Ujung Laut

30/07/2025

 

Suli, nama elok dari doa seorang ibu. Tapi nama tak cukup menyongsong nasibnya. Kepalang hidupnya sepekan ini, hanya tiga ekor ikan mengisi air garam di kotak penangkapan. 

“Ke mana ikan-ikan itu pergi? Ke mana mereka berenang? Apakah tuhan sedang menghukum insan yang tak berdaya ini?”

Tak jauh dari pantai, ada sebuah gubuk kecil yang sudah mulai reot. Wajah masam Suli menarik perhatian seseorang di dalam gubuk yang telah lama mengamati. Suli tak mengenal namanya, namun cukup sering bertegur sapa dengannya.

“Oi! wajahmu mengapa masam? Sini duduk!”

Suli menghampirinya dengan tubuh yang lemas.

“Mengapa kerut wajahmu begitu kesal? Ceritalah!” 

Suli menghela nafas yang panjang lalu menggerutu nasib kepalang yang dialaminya. Panjang kali lebar ia jelaskan hari buruk yang menimpanya.

“Hei! Kamu Suku Dura! Lihatlah laut yang tak ada ujungnya. Kejarlah ikan-ikan itu!”

Suli tertunduk lesu merenungkan teguran yang begitu dalam. Sebagai Suku Dura sudah sepatutnya berat ekor mengejar ikan. Bergegas ia berlari menuju perahu dan ucapan terima kasih sebagai salam pamitnya.

Suli berdiri di atas perahu sembari menatap air laut yang seolah mengajaknya berdansa. Angin laut cukup kencang menerbangkan rambut panjangnya. Wajahnya semakin menghitam ditelan panas matahari. 

“Oh ikan-ikan yang biasa kutangkap. Ke mana kamu berenang? apakah aku harus mengarungi lautan luas hanya untuk membawamu pulang?”

Berkali-kali perahu berhenti untuk melempar sebuah jala. Satu kali lempar, dua sampai tiga ikan terperangkap, kadang tidak ada satu pun ikan yang bersarang. Perahunya pantang berbalik sebelum peti penangkapan terisi penuh. Bertahun-tahun melakukan pelayaran, baru pertama kali perahu tua Suli menempuh perjalanan sejauh ini.

Titik putih terlihat dari kejauhan. Seiring waktu, titik itu semakin besar dan terus membesar hingga menampakkan wujud aslinya. Haluan kapal berwarna putih-biru semakin mendekat. Beberapa manusia samar-samar terlihat dengan seragamnya yang berkilau. 

“Jauh di luar pulau, ada orang-orang berpakaian dengan warna-warna yang indah dan berkilau. Mereka tidak bertani dan berlayar, hanya duduk di depan kotak yang bercahaya. Rumah mereka begitu tinggi dan besar. Mereka juga memiliki perahu seperti kita, namun lebih besar dan megah,” suara-suara dari ingatan masa kecil Suli.

Kapal semakin lama menghampiri perahu Suli. 

“Kembali! Anda sudah memasuki wilayah laut Negara Laysia!” 

“Mengapa mereka menghentikanku? Apa yang mereka ucap? Aku tak mengerti, dasar manusia aneh.”

Toa berulang-ulang kali mengeluarkan kata pengusiran, Suli masih enggan beranjak. Orang-orang sudah lelah mengusir, dan memilih untuk bermusyawarah. Salah satu di antaranya memiliki seragam beratribut berbeda. Terpampang di atas sakunya sederet simbol-simbol dan sebuah nama “Sutan”.

“Dia enggan kembali pak, apakah kita langsung tangkap saja?” 

“Sepertinya dia orang dari pulau Dura-Dura, sepertinya ia tak mengerti bahasa kita. Dekatkan kapal biarkan aku yang berbicara dengannya.” 

*

Ingatan masa kecil Sutan memutar memoar-memoar lama. Di sekolah ia diajarkan tentang beragam suku, ras, agama, dan daerah di negaranya. Kepolosan dan keingintahuan mengantarkan Sutan kecil bertanya ke orang tuanya perihal asal-usul mereka. 

“Ibu dari suku, ras, dan daerah apa? Ayah juga berasal dari mana?” 

“Ayah berasal dari negara yang kita tinggali sekarang nak, kamu tahu negara apa namanya?” 

“Negara Laysia?”

Ketawa dan sanjungan terdengar dari kedua orang tuanya. 

