Poin-poin Pemantik Diskusi Buku: HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE (Part 1)

06/01/2024

Poin-poin Pemantik Diskusi Buku:
HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE

Oleh: Asep Chahyanto

 

Diskusi Buku karya Nunu Nazarudin Azhar

Minggu, 7 Januari 2024.

Waktu: 16.00 – 18.00

Tempat: Langgam Pustaka, Jalan Cikunten Indah Blok D3 Kahuripan, Kec.Tawang Kota Tasikmalaya.

 

Buku Hiburan di Tasikmalaya Kemarin Doeloe, meskipun oleh penulisnya tidak dimaksudkan sebagai buku Sejarah. Paling tidak oleh kita bisa dijadikan pegangan sebagai Sejarah Hiburan di Tasikmalaya Kemarin Doeloe.

Sesuai dengan yang dimaksud oleh penulis, kemarin doeloe di sini adalah peristiwa dari yang lama ke yang agak baru.

Dalam buku ini, penulis juga tidak memberikan definisi yang pasti mengenai kata “hiburan”. Setelah membaca buku ini, kata Hiburan, resensator artikan sebagai sesuatu atau perbuatan yang dapat menghibur atau melupakan kesedihan dan sebagainya.

Buku ini telah memberi banyak wawasan mengenai pelbagai hiburan di Tasikmalaya, dimulai dengan: menceritakan perbioskopan yang dimulai dari tahun 1917 dengan sinema keliling pimpinan Mr Belkum (hal.15).

Selanjutnya era sebelum kemerdekaan, Masyarakat Tasikmalaya bisa menonton hiburan Komedi Stambul.

Pada tahun 1924 pernah dipentaskan Gending Karesmen “Lutung Kasarung”, dan “Sejarah Cikundul” pada tahun 1927. Dan yang paling spektakuler adalah “Galunggung Ngadeg Tumenggung” karya dan sutradara Wahyu Wibisana pada tahun 1964.   

Grup sirkus --Harsmston Circus tercatat melakukan pertunjukkan pada tanggal 8-11 Juni 1930 (hal.94)

Helaran seni jalanan, arak-Arakan yang menjadi daya Tarik Agustusan sejak tahun 1970-1980-an.
Sandiwara Gembol dan Teater (98-113)

Kesenian Tradisional seperti (129-180)

  1.  Beluk;
  2.  Calung;
  3.  Lais;
  4.  Terebangan;
  5.  Karinding;
  6.  Calung Tarawangsa;
  7. Pagerageungan;
  8. Ebleg;
  9. Oyong-oyong;
  10. Pantun;
  11. Rudat;
  12. Wayang Golek
  13. Anklung Sered;
  14. Reog.

   

 Di halaman selanjutnya, penulis menceritakan:

  • Tasik sebagai Kota Musik (184);
  • Tasik Festival (241);
  • Ngadu Kuda di Dadaha (257);
  • Nonton TV berjamaah di halaman Rumah (271);
  • Ngabuburit di Taman Resik (279);
  • Lalajo Persitas (289), dan
  • Radio (321-350).

ANALISIS HIBURAN FILM:

FILM seringkali dipandang sebatas sarana hiburan. Padahal film sebagai media komunikasi massa dapat lebih dari sekadar tontonan. Film dapat merepresentasikan dan mengkonstruksi realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana film menyuguhkan potret kenyataan dalam bentuk-bentuk simbolik yang sarat makna dalam pesan-pesan konten dan estetikanya.

Dalam kapasitasnya sebagai media yang merepresentasi dan mengkonstruk realitas, film bukan hanya dapat mempengaruhi sikap tetapi juga mengubah pola pikir dan ideology masyarakat.

Ada tiga efek pesan sebuah film: yaitu efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif.

  •  Efek kognitif terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dan dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan informasi.
  • Efek afektif yang timbul apabila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, dan dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, dan nilai.
  • Efek konatif (behavioural) yang merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku.

Apa yang disampaikan oleh kang Nunu Nazarudin Azhar terkait dengan berbagai film yang dipertontonkan di Tasikmalaya sebenarnya bisa menjadi  “Inspirasi” --tantangan bagi para peneliti yang ingin mengetahui sejauh mana film-fim tersebut mempengaruhi sikap, pola pikir dan ideologi masyarakat Tasikmalaya?

          Dari buku ini, kita bisa menjadi tahu sudah sejak lama orang Tasikmalaya disuguhi tontonan film-film India:

  1. “Adventures of Tarzan” yang dirilis tahun 1985, bertahan sampai hampir 100 hari diputar di Bioskop Nusantara.  “Penggemar film Tarzan tentu mendengar lagu yang dinyanyikan Alisha Chinoy ini sambil membayangkan adegan Kimi Katkar dengan tubuh semlohay berbalut kain merah di pinggir sungai rebah di atas batu, merayu Tarzan yang tampak beloon.” (hal.3)
  2. “Jika menonton film di malam hari, jangan kaget jika Anda pria dewasa dan menonton sendirian, tiba-tiba ada bisikan lembut dari belakang atau dari pinggir, “Gaduh roko A?” katanya. Atau dengan kalimat lain yang menjadi penanda adanya seseorang yang memberi kode khusus. Itulah si kupu-kupu malam sedang mencari mangsa!  Kalau kita meladeni, maka bisikan bisa berlanjut ke hal-hal lain hingga di luar gedung bioskop. (hal10)
  3. Film “Haathi Mere Saathi” yang dibintangi Rajesh Khanna dan Tanuja, diputar di Bioskop Hegarmanah pada tahun 1971.(hal.11)
  4. Film “Aa Gale Lag Jaa” yang dibintangi oleh: Shashi Kapoor, Sharmila Tagore, dan Shatrughan Sinha yang dirilis tahun 1973. (hal.11)
  5. Tahun 1970-an di Bioskop Parahyangan yang identic dengan kelas menengah ke atas, film-fim india yang diputar tidak banyak ditonton, sehingga mengutamakan memutar film-film Barat (hal.13)
  6. Kang Nunu menuliskan pengalaman seorang mantan walikota setelah menonton film India “Haati Mere Sathi”: “Saya bahkan sampai hapal salah satu lagu di film yang dibintangi oleh Rajesh Khanaa dan Tanuja itu, dan tanpa sadar sering saya senandungkan sambil berjalan berirama dan membayangkan di samping saya ada seekor gajah yang lucu:

                                               Chal chal mere haathi

                                               O mere saathi

                                               Chal le chal kha taraa kheench ke … (hal.14)

  1. “Bioskop Galunggung sendiri tampaknya sudah tampil sebagaimana laiknya sebuah bioskop pada tahun 1930-an, hal ini jika melihat karcis masuk ke bioskop ini yang terbagi empat kelas, yakni kelas Loge (balkon, lalju kelas 1, Kelas 2, Kelas 3. (hal.20)

Dari beberapa kutipan, Nampak pada kita bahwa buku ini sangat bagus, meskipun oleh penulisnya tidak dimaksudkan sebagai buku Sejarah. Namun, tergambar bahwa hiburan film yang dipertontonkan tersebut sedikit banyak telah memberikan efek pengetahuan, afektif dan konatif pada Masyarakat yang menontonnya.

Dengan demikian film bisa memberi stereotip (Gambaran umum dan sederhana yang kita bentuk tentang kelompok individu berdasarkan karakteristik tertentu, seperti ras, agama, gender, atau profesi).

  •  Efek kognitif terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dan dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan informasi.
  • Efek afektif yang timbul apabila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, dan dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, dan nilai.
  • Efek konatif (behavioural) yang merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku.

 

Lanjut ke Part 2>>>