tapi kecokelatan dan lebat, cocok sekali dengan bentuk wajahnya yang bulat. Belum lagi mata cokelatnya yang lebar ditambah bibirnya yang kecil membuat siapa saja akan tertuju padanya. 

Ia punya kebun yang luas di pelataran depan rumahnya. Setiap hari, Matilda akan menghabiskan waktu bermainnya di kebun itu. Pelbagai tumbuhan hidup dengan makmur di sana. Cahaya matahari yang bersinar hangat setiap hari, udaranya bersih, air juga selalu rutin memandikan dedaunan para tumbuhan di sana. Sayangnya, aku bahkan Matilda tidak bisa menjelaskan bagaimana situasi akar tumbuhan yang menyerap makanan di dalam tanah. Tapi, Matilda memberitahuku bahwa tumbuhannya hidup dengan baik. Itu cukup menenangkanku. 

Aku hanya bisa mengawasi anak itu bermain, bergembira, berdansa sesekali, bersama teman-temannya di kebun. Aku penasaran siapa yang berhasil mengeja namanya dengan benar dan menjadi teman barunya kali ini. 

“Matilda, bagaimana?” 

Matilda menunjuk pohon di sampingnya dengan senyum lebar lalu memeluknya. Aku mengerti, rupanya pohon mangga itu adalah teman barunya. 

“Siapa namanya?” 

Matilda hendak mengukir nama pohon itu di atas kulit pohonnya. Sebelum aku melarangnya, dia mengangguk seperti mematuhi perintah dari pohon itu. Lalu, Matilda memberitahuku bahwa tidak boleh mengukir di pohon, itu akan menyakitinya. Aku cukup senang mendengar apa yang Matilda sampaikan barusan. Ia kemudian memberitahuku bahwa nama temannya, “Pohon”. 

“Namanya sesuai untuknya,” aku tertunduk sambil tersenyum mengelus lembut kepala Matilda. Dia ikut tersenyum lalu meraih tanganku untuk menuju ke Pohon. Tiba-tiba, Matilda ingin aku mengikutinya untuk memeluk si Pohon itu. Aku menurut saja dengan apa yang dia mau. 

Aku merasakan Pohon ini bergoyang perlahan akibat angin. Sambil memejamkan mata, aku mulai memikirkan seperti apa pohon yang aku peluk ini. Aku pikir diameternya sekitar 15 cm sehingga tanganku bisa melingkar sempurna di batangnya. Kulitnya kasar, tapi belum cukup tebal seperti pohon besar di seberang jalan. 

Di tengah larutnya pikiranku, Matilda menggugah kesadaranku kembali. Aku menunduk dan beralih fokus memerhatikannya. Ia ingin aku memberitahunya sesuatu. 

“Apa yang Pohon katakan kepadamu?” 

“Pohon tidak berbicara apa pun kepadaku. Dia hanya bergoyang karena angin,” aku sambil tertawa menyampaikan hal ini. 

“Bohong. Pohon berkata sesuatu tadi, aku merasakannya!” Wajah Matilda berubah menjadi merah padam. 

“Aku minta maaf, Matilda. Tapi, aku tidak bisa mendengar Pohon berbicara.” 

Matilda akhirnya mendorongku untuk menjauh dari Pohon. Aku mengerti, dia tidak ingin aku mengganggunya sementara waktu. Sungguh, bahkan orang-orang juga yakin bahwa telinga yang normal bahkan tidak bisa mendengar pohon berbicara. 

Aku akhirnya hanya mengawasi Matilda, dari kejauhan. Dia masih sibuk memeluk Pohon sambil menunjukkan raut muka mendengarkan sesuatu dengan telinganya. Aku mulai merasa iba ketika melihatnya. 

*** 

Huh, aku agak kesal dengan Zizu. Bisa-bisanya telinganya yang normal itu tidak bisa mendengar Pohon berbicara. Padahal, aku saja bisa merasakan getarannya. Aku menggerutu sambil tetap menempelkan telingaku baik-baik pada Pohon. Harapannya, aku bisa mendengar sesuatu dengan jelas apa yang Pohon sampaikan. 

