Aku menolak untuk disiksa sedemikian rupa. Tidak mudah menyiksaku. Sebagaimana yang ia pelajari dalam seminar kepenulisan terakhir yang ia ikuti, ia mencoba untuk membuat tokoh aku. Dalam seminar itu, salah seorang peserta bertanya tentang bagaimana ia harus menulis cerita. Mudah saja, kata sang penutur. Buatlah seorang tokoh, letakkan dalam sebuah rumah yang seluruh jendela dan pintunya tertutup, dan bakar rumah itu. Kemudian pikirkan bagaimana akhir hidup si tokoh, apakah hidup atau selamat. Mengapa harus hidup atau selamat? Dan si penulis membuat tokoh aku dan benar-benar ingin menyisaku. Maka sebelum aku benar-benar tersiksa, dan sebelum si penulis benar-benar menuangkan tulisannya, aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Mudah saja bagiku untuk masuk ke dalam rumahnya. Sebagaimana yang ia imajinasikan, ia belum memberi sebab kenapa aku harus diikat dalam keadaan seluruh pintu dan jendela tertutup. Maka aku menuliskan kisah tentangnya sebelum ia menulis kisah tentangku. Sebelum aku benar-benar dihidupkan, dibakar, dan mungkin saja mati dengan cara mengenaskan. Dengan sebab apa pun, tak ada manusia yang bisa menerima begitu saja perlakuan yang begitu menyedihkan.
Meski aku singgah sebentar, entah aku benar-benar akan ia tuliskan atau tidak, tetapi aku telah bisa membaca seluruh kehidupan dan semua yang dipikirkannya. Ia lelaki bodoh yang bercita-cita menjadi penulis. Ia terlalu takut menuangkan kata demi kata. Pernah suatu waktu, aku mendapati ia—yang menciptakan tokoh aku, hanya melamun saja di depan komputer. Ia hanya mengetik beberapa kata, menghapus, menggantinya dengan kalimat yang lain, dan menghapusnya lagi. Selama berjam-jam hanya itu yang ia lakukan. Banyak ide yang berkelebatan dalam pikirannya, tetapi aku melihat ia sangat kesulitan menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan.
Ia telah meninggalkan pekerjaannya demi mendapatkan penghasilan dari menulis, maka aku menyebutnya sebagai lelaki bodoh. Ia terlalu sibuk mencari-mencari pelatihan kepenulisan nasional, dan ia melupakan hal terpenting yang harus dilakukan untuk menjadi penulis, yaitu: banyak membaca dan mengetik. Di hari pertama setelah seminar kepenulisan, aku melihat semangatnya yang menggebu dan berapi-api. Akan tetapi, ketika ia memasuki kamar kontrakan yang sunyi senyap, niat semacam itu seperti sirna seketika. Mungkin aku tak berbakat menjadi penulis, katanya dalam hati yang aku sendiri dengan jelas mendengarnya.
Ia mengenal sebuah nama, Ken. Seseorang yang benar-benar hidup dari menulis. Berbagai tulisannya dimuat di media cetak, koran lokal dan nasional. Dia juga menjadi penulis lepas di beberapa acara televisi. Baru-baru ini, ia mendapati Ken mendapatkan kontrak eksklusif dari platform nasional. Maka, melihat Ken yang hidupnya lebih menggembirakan dibanding dengan hidupnya, ia pun bercita-cita hidup dari menulis. Baginya, hal menggembirakan adalah segala hal bisa dikerjakan dari rumah. Bukan pekerjaan yang hendak dicari, tetapi pekerjaan yang mencari. Maka ia memutuskan untuk mengikuti jejak hidup Ken. Ia mengirimkan surat pengunduran diri dari tempatnya bekerja, membeli laptop dari sisa tabungan yang tersisa. Dengan laptop itu, ia berusaha untuk mengetik. Hari pertama, ia begitu sangat kesulitan, kemudian menyerah dengan keinginan menjadi penulis. Namun, semangatnya kembali tumbuh saat Ken memosting foto rumahnya yang baru dengan tulisan di bawah postingan itu, hasil dari menulis selama ini. Ia
kembali terpacu. Ia kembali mencoba mengetik, hendak mengikuti jejak Ken, dan masih tanpa hasil.
