Cita-Cita Titik Dua Petani! Sebuah Konklusi Loh Jinawi

13/02/2023

Kanti W. Janis, seorang penulis kelahiran 17 Januari 1985, bersama buku terbarunya yang berjudul ”Cita-cita Titik Dua Petani!” baru saja singgah di Kota Tasikmalaya, 12 Februari, kemarin. Ia yang juga tergabung di dalam Indonesia Writers Inc. disambut hangat dalam agenda diskusi bertajuk “Narasi Mimpi” yang diadakan di ruang publik Nawnaw Aliansi.

Dipandu oleh Inggri Dwi Rahesi selaku moderator, diskusi malam itu berjalan dengan intim dan hangat. Kawan-kawan lintas komunitas pun turut hadir meramaikan, mulai dari para pegiat seni pertunjukan, seni lukis, literasi, dan beberapa punggawa media lokal yang ada di Tasikmalaya. Selain mengadakan diskusi buku terbaru karya Kanti W. Janis, dipertunjukan juga sebuah tarian Narasi Mimpi oleh  Melinda Permatasari dan penayangan sebuah film dokumenter Batik Sukapura karya Balaka Institute Sinematografi yang terkenal kerap mengusung tema lokalitas dalam garapan kekaryaan mereka.

“Cita-cita Titik Dua Petani!” sebenarnya tak berbicara hal baru, mengangkat isu tentang petani yang tentu saja kita sepakati sebagai tulang punggung bangsa dalam ekosistem ketahanan pangan negara ini. Dibalut oleh cerita persahabatan remaja yang berlatar di Yogyakarta, Kanti tampak asyik menjejalkan segala gagasan yang mungkin saja sudah terlalu berimpitan di dalam kepalanya ke dalam tiap tindak laku masing-masing karakter bernama Randy, Menik, dan Tama.

Menyoroti generasi muda yang dirasa sudah begitu asing dengan kehidupan sehari-hari petani, buku ini menjadi semacam protes dan suara keresahan Kanti sendiri melihat bagaimana masa depan akan berlangsung ketika para remaja tak lagi mau bersinggungan langsung dengan kegiatan bertani. Bahkan, secara tegas ia mengutip sebuah ucapan mendiang sang Ayah, “nasib petani harus diutamakan, karena petani yang memberi kita makan, memberi makan bangsa”, sebuah argumentasi yang lugas dan tentu tanpa basa-basi.

Bicara tentang petani sendiri, banyak paradigma yang memandang bahwa pilihan hidup menjadi seorang petani bukanlah sesuatu yang lazim di era modern dan teknologi ini. Sungguh disayangkan apabila petani hanya dianggap sebagai individu yang langsung terjun ke dalam sebuah lahan garapan. Sejatinya, petani atau kegiatan bertani adalah sebuah ekosistem yang memerlukan sisi manajerial dan perencanaan yang bertumpu pada riset dari para ahli yang dalam hal ini pelaku langsung maupun akademisi dan pada akhirnya berorientasi pada hasil. Kalau sudut itu dianggap tak penting, apa kabar dengan ratusan Perguruan Tinggi yang berbondong-bondong membuka Fakultas Pertanian?

Pemerintah selaku pemangku kebijakan pun turut memberikan perhatiannya kepada sektor pertanian ini, dari taraf pusat hingga ke masing-masing daerah. Setidaknya UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani No. 19 Tahun 2013 menjadi salah satu produk hukum yang bisa memfasilitasi para petani dalam melaksanakan kegiatan produksinya.

Kegiatan bertani adalah proses modifikasi. Maksudnya, segala cara bertani yang konvensional lambat laun akan berubah dan menemukan cara-cara yang lebih modern dan efektif. Itu bukanlah sebuah bentuk pengingkaran, namun sebagai bentuk inovasi dan paduan antara teknologi dengan kebutuhan. Paradigma kita saja yang belum terbiasa, bahwa selain cara konvensional, segala praktik pemenuhan kebutuhan adalah salah dan tabu, tak sesuai tuntunan nenek moyang yang menyebut bangsanya sebagai tanah Loh Jinawi.

 

Agus Salim Maolana