Darasastra Vol X | Membahas Cerpen "Luh Sekar"

12/12/2023

“Luh Sekar”

Masih kuingat dengan jelas wajah orang-orang yang mengantarkanku terakhir kali ke tempatku saat ini. Mereka bilang aku adalah gadis tercantik yang pernah mereka lihat. Dengan hiasan berbagai bunga di kepala serta balutan kain indah nan anggun, semerbak kamboja, sesuci melati. Tentu saja itu semua tidak bertahan lama, bunga-bunga segera membusuk seiring badanku yang bengkak membiru. Tapi sekali lagi, hal itu tak memudarkan kecantikan yang dipancarkan olehku. Laut menjadi saksi, bunga-bunga memutuskan membusuk karena mereka malu tak mampu mengalahkan keindahanku dan aroma tubuhku yang memikat serta segaris biru yang memburat.

***

Luh Sekar. Begitulah orang-orang memanggilku. Aku memiliki sosok yang sangat kukagumi, ia adalah Bapa. Bapa sangat menyayangi putrinya. Ia rela melakukan apapun untuk membuat putrinya bahagia. Suatu hari putrinya sedang bermain di pantai dengan perosotan bak terowongan dengan tangga yang terjal. Di tempat kami memang banyak area pantai yang dijadikan taman bermain. Katanya biar orang tua tidak malas mengasuh anak di luar rumah karena pemandangan lautnya begitu indah. Di sebrangnya juga dibangun pendopo yang sering dijadikan sebagai tempat pertunjukan teater atau sekedar tarian kecak sebagai hiburan warga sekitar. Mula-mula si anak anteng bermain dengan sendirian. Bapa menunggu di kursi taman sambil menyundut rokok seperti biasanya. Tiba-tiba terdengar suara putrinya menangis dan berteriak. Bapa buru-buru berlari ke arah perosotan. Rupanya putrinya jatuh, lengannya tergores, lututnya memerah. Bapa marah.

Bapa bilang tak boleh ada hal apapun yang menyakiti putrinya. Bapa juga bilang putrinya adalah tuan puteri kesayangan, tak ada keinginan putrinya yang tak dituruti Bapa.

Suatu hari putrinya ingin menaiki perahu. Mereka langsung berangkat ke tempat penyewaan perahu di sekitar sana. Kebetulan Bapa memilliki seorang teman nelayan yang sering menyewakan perahu. Bapa juga bisa menjalankan perahu. Oleh karena itu, Bapa memutuskan untuk pergi berdua saja dengan putrinya. Jika yang menyewa adalah turis asing, harga sewanya akan melonjak tinggi. Tapi jika kepada penduduk asli sini, harganya biasa saja, atau sesama warga biasa saling meminjamkan perahu mereka.

Sebelum beranjak dari pinggir pantai Bapa sudah memastikan kondisi perahu baik-baik saja dan cuacanya juga cerah. Bapa menjalankan perahu dengan kecepatan sedang. Menyusuri taman laut yang menampakkan karang-karang cantik dihiasi ikan-ikan kecil yang meninggalkan buih-buih kecil. Bapa melanjutkan perjalanan dan sampai di area tebing-tebing yang curam, di atasnya terdapat sebuah pura yang dipercaya sebagai penyangga sembilan mata angin. Langit menjadi gelap. Entah mengapa Bapa menjadi tegang dan nampak ketakutan. Ia buru-buru memutar balik arah perahu tapi sialnya mesin perahu mati. Hujan mulai turun dan Bapa semakin ketakutan. Aku berusaha menghibur Bapa dengan menyanyikan sebuah tembang. Tapi Bapa semakin ketakutan. Ia menangis.

Hyang Widhi... Aku tak kuasa melihat Bapa menangis. Aku memeluknya. Langit kembali cerah dan mesin perahu kembali menyala. Bapa segera kembali menuju pantai.

Waktu terus berjalan. Anak gadisnya mulai memasuki usia remaja. Pada saat menek kelih*, seorang pemangku* berkata kepada Bapa untuk memberikan wejangan terhadap putrinya agar memiliki masa depan yang lebih baik. Pemangku juga mengatakan bahwa persembahan yang tulus dan ikhlas ini dapat membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga yaitu alam swah loka.

Dengan gagahnya Bapa menghampiri putrinya lalu mengusap rambutnya.