Aku menyerah, telingaku memang tidak bisa mendengar apa pun. Aku lalu memutuskan untuk meminta orang lain mencoba mendengarkan Pohon dengan telinganya. Kebetulan sekali, Pak Tua Ode sedang menyiram tanaman di depan rumahnya. Aku lalu melambaikan tangan sambil berusaha memanggilnya. 

Bagus sekali, Pak Tua Ode mengerti panggilanku dan datang sambil tersenyum. Aku menyuruhnya untuk memeluk Pohon sambil menempelkan telinganya. Aku menunggunya memberitahuku sesuatu tentang apa yang dikatakan Pohon ini. 

Aku tidak tahu, tapi sungguh aku melihat Pak Tua ini menangis dengan mata terbuka. Aku mencoba menyadarkannya dengan menggoyangkan badannya. Pak Tua Ode lalu menatapku sontak aku bertanya, “Apa yang pohon katakan?” Pak Tua Ode lalu meraih tanganku dan menyampaikan sesuatu. 

“Matilda, terima kasih sudah mendengarkanku berbicara.” Pak Tua Ode hanya tersenyum setelahnya dan memelukku. 

Aku masih tidak mengerti maksudnya. Aku, mendengarkannya? Sungguh? 

*** 

Aku memutuskan untuk tetap mengawasi mereka berdua dari kejauhan, atau haruskah aku sebut bertiga? Pak Tua Ode mulai membuatku merasa janggal karena menangis setelah memeluk Pohon. 

Untuk mengobati rasa penasaranku, aku mengikuti Pak Tua Ode ketika berjalan meninggalkan Matilda. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. “Pak Ode, tunggu aku. Aku ingin tahu, apa yang terjadi?”

“Demi Tuhan, aku mendengar si Pohon itu berbicara, Zizu. Pohon itu benar-benar berbicara kepadaku. Sungguh, aku tidak berbohong apalagi kepada anak setulus Matilda,” Pak Tua Ode kembali meneteskan air mata. Aku tahu, ia tidak mungkin berbohong. 

Aku memikirkannya sepanjang malam. “Lalu, bagaimana Matilda bisa mendengarnya berbicara? Apakah telinganya..” Ah, aku tidak bisa berpikir dengan jernih terkait hal mustahil semacam ini. Lebih baik, besok aku buktikan sendiri. Entah mana yang benar, apakah Pohon itu memang bisa berbicara, atau Matilda memang bisa mendengar. Eh, bukankah keduanya sama saja? Sebaiknya aku segera tidur saja. 

Rasanya aku baru terlelap sebentar. Dan sekarang, sudah ada yang sibuk menarik selimutku. Aku kenal aroma ini, harum manis, lembut, dan menenangkan dari rambut Matilda. Dia selalu membangunkanku dengan cara yang penuh kelembutan semacam ini. Aku tidak bisa menolak panggilannya untuk bangun. 

“Iya, baiklah. Aku sudah bangun sekarang,” aku meraih tangannya sambil tersenyum. 

Matilda turun dari ranjang dan berusaha meraih handuk yang tergantung tinggi di belakang pintu. Aku paham maksudnya menyuruhku untuk segera mandi. 

“Baik, tuan putri kecil. Tunggu sebentar ya, nanti aku menyusulmu di meja makan,” Matilda bergegas keluar dari kamar dan duduk dengan tenang di ruang makan. 

Aku benar-benar tidak bisa melupakan apa yang terjadi kemarin. Air menghujani kepalaku dengan sopan ini mudah sekali membawaku terhanyut dalam segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi soal kemarin. Apa aku coba memberikan telingaku lagi kepada Pohon? 

Aku mengurus Matilda sejak dia berumur 2 tahun. Putri kecil itu dititipkan keluarganya sejak mengetahui dia tuna rungu. Parasnya yang seperti mutiara ternyata tidak cukup untuk memenuhi “sempurna” bagi keluarganya. Anak itu bukannya tak sempurna, hanya saja mereka yang tak bisa melihat kesempurnaan yang sesungguhnya. 

