Kotak Musik Cinta 

08/10/2025

 

TOKO itu berdiri di pojok jalan sempit. Plangnya dari papan tua yang catnya sebagian mulai terkelupas. Di dalam, rak-rak besi berjejer penuh aneka barang antik. Bau debu sedikit menyeruak begitu pintu toko dibuka. 

Ia masuk pertama kali ke toko itu di suatu Kamis sore yang gerimis. Jaketnya agak basah. Sebagian helai rambutnya menempel di keningnya. Matanya berputar kagum pada jam kuna, boneka perunggu, dan cangkir porselen yang seolah menatapnya. 

Di salah satu sudut ruangan toko, seorang gadis berdiri mengamati gelang perak. Tangannya ragu-ragu, seakan benda itu bisa patah hanya karena disentuh. Senyumnya tipis, hampir malu-malu, saat sadar ada tatapan yang mengarah padanya. Dalam keheningan, mereka sama-sama kikuk. Tapi, keterdiaman itu justru menjadi awal. 

Pertemuan pertama mereka singkat. Hanya obrolan ringan soal gelang yang katanya terlalu cantik untuk sekadar dipajang. Tapi, kalimat sederhana itu menancap seperti jarum halus di hati keduanya. Ada rasa yang belum dinamai. Tapi, cukup kuat untuk menuntun langkah mereka untuk kembali. Seakan gelang itu tak hanya perak, tapi pintu menuju sebuah lorong cerita nan panjang. 

Maka, beberapa hari setelahnya, keduanya sama-sama datang lagi ke toko itu. Tidak pernah benar-benar janjian. Namun, selalu bertemu di ruang penuh benda-benda bisu itu. Waktu seolah diam ketika mereka berdiri di antara rak-rak besi. Dari awalnya sebuah kebetulan, berubah menjadi kebiasaan yang tak bisa dijelaskan untaian kata maupun rajutan kalimat. 

Mereka berbicara panjang, menertawakan telepon engkol lawas, atau pura-pura berpose dengan kamera analog yang sudah tak berfungsi. Setiap canda terasa ringan. Tapi, meninggalkan sisa dalam ingatan. Mereka saling mencuri pandang, lalu berpura-pura sibuk dengan barang lain. Toko itu perlahan menjelma ruang rahasia yang hanya mereka berdua miliki. 

Sang pemilik toko, lelaki tua berkacamata, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, seraya tersenyum saban kali melihat mereka 

akhirnya keluar toko tanpa membeli apa-apa. Pemilik toko sudah paham bahwa ada sesuatu di antara keduanya yang lebih berharga dari sekadar harus bertransaksi membeli barang-barang. Dalam hatinya, ia merasa toko itu bukan lagi sekadar tempat dagang, tapi sebuah panggung kecil bagi kisah yang sedang tumbuh dan berkembang. Kadang, ia pura-pura sibuk, agar tak mengganggu keduanya. 

Di meja kaca dekat jendela, ada satu benda yang senantiasa menarik perhatian mereka berdua. Ia adalah sebuah kotak musik kecil. Ukiran bunga menghiasi sisinya. Saat kotak musik itu diputar, melodi lembut mengalun. Suaranya syahdu, dan itu yang membuat keduanya terpikat dan sekaligus terikat pada kotak musik itu. 

Gadis itu sering menunduk lama menatap kotak musik. Jarinya menyusuri ukiran bunga dengan pelan. Wajahnya berubah tenang, seolah tenggelam dalam dunia lain. Adapun sang pemuda hanya memperhatikannya, membiarkan kesunyian bicara lebih banyak daripada kata-kata. Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang tak terucapkan, namun jelas kian menggelora. 

“Kenapa tidak kau beli saja kotak musik itu?” tanya pemuda itu, di suatu petang cerah, setengah bercanda. Ia pun menunggu jawaban dengan jantung yang berdegup. Kotak musik seolah ikut menahan nafas, sebelum melodi berikutnya diputar. 

Gadis itu menggeleng pelan. “Kalau aku beli, aku takut musiknya berhenti selamanya,” ucapnya. 

Pemuda itu tak tahu harus tertawa atau diam. Kalimat itu menancap, seperti kode yang ia belum bisa pecahkan sepenuhnya. 

Toh mereka sama-sama meledakkan tawa akhirnya, meski getir tipis terasa di bibir. Seakan mereka sadar ada sesuatu yang lebih serius, tapi memilih menutupinya dengan candaan. Dan tawa mereka terdengar janggal, tidak seceria biasanya. 

Hari-hari selanjutnya, mereka tetap setia kembali ke toko itu. Setiap rak besi menjadi saksi tambahan cerita kecil yang tak pernah keluar dari ruang itu. Kadang sang pemuda membawa soft drink, dan mereka menyesap bergantian sambil berbagi kisah dan pengalaman. Akan tetapi, di sela-sela itu, kerap muncul tatapan yang mulai menyimpan sesuatu yang lebih berat. 

Selama pertemuan mereka, anehnya, keduanya tidak pernah bertukar nomor kontak. Juga tidak pernah menanyakan alamat. Dunia mereka hanya ada di dalam ruang toko itu. Seolah jika dibawa keluar, segalanya akan runtuh. 

Hingga suatu sore, pemuda itu datang lebih awal. Kali ini hujan turun deras sekali, membuat jalanan berubah menjadi sungai kecil. Ia pun menunggu di depan kotak musik, yakin gadis itu akan muncul seperti biasanya. Waktu terasa merambat lambat. Setiap detik seperti bisikan untuk lebih bersabar telinga. 