“Tak perlu khawatir, Luh. Aku akan selalu bersamamu untuk saat ini dan selamanya. Kau tau rasa sayangku padamu amat besar bahkan tahtamu di hatiku dirimu tak sebanding dengan para dewa.” Itulah yang dikatakan Bapa. Tak ada wejangan, hanya pesan-pesan yang menjanjikan kesenangan bagi putri kecilnya.

Semua ucapan Bapa benar-benar terbukti. Selama perjalanan hidup putrinya Bapa selalu hadir dan membahagiakan putrinya.

***

Saat ini putrinya sudah menginjak usia dua puluh, ia sakit keras dan tak bisa diobati. Bapa sudah mencari pengobatan ke berbagai tempat dari yang terdekat sampai yang terjauh, dari yang tradisional sampai yang modern namun putrinya tak kunjung sembuh. Bapa sangat frustasi melihat kondisi putrinya yang semakin memburuk. Hingga pada suatu hari ia tak sengaja bertemu seorang balian yang mengatakan bahwa penyebab penyakit putrinya tak kunjung sembuh adalah kemarahan Sang Hyang Widhi. Bapa mengira bahwa ucapannya  pada hari menek kelih membawa petaka. Bapa dianggap sombong dan menyepelekan para dewa. Tapi balian itu mengatakan bahwa putrinya masih bisa diselamatkan dengan satu pengorbanan. Mendengar hal tersebut Bapa teramat senangnya karena melihat secercah harapan bagi hidup putrinya. Bapa langsung menuruti balian tersebut dan segera menyiapkan segala hal yang diperlukan termasuk sesajian.

Ketika fajar tiba orang-orang berbondong pergi ke pinggir pantai untuk menghaturkan persembahan. Dupa pertama dinyalakan, semilir angin laut menerpa, kusaksikan upacara tersebut dari ujung tebing di pinggir patung di depan pura, suara ombak tak membinasakan suara-suara mantra yang diteriakan didepanku, bunga-bunga mulai layu dan beberapa diantaranya juga berjatuhan. Prosesi yang panjang membuatku bosan dan hanya diam sambil menunggu orang-orang selesai membacakan doa. Awan hitam mulai menutupi birunya langit, rintik menitik, ombak mulai menghantam sesajian. Semilir angin mengantarkan aroma bunga kamboja di kejauhan dan membuka kembali kenangan-kenangan lama.

***

Aku mengingat momenku bersama Bapa satu-persatu. Masih kuingat suara Bapa yang menggelegar di perosotan taman saat putrinya terjatuh. Menurutku Bapa berlebihan. Padahal aku hanya ingin ikut bermain dan sedikit usil dengan mendorong putrinya dari tangga perosotan. Beruntung Bapa tak melihatku.

Pernah juga pada suatu hari kulihat sosok yang kukenal menghampiri. Itu adalah Bapa. Aku senang sekali karena kali ini Bapa yang datang ke tempatku di tengah laut di antara tebing-tebing yang terjal. Biasanya selalu saja aku yang mendatangi tempat Bapa di pinggir pantai. Tapi rupanya Bapa tidak sendiri. Lagi-lagi ia bersama putrinya. Aku merasa kesal dan sedih. Kucurahkan perasaanku pada buih ombak yang didengar ikan-ikan dan mereka bisikan pada burung yang sedang terbang untuk kembali mereka ceritakan pada mega hingga sedihku dikenali seluruh cakrawala.. Langit mulai gelap. Buih ombak pun tak tenang mendengar curahan kesedihanku. Aku mematikan mesin perahu Bapa karena ingin melihatnya lebih lama. Tapi rupanya Bapa malah menjadi tegang dan merasa takut. Sekali lagi. Persis seperti di perosotan taman waktu itu, ia tak melihatku. Kuputuskan untuk bernyanyi sebuah tembang yang pasti ia kenal untuk memberitahunya bahwa aku ada di sini. Aku selalu mendampingimu, Bapa.

Bapa semakin ketakutan. Ia menangis. Hatiku luluh. Kuputuskan untuk memeluknya erat meski Bapa takkan mampu melihat wujudku, ku yakin ia merasakan kehadiranku.

***

Pada hantaman ombak terakhir, sebelum persembahan benar-benar hempas dari permukaan, balian menyuruh Bapa sendiri yang menghaturkan sesajian sementara pemangku dan para wanita membacakan mantra di pinggir pantai. Bapa menurut. Ia menuruni tebing dan menaiki perahu kecil yang diatasnya sudah diletakan sesajian dan bunga serta dupa yang menyala. Tepat saetelah itu guntur menggelegar, rintik hujan semakin deras, dan ombak besar menghantam perahu Bapa. Hanya tersisa perahu yang sudah terbalik, terombang-ambing dengan bunga yang berceceran disekitarnya.