Selama bersama Matilda, aku menjadi lebih merasa hidup. Benar yang dikatakan Pak Tua Ode, Matilda itu anak yang tulus. Aku juga bisa merasakannya. Semua ini terlalu gila untuk bisa aku terima. Tapi, disisi lain aku tidak bisa menyembunyikan bahwa ada kepercayaan terselubung dalam pikiranku. Ayolah, Zizu, kamu harus bisa membuktikan semuanya jika tidak ingin tidur malammu kembali terganggu. 

*** 

“Selamat pagi, Pohon,” aku memeluk Pohon untuk memberitahu kehadiranku. Aku penasaran, apakah pelukanku menghangatkannya ya? Andai saja ada telinga yang bisa mendengarnya. Dan yang pasti, mulut yang membantuku mengajukan pertanyaan yang bisa dia mengerti. 

“Emmm, aku tidak yakin apakah dia mengerti bahasa tanganku di kulitnya?”Aku mulai menggerakkan tanganku merangkai kata di atasnya. Aku terkejut, ada getaran yang menyambutku dari Pohon. Dia mengerti bahasaku, aku senang sekali. Tapi, sayang sekali aku tidak bisa mendengarkan suaranya. 

“Selagi Pohon, mengerti aku ada untuknya. Aku coba dengarkan saja getaran-getaran ini.” Aku melanjutkan pelukanku kepada Pohon dan memberikan telingaku kepadanya. Getarannya terus terasa di telingaku, Pohon ini punya banyak cerita ternyata. 

Aku merasa setiap getarannya punya makna berbeda sesuai lantunannya. Aku pikir, Pohon ini punya cerita sedih yang sayangnya tak bisa aku mengerti. Aku hanya bisa memeluknya. 

Entah apa yang Pohon, lalui selama ini. Apakah dia juga disingkirkan keluarganya seperti aku? Soalnya, aku tidak melihat jenis pohon mangga lainnya di sini. 

Aku butuh telinga yang bisa mendengarkan Pohon ini. Ayolah, siapa pun tolong bantu aku mendengarkan keluhan temanku ini. Zizu berjalan kemari, apakah dia bisa membantuku? Kemarin saja dia tak bisa mendengar suara Pohon. Ah, tapi itu kan kemarin. 

Aku meraih tangan Zizu dan memintanya mendengarkan Pohon. Aku berharap, kali ini dia bisa mendengar Pohon dan memberitahuku tentang ceritanya. Aku memang baru mengenal Pohon kemarin, tapi rasanya dia sangat membutuhkan teman untuk berbagi kisahnya. Aku khawatir sesuatu akan terjadi kepadanya. 

“Kamu ingin aku mendengarkan Pohon bercerita, Matilda?” Zizu mengisyaratkan kepadaku. Aku mengangguk dengan penuh semangat. 

Aku mengawasi Zizu memeluk, Pohon dengan tulus. Dia menempelkan telinganya tepat di hati Pohon. Aku harap, dia bisa mendengar Pohon bercerita. Aku tidak mau hanya menunggu, aku juga harus memastikan getaran Pohon masih ada. 

Aku memejamkan mata dan memeluk Pohon dengan erat. Andai aku bisa bernyanyi, pasti akan aku senandungkan lagu terindah di dunia untuknya. Andai saja aku bisa mendengar, pasti akan aku berikan seluruh telingaku untuknya. Eh, tidak seluruhnya juga sih, Zizu dan Pak Tua Ode juga boleh memilikinya. 

Aku merasa ada sesuatu yang mengalir dari mataku dan mulai membasahi pipiku. Perasaan seperti apa ini, Tuhan? Aku juga bisa merasakan tanganku mulai hangat. Aku yakin, Zizu menggenggam tanganku karena Pohon tak punya tangan yang hangat. 

“Matilda.” Zizu mengisyaratkan namaku di atas tanganku. Aku mulai membuka mata dan menyadari bahwa bukan hanya aku yang menangis. Zizu juga menangis. 