Ia mencoba mencari dan bergabung dengan komunitas menulis untuk mewujudkan impiannya. Di awal ia mencari kelas kepenulisan, ia pernah ditipu. Ia diharuskan membayar jumlah tertentu untuk mendapatkan materi tentang kepenulisan. Orang itu menjanjikan bukunya akan segera terbit dan laku keras di pasaran. Ia tak sadar itu adalah bualan belaka. Orang itu kabur entah ke mana, dan membawa pergi uang yang jumlahnya tak sedikit. Ia tak tahu harus mencari ke mana orang yang telah membawa lari uangnya.
Ia kembali bermimpi menjadi penulis setelah melihat Ken tampak bahagia dengan rumah barunya. Ia masih belum mengetik tentang apa pun. Ia kapok ditipu, dan sedikit trauma dengan pelatihan yang diikuti untuk pertama kalinya. Ia membuka media sosial, dan mencoba mencari teman-teman Ken. Di sana banyak sekali postingan yang menceritakan tentang orang yang benar-benar hidup dari menulis. Maka sekonyong, semangatnya membara berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Ia mencoba menghubungi Ken dengan bahasa yang paling santun. Tanpa ia sangka, Ken membalasnya dengan ramah. Ia mencoba berdiskusi dengan Ken soal apa saja yang berhubungan dengan kepenulisan. Ia disarankan untuk memberi waktu bagi diri sendiri untuk selalu membaca dan menulis setiap harinya. Maka ia pun menuruti saran Ken. Namun, hal semacam itu tidak berlangsung lama. Tiga hari pertama setelah berbalas pesan dengan Ken, ia rajin membaca dan menulis setiap hari. Namun, setelahnya ia malas. Ia hanya duduk di depan layar laptop dan memandanginya saja, seolah sedang berusaha merangkai kalimat, tetapi tidak ada satu kalimat pun yang dituliskan.
Kehidupannya tentu memprihatinkan, karena ia sudah malas keluar rumah untuk mencari nafkah. Aku akan hidup dari menulis, kata itu terus ia lontarkan setiap pagi tanpa diiringi dengan membaca dan mengetik. Maka demi menghidupi dirinya sendiri, ia menelepon mamanya untuk meminta uang jajan. Dan sang ibu tidak pernah merasa direpotkan dan tidak pernah menanyakan untuk apa. Sang ibu selalu berhasil meyakinkan suaminya untuk tetap memberinya uang jajan. Suatu saat, ia berjanji kepada orang tuanya, ketika ia telah menjadi seorang penulis, ia pasti akan menjadi anak yang dibanggakan, dan akan memberikan sesuatu yang layak untuk mereka. Namun, ayah dari lelaki itu tidak pernah percaya anaknya akan berhasil menjadi penulis. Dan sang mama, selalu berusaha menyabarkan suaminya dan memintanya untuk selalu mendukung apa pun yang menjadi cita-cita anaknya. Ayahnya menghela napas, pasrah dengan kebebalan anak yang telah dibesarkannya.
Maka pada suatu pagi yang ia terasa sangat malas, Ken mengiriminya sebuah pesan. Kau bisa mengikuti kelas menulis ini. Berbayar, tetapi tidak mahal. Mungkin peruntunganmu berada di sini. Api semangat yang telah padam menyala kembali.
Tak satu pun kata luput dari pendengarannya ketika ia mengikuti pelatihan seminar kepenulisan itu. Ia berusaha memahami, semua yang disampaikan pembicara di depan sana. Sebagaimana yang aku ceritakan di awal, hal itulah yang disampaikan pembicara ketika si penulis kesulitan membikin tokoh dan konflik di dalam cerita.