Akhirnya aku bisa bersama dengan Bapa selamanya. Kini, Bapa menghampiriku dengan cara yang sama seperti saat ia mengantarkanku ke tempat ini bertahun-tahun silam.

Masih kuingat jelas sosok Bapa yang menghampiriku di depan pemerajan*, sayup-sayup kudengar suara tembang dari arah pura yang pelan-pelan ikut kunyanyikan, semilir angin dan deru ombak saling bersahutan, kau bisikkan perkataan yang mengundang guntur di hatiku, Bapa.

Kau harus melakukan ini agar putriku bahagia, Sekar.

***

* Balian: Dukun

* Hyang Widhi:Salah satu sebutan untuk Tuhan

* Luh: Panggilan untuk anak perempuan kebanyakan

* Menek Kelih: upacara pelepasan dari masa kanak-kanak ke masa remaja

* Pemangku: orang yang memimpin jalannya sebuah upacara

* Pemerajan: Pura Keluarga


 

Pembahasan oleh Indra Rahayu

Pengalaman semasa membaca cerita ‘Luh Sekar’

Aku ingin berjalan lebih jauh lagi, Penulis

“Seneng banget, deh.”

Cerita pendek base on ekspreience, nih, kayaknya.”

-

Penulis yang kaya referensi tentu akan sangat membantu pada pengembangan cerita yang

dibuatnya. Baik itu sumber primer atau sekunder. Bagi orang-orang yang senang membaca, apalagi yang sastra banget pasti sudah cukup panjang pengalamannya dalam membaca cerita pendek jenis seperti ‘Luh Sekar’ ini.

Satu hal yang menjadi sorotan pada bentuk cerita pendek seperti ‘Luh Sekar’ adalah kehati-hatian penulis dalam mengolah peristiwa. Mau tidak mau penulis perlu memberi penjelasan atau gambaran pengetahuan, tentang objek atau fenomena terkait. Objek atau fenomena yang dimaksud dapat berupa tradisi, benda, atau tempat. Dalam konteks ini, misalnya peristiwa ziarah. Maksud dan tujuan, pengaruh, dan rangkaian kejadian perlu tersampaikan dalam teks.

Setiap cerita yang akan ditulis, harus melalui tahap observasi apalagi untuk cerita yang memasukkan aspek budaya dari suatu tempat. Berbeda dengan cerita-cerita yang mengisahkan pergaulan remaja seperti, kisah di sekolah atau liburan ke rumah nenek. Cerita pendek seperti ‘Luh Sekar’ membutuhkan dosis data yang tinggi. Andai saya menulis cerita tentang seorang gadis yang ditelan ombak ketika hajat laut. Saya akan menjelaskan tentang tujuan, manfaat, dan pantangan pada tradisi tersebut.

Gadis cantik yang buta itu bernama Plot

Saya melihat perwujudan selera yang cukup baik dalam gaya bercerita dari penulis. Piawai merias bentuk cerita sehingga terlihat cantik. ‘Oh’ effect memang sedang menjadi trend dalam sebuah karya narasi. Baik itu berbentuk sinema atau tulisan. Biasanya akan ada beberapa clue yang menuntun apresiator pada kata ‘Oh’. Faktor itu bisa membantu sebuah cerita untuk terlihat elok di mata pembacanya.

Nahas, kecantikan yang selama sekali duduk saya pandangi memunculkan pertanyaan- pertanyaan. Penulis terlalu sibuk memikirkan teka-teki. Pembaca awam seperti saya tidak bernasib baik, bagai dipandu oleh orang buta. Terdapat keujug-ujugan yang membuat kurang nyaman, berasal dari kehadiran tokoh-tokoh premature. Relevansi objek dan fenomena dengan tokoh masih terlihat samar.

Motivasi penulis ketika menyusun peristiwa dalam ceritanya tidak lebih besar dari keinginannya ketika memaparkan budaya di pulau Bali. Namun, itu menghadirkan dorongan lain yang tumbuh dari diri pembaca. Cerita pendek ‘Luh Sekar’ ini menjadi jembatan yang baik untuk mengantar pembaca pada tulisan-tulisan lain. Misalnya, seperti yang saya alami. Saya lebih tertarik pada pure penyangga sembilan mata angin daripada jalan ceritanya.