Jam Besar di Bundaran dan Puisi-Puisi Lainnya

17/10/2025

 

 

Jam Besar di Bundaran 

 

Misal Tuhan bersumpah demi jam besar di bundaran, 

maka waktu yang dilihat para pengendara 

adalah kalam. 

 

Perjalanan kemudian 

adalah kerja membaca tafsir 

—jarak, waktu, kecepatan 

yang tak terukur 

dalam hitungan 

 

2024 

 

 

Fly Over 

 

Ke fly over 

ke fly over 

jalan fantasi yang menghubungkan 

dunia 

lampu-lampu pengganti bintang 

malam menyala sepanjang jalan 

sesuatu yang hidup 

bisa kita lewati, setiap hari 

 

Ke udara yang luas 

sebelum ditutup, sebelum tak berfungsi lagi 

sayap-sayap tumbuh 

di punggung mobil, sepeda motor 

menguasai langit, 

yang tak bertemu pangkal dan ujung 

 

2024 

 

 

Di Depan Gereja 

 

Di depan gereja—sebuah 

iman, kauhitung langkah 

yang merayap jauh

 

ke balik pintu 

menyentuh kudus 

Sebelum kaupegang gagang pintu 

seorang jemaat keluar 

bau minyak wangi, buat berahi 

mengepung hidung 

seakan menunggu 

suatu kaum, di altar itu 

 

Kau harus masuk, untuk 

kembali 

kepada kebaktian: doa 

dan puji-pujian 

 

2024 

 

 

Satu Sudut Pandang 

 

Rindu itu bicara padaku, tak pernah malu 

Tak kenal waktu 

 

Malam itu aku mengajaknya ke café & resto 

Ah, ada banyak penyair di situ 

Ada banyak puisi rindu dibacakan 

Bertabur kata-kata rindu 

Seandainya mereka tahu, aku bersama rindu 

 

“Kaudengar itu, sungguh beruntung kamu,” ucapku. 

 

“Tidak, tidak juga. Ada banyak orang memilih 

membunuh rindu. Membunuh aku ini,” jawabnya sedih. 

 

Aku jauh lebih menyedihkan, Rindu 

(kukatakan itu hanya di dalam hati) 

Aku telah mengubur rindu itu 

Bahkan tak ingin ia hidup kembali 

 

Rindu (bukan rindu yang telah mati) meneguk kopi dari cangkirnya 

Ada bekas lipstik menempel di bibir cangkir 

Tiba-tiba aku ingat sesuatu 

Sesuatu yang sangat akrab kurasakan 

Bukankah itu bibir Rindu? (rindu yang telah mati)  

 

Aku terkesiap 

Ketika lampu-lampu cafe & resto mulai padam 

Kurasakan aku mulai tenggelam 

Bibir siapakah yang mendarat di bibirku 

 

Semua belum berakhir 

Entah mengapa bisa begitu 

 

2024 

 

 

Bukan Tentang Kita 

 

Di jalan yang bercabang seperti lidah ular 

Kita telah sepakat untuk meliuk mencari bentuk 

Sebagaimana sungai mengalir 

 

Bertahun, telah lupa 

Tak ada pembicaraan yang berarti 

Jiwa kelana 

Mengembara ke hutan luka 

Gemuruh sakit di antara auman waktu 

 

Kau telah bahagia, kurasa 

Itulah kemudian kenapa aku percaya 

Pertemuan hanyalah candu 

Dan rindu bermain pada jiwa yang menunggu 

 

Oh, genaplah seluruh kata 

Setelah kutahu sepimu, terbakar 

Bergetar di ujung ranting 

 

Oh, sudah tak ada tentang kita 

Berjajar pagar pohon apel merah 

Buahnya jatuh 

Merah seperti hatiku 

 

2024 

 

 

Faris Al Faisal, penyair dan pendiri Rumah Puisi. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu dan Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu. Penerima Anugerah Seni dan Budaya Kategori Bahasa dari Pemerintah Kabupaten Indramayu Tahun 2024. Email ffarisalffaisal@gmail.com, Facebook www.facebook.com/faris.alfaisal, Twitter @lfaisal_faris, IG @ffarisalffaisal