Namun, pintu toko tidak pernah berderit terbuka. Jam antik bolak-balik berdentang. Hujan mulai reda. Tapi, kursi di dekat jendela, di depannya, masih tetap kosong. Pemuda itu menunggu hingga toko hampir tutup. Ketika akhirnya lampu dimatikan satu per satu, ia masih berharap sosok yang ditunggunya muncul. 

Esoknya, ia kembali. Gadis itu tetap tak tampak. Pemilik toko hanya mengangkat bahu. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya. “Mungkin jalan ceritanya sudah berbeda,” katanya singkat. Tapi, kalimat itu justru menerbitkan prasangkanya. 

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Pemuda itu tetap datang. Rak-rak besi kian berkarat dan berdebu. Tawa yang dulu akrab kini hanya tinggal kenangan. Ia mulai merasa toko itu seperti ruang hampa tanpa udara. Kotak musik jadi satu-satunya alasan untuk membuatnya tetap bertahan. Benda itu tetap berada di meja kaca, dingin dan tak tersentuh. Ia sering duduk lama menatapnya, seakan berharap melodi itu bisa memanggil kembali seseorang. Maka, ia memutarnya lagi dan lagi, hanya untuk mengisi kekosongan. Setiap nada mengingatkan pada tatapan mata gadis itu. Namun, semakin sering ia dengar, semakin terasa seperti nyanyian lara. Musik yang dulu lembut kini menusuk-nusuk, membuat hatinya pilu. 

“Kau tidak membelinya juga?” tanya pemilik toko, suatu senja. Ia menatap pemuda itu lama, seolah melihat sesuatu yang menyedihkan. 

Pemuda itu hanya menggeleng. Senyumnya hambar. “Kalau aku beli, aku takut musiknya mungkin benar-benar berhenti.” 

Pemilik toko menghela nafas panjang, lalu memilih diam. Ia tahu sesuatu yang pemuda itu tidak tahu. Ada rahasia yang sengaja dibiarkan 

menggantung. Tatapannya pada kotak musik terasa berbeda, seperti sedang melihat sebuah kuburan kecil. 

Di dalam hati sang pemuda, kini menumpuk sejumlah tanya. Mengapa ia tidak pernah bertanya lebih jauh tentang gadis itu? Mengapa segalanya hanya dibiarkan samar? Mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Ia merasa bodoh, seakan menyia-nyiakan sesuatu yang sudah ada di genggamannya. Penyesalan menumpuk-menumpuk seperti tumpukan debu di rak-rak toko itu. 

Kotak musik makin tampak baginya seperti teka-teki. Pemuda itu mulai percaya benda itu menyimpan sesuatu hal. Ia meraba ukiran bunga dengan hati-hati, seakan ada pesan tersembunyi di baliknya. Bayangan wajah gadis itu senantiasa muncul setiap kali melodi mengalun. 

Suatu petang, ia mendapati meja kaca telah kosong. Kotak musik itu tidak terlihat lagi. Jantungnya seperti ditarik paksa dari tubuhnya. Ia buru-buru berlari mencari sang pemilik toko dengan wajah pucat. Nafasnya tersengal-sengal, seperti habis menyelesaikan perlombaan lari maraton. 

“Kotak musik itu… siapa yang membelinya?” tanyanya, Suaranya, hampir seperti teriakan. 

Pemilik toko terdiam lama, lalu menggeleng. “Tidak dibeli. Dia dititipkan.” 

“Oleh siapa?” 

“Oleh gadis itu, malam terakhir sebelum ia…” Kalimatnya terhenti. 

Matanya berkaca, seolah ia enggan melanjutkan. Namun, akhirnya ia berkata pelan, “Sebelum ia meninggal. Kecelakaan.” 

Mendengar itu, sang pemuda merasa dunia seakan runtuh. Ia terhuyung. Lututnya hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Kepalanya berputar. Dadanya sesak. Semua tawa, semua tatapan, tiba-tiba berubah jadi bayangan hantu. Kotak musik itu kini seperti nisan. 

Pemilik toko akhirnya menyerahkan kotak musik itu dengan hati-hati. “Ia bilang bahwa kalau dirimu terus datang, aku diminta untuk menyerahkannya padamu.” 

Tangan si pemuda gemetar saat menerimanya. Rasa dingin kayunya merayap hingga tulang. Dengan pelan, ia memutar tuasnya. Melodi 

yang selalu didengarnya mengalun, tapi kali ini terdengar sangat berbeda. Ada retakan, seperti suara dari balik tanah. Nada-nadanya terdengar menyerupai tangisan. 

Saat ia membuka bagian dalam kotak musik itu, ia mendapati secarik kertas kecil. Tangannya bergetar saat menariknya keluar. Ia membaca tulisan yang tertera dengan mata berkaca. 

“Aku tidak pernah benar-benar hilang,” begitu tulisnya. “Aku hanya ingin kau akhirnya membeli hatiku.” Kalimat itu sederhana, tapi menghantam seperti palu. Ia lantas menahan isak. 

Kotak musik terus berputar, meski nadanya makin pelan. Ia menatap ke lantai, tak mampu bangkit lagi dari kursinya. 

Dan malam itu, ketika toko akhirnya tutup, pemilik toko menemukan sang pemuda masih duduk di kursi dekat jendela. Kotak musik tergeletak di pangkuannya. Diam. Senyum tipis tertinggal di bibirnya, seolah ia ikut pergi bersama melodi terakhir.*** 

 

Djoko ST, penulis lepas dan blogger. Selain aktif menulis, juga aktif bersepeda dan berkebun. Bisa disapa lewat IG @enambelaspas.