Poin-poin Pemantik Diskusi Buku: HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE (Part 2)

06/01/2024

Dari poin 7) kita bisa menyimpulkan, bahwa struktur sosial pada tahun 1930-an, kita—Tasikmalaya memilki empat kelas sosial, yakni:

Pertama: adalah Masyarakat Eropa, sebagai warga kelas satu.

Kedua: Masyarakat Timur Asing. Golongan ini adalah pendatang dari Timur seperti: orang India, Jepang, Tionghoa dan lain-lain. Masyarakat golongan ini bisa dipersamakan derajatnya dengan warga kelas satu setelah memenuhi persyaratan yang ketat.

Ketiga: adalah Masyarakat Indo-Belanda. Dalam struktur ini disebut warga kelas tiga (sama dengan warga kelas dua bisa dipersamakan derajatnya menjadi kelas satu dengan persyaratan yang ketat.

Keempat: Golongan Masyarakat Pribumi (inlander), kerap disebut orang Slam (pribumi atau orang Islam).

Dari poin 7) kita bisa menyimpulkan, untuk Masyarakat umum meskipun ada kelas yang disediakan untuk mereka menonton, namun tentunya sangat jarang mereka manfaatkan, karena “mereka harus mengorbankan biaya hidup seluruh keluarga selama 10 hari.” (hal.22).

Dari poin 5): meskipun pada tahun 1970 an kita telah Merdeka, Masyarakat tetap terstratifikasi secara sosial berdasarkan berbagai hal seperti, kepemilikan harta benda, jabatan dll. Menarik untuk diteliti, ternyata kelas sosial, mempengaruhi kesenangan terhadap jenis film yang ditonton. Nampak di poin 5)  bahwa Masyarakat kelas bawah cenderung lebih menyukai film-film India, sedangkan Masyarakat kelas menengah dan atas lebih menyukai film-film barat, dalam hal ini tentu film film yang diproduksi oleh Hollywood USA.

Film sebagai media hiburan juga sebagai propaganda. Saat perang dingin USA dengan Eropa Utara saat itu yang merupakan blok Komunis, banyak diproduksi film-film Hollywood yang peran jahatnya adalah negara-negara komunis khususnya Rusia (USSR saat itu).

Dari poin 5) itu merupakan bukti empiric bahwa film memiliki dampak terhadap perubahan kognitif, afektif dan Konatif seseorang, sehingga film sering dijadikan propaganda oleh negara.

“Pemerintah Orde Baru melalui Departemen Penerangan saat itu, sangat gencar melakukan propaganda tentang berbagai aspek Pembangunan melalui TVRI, radio dan Koran. Pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI…..” (hal 65-66).

Dari poin 1) menarik untuk diteliti, adakah rasa senang yang ditimbulkan apabila melihat perempuan cantik semlohey rebahan di pinggir Sungai?

Adakah perubahan di ranah afektif yang membuat lebih hot lagi sehingga memiliki kaitan dengan poin 2) sehingga memberi efek terhadap ranah Konatif?

Di halaman 129 – 180, penulis memaparkan berbagai hiburan yang bersumber dari berbagai kesenian tradisional. Hiburan ini bisa disaksikan apabila ada acara-acara kenduri yang digelar Masyarakat, atau pada acara seremonial  pemerintah.

14 jenis kesenian tradisional yang dibahas dalam buku ini merupakan identitas kultural Masyarakat Tasikmalaya sebagai Masyarakat pendukungnya.

Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan globalisasi, dengan sendirinya membawa konsekuensi perubahan nilai dan gaya hidup suatu Masyarakat. Oleh karena itu, ke-14 jenis kesenian yang memberikan hiburan pada Masyarakat Tasikmalaya tersebut terancam eksistensinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa “esok” kesenian tradisinal itu sirna, karena sudah tidak ada lagi yang mau memainkannya.

Di halaman selanjutnya, penulis menceritakan:

  • Tasik sebagai Kota Musik (184);
  • Tasik Festival (241);
  • Ngadu Kuda di Dadaha (257);
  • Nonton TV berjamaah di halaman Rumah (271);
  • Ngabuburit di Taman Resik (279);
  • Lalajo Persitas (289), dan
  • Radio (321-350).

