Jam Besar di Bundaran
Misal Tuhan bersumpah demi jam besar di bundaran,
maka waktu yang dilihat para pengendara
adalah kalam.
Perjalanan kemudian
adalah kerja membaca tafsir
—jarak, waktu, kecepatan
yang tak terukur
dalam hitungan
2024
Fly Over
Ke fly over
ke fly over
jalan fantasi yang menghubungkan
dunia
lampu-lampu pengganti bintang
malam menyala sepanjang jalan
sesuatu yang hidup
bisa kita lewati, setiap hari
Ke udara yang luas
sebelum ditutup, sebelum tak berfungsi lagi
sayap-sayap tumbuh
di punggung mobil, sepeda motor
menguasai langit,
yang tak bertemu pangkal dan ujung
2024
Di Depan Gereja
Di depan gereja—sebuah
iman, kauhitung langkah
yang merayap jauh
ke balik pintu
menyentuh kudus
Sebelum kaupegang gagang pintu
seorang jemaat keluar
bau minyak wangi, buat berahi
mengepung hidung
seakan menunggu
suatu kaum, di altar itu
Kau harus masuk, untuk
kembali
kepada kebaktian: doa
dan puji-pujian
2024
Satu Sudut Pandang
Rindu itu bicara padaku, tak pernah malu
Tak kenal waktu
Malam itu aku mengajaknya ke café & resto
Ah, ada banyak penyair di situ
Ada banyak puisi rindu dibacakan
Bertabur kata-kata rindu
Seandainya mereka tahu, aku bersama rindu
“Kaudengar itu, sungguh beruntung kamu,” ucapku.
“Tidak, tidak juga. Ada banyak orang memilih
membunuh rindu. Membunuh aku ini,” jawabnya sedih.
Aku jauh lebih menyedihkan, Rindu
(kukatakan itu hanya di dalam hati)
Aku telah mengubur rindu itu
Bahkan tak ingin ia hidup kembali
Rindu (bukan rindu yang telah mati) meneguk kopi dari cangkirnya
Ada bekas lipstik menempel di bibir cangkir
Tiba-tiba aku ingat sesuatu
Sesuatu yang sangat akrab kurasakan
Bukankah itu bibir Rindu? (rindu yang telah mati)
Aku terkesiap
Ketika lampu-lampu cafe & resto mulai padam
Kurasakan aku mulai tenggelam
Bibir siapakah yang mendarat di bibirku
Semua belum berakhir
Entah mengapa bisa begitu
2024
Bukan Tentang Kita
Di jalan yang bercabang seperti lidah ular
Kita telah sepakat untuk meliuk mencari bentuk
Sebagaimana sungai mengalir
Bertahun, telah lupa
Tak ada pembicaraan yang berarti
Jiwa kelana
Mengembara ke hutan luka
Gemuruh sakit di antara auman waktu
Kau telah bahagia, kurasa
Itulah kemudian kenapa aku percaya
Pertemuan hanyalah candu
Dan rindu bermain pada jiwa yang menunggu
Oh, genaplah seluruh kata
Setelah kutahu sepimu, terbakar
Bergetar di ujung ranting
Oh, sudah tak ada tentang kita
Berjajar pagar pohon apel merah
Buahnya jatuh
Merah seperti hatiku
2024
Faris Al Faisal, penyair dan pendiri Rumah Puisi. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu dan Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu. Penerima Anugerah Seni dan Budaya Kategori Bahasa dari Pemerintah Kabupaten Indramayu Tahun 2024. Email ffarisalffaisal@gmail.com, Facebook www.facebook.com/faris.alfaisal, Twitter @lfaisal_faris, IG @ffarisalffaisal