“Zizu, menangis? Apa dia bisa mendengar Pohon?”, pikirku. 

“Aku punya sebuah cerita dari, Pohon untukmu.” Aku tidak mau menyangkalnya, aku akan simak baik-baik cerita Pohon ini dari Zizu. 

“Katanya… Angin bertiup pelan sekali hari ini. Dia bisa bertahan dengan mudah kali ini,” aku menyimak dengan baik setiap petikan jari indah Zizu. 

“Biasanya, angin akan lebih murka di siang hari, lalu menuju senja, lalu ketika malam, lalu dini hari, lalu…” Zizu menangis dan aku hanya bisa mengusap air matanya sambil melihat ke arah Pohon. 

“Teruskan, Zizu. Aku berusaha mendengarkan. Eh, menyimak jari-jarimu.” 

“Pohon sudah terbiasa dengan anginnya. Dia hanya perlu bertahan 1000 tahun lebih lama. Dan saat itu, katanya dia akan diakui oleh semua orang bahwa dia juga sehebat pohon besar tua di depan rumah Pak Tua Ode.” 

“Hanya butuh bertahan 1000 tahun lagi. Saat itu tiba, Pohon akan mendapatkan pujian, pujaan, dan diperhatikan. Iya kan?” 

“Matilda, kamu selalu menjadi pendengar yang baik. Kamu, baik. Pohon berterima kasih karena kamu mau mendengarkannya.” 

Aku tidak mengerti maksud Zizu yang terakhir. Aku pendengar yang baik? Mungkinkah? Lalu kenapa aku tidak bisa mendengar burung berkicau, hanya getaran. Kenapa aku tidak bisa mendengar Zizu tertawa atau menangis, hanya getaran. Dan, kenapa aku tidak bisa mendengar cerita ini langsung dari Pohon, hanya getaran. Hanya getaran. 

Tapi, ya sudahlah. Aku cukup tenang mendengar bahwa Pohon sudah terbiasa menghadapi angin yang murka. Bahkan, dia mau untuk hidup 1000 tahun lebih lama. Kalau Pohon bilang aku adalah pendengar yang baik, aku percaya itu. Tapi, tunggu. Lalu siapa yang akan mendengarkan Pohon selama 1000 tahun kemudian? 

Aku sekarang tahu! Aku akan menjadi sahabat terbaik Pohon mulai hari ini. Dia bukan lagi temanku, tapi dia adalah sahabatku. Aku ingin hidup lebih lama. Sekarang, aku tahu kenapa 

aku harus hidup lebih lama. Iya, aku tahu. Aku tahu! Akhirnya aku tahu! Aku punya alasan yang layak untuk bisa terus hidup! Aku punya itu! Aku mau hidup lebih lama sampai 1000 tahun lagi. Aku mau! Tapi tunggu. Apakah manusia bisa hidup sampai 1000 tahun lamanya? Emmm, baiklah akan aku pastikan ini besok sampai ada telinga baru yang Pohon mau. 

Aku merasa sangat senang hari ini. Zizu untungnya masih punya tulang yang kuat untuk aku ajak menari. Pak Tua Ode? Aduh, sebaiknya jangan. Dia cukup melihat kami menari saja dari beranda rumahnya. Aku melambaikan tanganku kepadanya. Dan, aku berharap dia juga bisa bertahan 1000 tahun lebih lama lagi. 

“1000 tahun lagi, Zizu. Aku akan bertahan selama itu untuk mendapatkan pujian dan diakui bahwa aku bisa sekuat Pohon melawan angin yang murka”, pikiranku meyakinkan itu. Ini adalah hari terbaik. Aku melihat Zizu tersenyum lebar seperti buah semangka hari ini. 

 

Karisma Nur Fitria, seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan berbagai genre baik fiksi maupun non fiksi. Beberapa karya jurnalistik dan sastra pernah diterbitkan seperti features, esai, opini, cerpen, puisi, dan ulasan buku, di berbagai media online maupun cetak. Instagram : @karismaa_nf