 

Terlalu panjang kalau saya analisis satu persatu semua.  Izinkan saya sampaikan apa yang ditulis Kang Nunu Azhar, intinya membenarkan apa kata Johan Huizinga, budayawan Belanda, yang  menulis buku “Homo Luddens, a Study of Play Element in Culture”:

  •  Kita adalah Homo Ludens, makhluk yang bermain.
  •  Salah satu aspek paling penting (manusia dan budaya) dari permainan adalah kesenangannya.
  • Huizinga menolak anggapan bahwa bermain sekedar kegiatan pengisi waktu luang yang terkesan iseng-iseng belaka.
  • Menurutnya bermain itu tidak kalah pentingnya dengan kegiatan manusia lainnya, seperti berfikir dan bekerja.
  •  Bahkan bermain itu merupakan gejala alam yang mendahului dan sekaligus menjiwai kebudayaan. Intinya bermain bagi manusia adalah merupakan salah satu elemen kebudayaan.

Buku kang Nunu sangat penting untuk memahami Identitas penduduk Tasikmalaya pada kurun waktu yang ditampilkan dalam buku Hiburan tersebut.  Dan bisa dijadikan pijakan dasar untuk memahami identitas Sebagian besar penduduk Tasikmalaya yang mencoba merumuskan ulang identitas mereka era sekarang.

Untuk memahami hal di atas, saya berangkat dari Kajian Ariel Heryanto Guru Besar Emeritus di Australia dalam bukunya: “Identitas dan Kenikmakatan”, Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.

 

Definisi Budaya Populer:

Pertama, budaya populer akan kita pahami sebagai berbagai suara, gambar dan pesan yang diproduksi secara massal dan komersial (termasuk film, music, busana, dan acara televisi) serta praktik pemaknaan terkait, yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai hiburan.

Singkatnya, budaya popular dalam pengertian pertama yang dijelaskan di atas merupakan proses memasok komoditas satu arah dari atas ke bawah untuk Masyarakat sebagai konsumen. (Ariel, 22)

Dalam pengertian kedua, buku ini juga mengakui adanya berbagai bentuk praktik komunikasi lain yang bukan hasil industrialisasi, relative modern, dan beredar dengan memanfaatkan berbagai forum dan peristiwa seperti acara keramaian public, parade, dan festival. Bentuk kedua ini kerap kali, tapi tak selalu, bertentangan atau menjadi pilihan alternatif bagi bentuk budaya popular dalam arti pertama; inilah budaya popular dalam pengertian kedua: oleh Masyarakat. (Ariel, 22)

Ada beberapa macam bentuk Budaya Populer:

  1. Televisi;
  2. Fiksi;
  3. Film;
  4. Surat Kabar dan Majalah;
  5. Musik Pop.

Budaya Popuper dapat dicontohkan dalam berbagai Tindakan:
1)  Shoping;
2) Demam Korea (Korean Wave);
3) Korean Pop (K Pop);
4) Media Sosia.

Dalam Penelitiannya Ariel mengkaji politik identitas dan kenikmatan dalam budaya layar mutakhir di Indonesia, khususnya dalam sinema dan sinetron.

Budaya Layar dalam kajiannya dipahami sebagai bagian  dari “Budaya Populer”.

Kebanyakan orang yang mengkonsumsi budaya popular disebut “kelas menengah” yang hidup di Kawasan urban dan Industrial (Ariel,23).

Kaum elit cenderung bersikap merendahkan budaya popular dengan menggunakan istilah “budaya massa” (Ariel,24)

Dalam bukunya Ariel membahas perjuangan kaum muda kelas menengah dan para professional menegosiasikan, mentrasformasikan identitas social mereka yang sudah lama diakrabi dengan kebebasan yang baru didapatkan (pasca reformasi-resensator), serta Upaya memburu berbagai usaha baru yang mengasyikan sekaligus usaha mewujudkan cita-cita pribadi (Ariel,27).

“menjadi modern” ….memiliki baik peluang khusus maupun keterampilan baru menikmati kesenangan sehari-hari dengan mengonsumsi komoditas modern, menggunakan teknologi terbaru, dan menjalani gaya hidup yang sedang menjadi tren (Ariel,28).

Dengan mengacu pada data buku Nunu Nazarudin terkait dengan Hiburan: Musik, festifal, Nonton TV, Radio di Tasikmalaya Kemarin doeloe, dan meminjam pisau Analisa Ariel Heryanto, kita bisa melihat di Tasikmalaya telah terjadi gelombang baru budaya populer (Televisi, fiksi, film, Musik Pop).

Hari ini kita dengan mudahnya bisa melihat orang-orang Tasikmalaya gila belanja (shopping) meskipun kegiatan budaya nongki di mall tidak selalu harus diikuti dengan berbelanja.  Di Tasikamalaya juga telah menguat kesadaran keasiaan, pemujaan terhadap Korea atau demam Korea (Korean Wave) tidak terbatas dengan menyukai dan memainkan musik-musik Korean Pop atau K Pop.