Metafora Kegelapan Kamar
Semula aku hanya ingin bertemu dengan seorang
sahabat; pengrajin topeng-- sudah bertahun-tahun
tak bersua. Ia ditakdirkan tidak punya anak. Sejak
istrinya meninggal, ia sendirian. Aku ketuk daun pintu
rumahnya. Tak ada sahutan. Senyap. Kudorong daun
pintu tak terkunci. Hanya suara cecak, tetapi di atas
meja: gelas sisa kopi dan tumpukan puntung rokok
dalam asbak. Iseng aku dorong pintu kamar. Gelap.
Tetapi kemudian samar-samar kulihat topeng anak-
anak tersenyum. Sesaat kemudian berganti topeng
perempuan cantik. Dada terguncang. Darahku
berdesir-desir.
: "Hidup terkadang serupa tipu-muslihat belaka!"
Aku mundur. Aku duduk di kursi penjalin yang
keropos. Aku mendongak. Seberkas matahari
menembus lobang kecil sela-sela genting. Tuhan,
doa apa yang harus kuucapkan untuk sebuah
metafora kegelapan kamar?
Hatiku zikir. Aku yakin sahabatku ada dalam kamar.
Tetapi kenapa tidak menyahut, tidak menyambut
kedatanganku. Apakah ia tidak ingin bersua lagi
denganku. Muak denganku.
: "Pertemuan bisa sangat menyenangkan, tapi bisa
sangat menyedihkan!"
Aku dorong pintu kamar lagi. Au, puluhan, ratusan
topeng anak dan perempuan cantik melayang-layang
dalam kamar. Samar-samar kulihat sahabatku
menggapai-gapai topeng tersebut dengan air mata
bercucuran.
: "Huesca! Aku datang. Ribuan puisi kubawa untukmu!"
Sahabatku tersentak.
Tubuhku gemetar.
Tubuh sahabatku berpendar.
Kami berpelukan.
Cirebah, 06 Juli 2025
Aku Mabuk di Negeri Mabuk
Setiap hari aku mabuk "arak" di negeri mabuk
Ijazah palsu. Hakim koruptor. Matahari kembar.
Pagar Laut. Skandal BUMN. Ormas Preman. Purna-
wirawan Bergerak. Mafia tanah. Dan lain-lain.
Aku kecewa. Aku mabuk di negeri mabuk.
Aku tertawa. Aku mabuk di negeri mabuk.
Aku ingin sekali memecahkan televisi
Aku ingin sekali berhenti menulis puisi
Diam-diam. Aku meninggalkan negeriku
ke laut. Berlayar hingga batas cakrawala
Meninggalkan benci dan cinta
Diam-diam. Aku berkhayal menembus langit
hingga surga. Dan tak kembali lagi ke dunia.
Cirebah, 08 Mei 2025
Cinta Suka Cita
Di hari istimewamu; kenangan-kenangan serupa serpih
kesetiaan melumuri kuntum mawar. Begitu semerbak.
Alangkah cinta suka cita. Langit dan cakrawala. Kujadikan
jubah penyair. Yang memuliakanmu; perempuan embun!
: Aku harap perjalananmu bahagia. Mawar dan durinya.
Laut, gelombang dan karang-karang. Ruang dan waktu
menyatukan segala yang bernama ketulusan. Keikhlasan.
Tak ada jalan terjal berkelok-mendaki-menurun. Jalan kasih.
Aku tahu dan paham. Telah begitu luka jiwamu. Perih
ulu hatimu. Tak mudah melayari hari-hari. Tetapi engkau
sekarang telah menjelma bidadari perkasa. Meremuk duka..
: "Setajam-tajam duri mawar, melukaimu-- biar aku saja
yang merasakan perih dan sakitnya!"
Di setiap pertemuan; kita membincangkan debur ombak
Angin yang resah. Dan kita berbagi wangi rindu. Ke bukit-
bukit impian menyemburkan percikan-percikan cahaya!
Kita selalu takjub pada langit senja.
Doa-doa. Di hari istimewamu tiada lagi penyesalan. Perahu
telah jauh berlayar. Ombak dan pantai menyatu dalam desir
zaman yang wangi.
Kita bersitatap dalam batas pandang yang amat dekat.
Hati jiwa bergemerlapan!
Jaspinka, 07 Mei 2025.
Nasib Buruk Mbah Tupon
Kisah pilu seorang lansia terjebak praktik mafia
Tulang belulang bagai rontok. Lemas. Tatapan
nanar kosong. Langit bagai terbelah dan runtuh.
Tanah seluas 1.665 meter persegi hendak disita
pihak Bank. Jaminan hutang 1,5 Milyar. Kok bisa?
Ini benar-benar negeri konoha.
Amburadul. Brengsek.
Ayo turun tangan para pembela keadilan
Juga Rasman dan Hotman. Jangan cuma
Ribut ngurus seonggok apem di bawah perut
DPR dan menteri Gusron jangan pura-pura buta-tuli.
Jangan pula sekadar cuap-cuap dalam televisi. Ayo...
Mbah Tupon tak pernah hutang. Tak bisa baca tulis.
Sehari-hari bertani dan mengurus ternak.
Petir siang bolong. Kampung geger. Lapor polisi. Doa
dan harap. Tanah kembali. Tangkap penjarakan mafia.
Kampung senyap jadi gerah. Tanah warisan hendak
disita. Sungguh nasib buruk. Edan. Manusia busuk
Otak dan hati menjelma setan.
Tapi yakinlah Tuhan tidak tidur. Mbah Tupon akan
melewati duka nestapa. Tangan Malaikat akan menyeret
manusia-manusia busuk. Ke jeruji besi. Penjara. Dan
rengkahan neraka.
Mbah Tupon-- 68 tahun-- jangan bersedih.
Jangan menangis. Nasib buruk akan berakhir.
Tanahmu akan kembali. Suara-suara kebenaran
menggema di kampung kecilmu. Senja coklat tembaga.
Cirebah, 28 April 2025
Nini Sebrot, Kartiniku
Aku tak malu. Sungguh:
Nini Sebrot kaulah Kartiniku
Setiap hari bermandi keringat
Sangit sengak
Malam memintal kabut
Subuh langkah pecah
Siang berkubang kenyataan
Hidup tidak mudah
Hidup teka-teki
Nini Sebrot tak peduli
Tak bergincu. Tak berkebaya
Tak berkain beludru. Tak sepatu
Bukan selebriti. Bukan aparatur
Bukan keturunan orang kaya
Bukan pemuja karir
Kekagumanku padamu
Apa adanya. Seperti keberadaanmu
Yang apa adanya. Nini Sebrot
Natural. Tawamu lepas
Sungguh. Sungguh kuterpesona
Adalah buruh pabrik. Buruh tani
Buruh pasar. Buruh rumah tangga
Buruh kasar apa saja
Nini Sebrot. Tak mau berpura-
pura baik. Tak butuh puji-puja
Terus merangsek memelihara cahaya
yang mancar dari jiwa
bukan sekadar retorika
dan tampil gaya
Sungguh aku cinta
Nini Sebrot sangit sengak
selamanya tanpa syarat
Tak pernah tengok belakang
Luka. Dan masa lalu jingga
Lipat jadi nyala darah
Sepanjang Sejarah
Kemenangan datang dari tangan
yang mengepal. Dari langkah kokoh
seorang perempuan perkasa
Sukacita. Aku bangga
Nini Sebrot luka Puisiku.
Jaspinka, 22 April 2025
Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat.. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).