Maka aku tak mau menunggu esok hari. Sebelum aku benar-benar diikat dan ditutup dalam jendela, yang kemudian dibakar, aku mendatangi rumahnya. Aku ingin protes. Dan, tak mau disiksa dengan cara semacam itu.
Aku tepat berada di belakang lelaki yang kuceritakan. Ia sedang mendengkur keras di atas meja. Laptopnya masih menyala. Kesempatan yang bagus pikirku. Maka aku segera mengambil seprei yang menutupi tempat tidurnya, dan menggantungnya di atas kipas yang terpasang di langit-langit kamar. Lelaki ini pantas mati. Ia akan menyiksaku seenaknya, dan tidak ada yang bisa dibanggakan dari lelaki semacam ini.
Aku sengaja membuat lelaki itu mati seperti sengaja gantung diri, frustrasi karena masih belum menjadi penulis. Aku mengikat lehernya dengan kain seprei, kemudian melilitkan kain itu ke atas kipas yang masih berputar kencang. Perlahan badannya terangkat, dan terayun. Seketika ia terbangun. Ia berusaha meminta tolong, tetapi tak ada siapa pun yang bisa dimintai pertolongan, karena ia bangun dengan sangat kaget, dan lehernya tercekik. Ia terbatuk-batuk, lidahnya menjulur, tangannya menggapai-gapai sekitar, dan tidak mampu untuk mencapai apa pun. Tubuhnya telah sepenuhnya terangkat, kakinya sudah tidak lagi menjejak tanah. Ia masih sempat menendangkan kaki ke sana kemari, sambil berusaha melepaskan kain seprei yang melilit leher. Usaha itu sia-sia belaka. Ia menatapku. Mendelik tajam seperti tak percaya. Ada amarah dalam sorot matanya. Hingga akhirnya tubuhnya sudah tidak bergerak sama sekali. Saat nyawanya meregang, mata membelalak ke atas, dan lidah terjulur keluar.
Tak akan ada orang yang mencurigaiku, karena tak seorang pun bisa melihatku. Tidak ada sidik jari. Tidak ada jejak kaki. Hanya dia yang bisa melihat dan menentukan langkah yang membuat orang lain peduli. Segala yang ada di dalam ruangan ini tertutup. Aku terkekeh sebentar, kemudian aku mengetik di depan layar komputernya.
Sebelum ia benar-benar menyisaku dengan ceritanya, aku membunuhnya dengan lilitan kain seprei. Dan sebagaimana yang ia bayangkan terhadapku, aku membunuhnya dalam keadaan seluruh rumahnya telah tertutup. Kalau aku tidak bergerak secepat ini mungkin saja ia akan benar-benar membakarku dalam keadaan tidak berdaya saat ia bangun dari tidur. Meski aku hanya khayalan belaka, tidakkah boleh manusia rekaan sepertiku memiliki dendam dan sakit hati?
Rumadi, lahir di Pati 1990. Seorang suami dan seorang ayah. Alumni SMKN 1 Rembang yang jatuh cinta dengan dunia menulis. Berdomisili di Ciputat. Pernah dipercaya menjadi redaktur cerpen Madrasahdigital.co. Suka menulis cerpen. Aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat Harian Merapi, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Basabasi.co, Republika, Harian Mercusuar, Solopos, Kompas.id, Cendananews.com, Detik.com, Tanjung Pinang Pos, Ceritanet.com, Maarifnujateng.com, dan Cerano.id. Beberapa cerpennya juga menjadi nominasi dalam lomba cerpen tingkat nasional. "Melepaskan Belenggu" merupakan buku pertamanya dan menjadi nominasi dalam Anugerah Pena FLP 2021 kategori Kumpulan Cerpen Terpuji dan menjadi nominasi Hadiah Sastra Rasa Ayu Utami 2023. Dan masuk ke dalam 5 besar nominasi kategori kumpulan cerpen Penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2025. Buku keduanya, Luka Tak Tersembuhkan menjadi juara ketiga Hadiah Sastra Rasa Ayu Utami 2024.