“Ibu berasal dari pulau yang jauh dari negara kita. Di sebuah negara bernama Bengsah. Di sana ada sebuah pulau terpencil, Pulau Dura-Dura.” Giliran ibu menjawab.

Mata Sutan membesar terpukau dan begitu penasaran. Sejak mendengar jawaban ibu, Sutan kecil selalu bertanya dan meminta ibu bercerita tentang Suku Dura. Tak lupa ia juga meminta untuk diajarkan bahasa asal ibunya.

*

“Kamu berasal dari mana?” Sutan mencoba berbahasa Suku Dura. 

“Saya berasal dari Suku Dura, di Pulau Dura-Dura.” 

Dugaan Sutan ternyata benar, lelaki bermata biru itu berasal dari daerah yang sama dengan ibunya.  Sutan cukup bahagia bertemu Suli. Penantian panjang rasa penasarannya akhirnya terjawab.

“Kamu mau ke mana? Mau apa ke wilayah ini?” 

“Mau ke mana lagi, tentu untuk berlayar dan menangkap ikan.” Suli menjawab dengan sinis.

“Kamu tidak boleh lewat sini. Laut ini bukan wilayah negaramu, tapi wilayah negara kami, Laysia.” 

Suli terkejut dengan pernyataan yang aneh dan menyesatkan. Ia sempat berpikir kalau manusia ini begitu bodoh. 

Suara-suara itu kembali merasuki pikiran. “Nak, kamu adalah seorang laki-laki Suku Dura. Kelak jika dirimu sudah dewasa, arungilah lautan yang tak ada ujungnya, kejarlah ikan-ikan untuk menyambung kehidupan.” 

“Hei manusia aneh!  Ujung laut itu tidak ada. Kamu tidak berhak mengatakan laut ini milikmu. Semua laut itu milik tuhan. Aku berlayar sejauh ini hanya mengejar ikan yang biasa kutangkap.” bentak Suli sembari membusungkan keangkuhan. 

Bentakan menyulut api amarah, namun Sutan sekilas mengingat suatu hal. Ibunya bercerita pada Sutan, masyarakat Pulau Dura hampir tak tersentuh peradaban modern. Tidak ada pendidikan, jauh dari hingar-bingar dunia modern, dan sangat jarang berhubungan dengan orang luar. 

“Kamu harus tahu, setiap negara memiliki perbatasan. Kamu adalah bagian warga negara Bengsah. Kamu sekarang berada di wilayah Laysia, negara kami. Jadi kamu sudah melanggar hukum internasional.”

Orang-orang kapal tidak mengerti apa yang terjadi. Mereka hanya melongo dan menertawai perdebatan dua orang berbahasa aneh. 

“Laut  itu tiada ujung dan tiada batas, bebas diarungi.” 

“Setiap negara memiliki batas wilayah.” 

“Aku hanya ingin menangkap ikan!”

“Kamu tidak boleh menangkap ikan di sini. Ini bukan wilayah negaramu!”

“Loh, ikan di wilayahku berenang kesini, makanya aku kejar.”

“Dari mana kamu tahu kalau ikan-ikan di sini dari wilayahmu?”

“Kamu juga tahu dari mana kalau ikan di sini bukan ikan dari wilayahku?”

“Sudah cukup!! Kembali atau saya tangkap, apakah kamu tidak ingin melihat keluargamu lagi?” 

Suli gemetar dan merasakan ketakutan yang mendalam. Bukan tak mampu melawan, ia merasa begitu mustahil satu orang berhadapan dengan banyak orang berbadan kekar. 

Perdebatan telah berlalu, laut begitu tenang, namun hati Suli tidak demikian. Ia merasa kecewa dan marah. Kini ia telah menemukan ujung dari sebuah laut. Ibunya selama ini ternyata berbohong. 

Di sisi lain, Sutan hanya merenung memandang ikan yang berenang sembari bertanya dalam alam pikirnya, “Apakah ikan itu yang dikejar Suli?”. 


Achmad Zainuddin. Seorang mahasiswa Hubungan Internasional UGM. Saat ini, sedang bekerja di sebuah toko jas. Namun itu hanya sampingan. Karena pekerjaan utamanya hanya dan selalu menulis. Terkadang ia bisa ditemui di sebuah sekretariat terkumuh se-UGM, B-21. Akun medsos: @zainachmad_ (IG)