Crime and Phunisment: Kegagalan Raskolnikov Menjadi Seorang Übermensch

14/07/2025

 

125 kilometer di sebelah barat pusat kota Moskow, terdapat sebuah desa bernama Borodino. Pada 7 September 1812 terjadi pertempuran panjang antara kekaisaran Rusia Tsar Alexander I melawan Napoleon Bonaparte. Pertempuran ini terjadi antara 130.000 pasukan Napoleon berbekal 500 senjata, berhadapan dengan 120.000 pasukan Rusia yang membawa lebih dari 600 senjata. Total jumlah korban jiwa diperkirakan 75.000, sekitar 30.000 orang dari pasukan Napoleon, dan sisanya 45.000 dari pasukan Rusia.
La Gloire (kejayaan) adalah bahan bakar utama yang mendorong Napoleon, memiliki ambisi tak terbatas. Tak seperti raja-raja lain yang naik tahta karena garis keturunan, Napoleon menciptakan takdirnya sendiri. Dari seorang perwira miskin Korsika menjadi Kaisar Prancis—itu kisah self-made man yang ekstrem. Oleh karena itu Napoleon harus terus berperang dan menang untuk membuktikan dominasinya.
Napoleon adalah contoh ideal seorang Übermensch. Ia tidak tunduk pada norma konvensional. Napoleon hidup di atas hukum dan moral umum. Ia melanggar perjanjian, menggulingkan republik, mengubah Eropa dengan tangannya. Ia tidak takut dianggap jahat, karena ia merasa visinya lebih besar dari hukum atau moral masyarakat.
Dalam banyak hal, Napoleon menjelma menjadi figur manusia yang menciptakan hukumnya sendiri—sebuah karakteristik khas dari Übermensch seperti yang dikonsepsikan oleh Nietzsche.
***
Raskolnikov mahasiswa miskin yang hidup di kota St. Petersburg amat menggilai Napoleon. Sampai-sampai ia menulis esai yang terilhami dari tindak-tanduk Napoleon di sebuah surat kabar. Raskolnikov beranggapan bahwa hanya ada dua jenis manusia; pertama manusia biasa (yang harus hidup patuh pada hukum dan moral umum), dan yang kedua manusia luar biasa yang punya hak untuk melanggar hukum jika tindaknnya bertujuan membawa manfaat besar bagi umat manusia.
Gagasan tentang dua jenis manusia inilah yang mendasari Raskolnikov mengayunkan kapak ke kepala Alyona Ivanovna. Dalam pandangan Raskolnikov, Alyona adalah “lintah masyarakat”, meminjamkan uang dengan bunga mencekik, orang yang tidak berguna, bahkan merugikan orang lain. Menghilangkan Alyona dari muka bumi, lalu membagikan hartanya kepada orang miskin sama dengan membebaskan banyak orang dari penderitaan. 
Raskolnikov tidak membunuh Alyona karena rasa benci, melainkan untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu melampaui moral umum. Ia menjadikan Alyona sebagai korban eksperimen ideologisnya. Pembunuhan itu bukan aksi kriminal semata, tapi upaya filosofis: sebuah eksperimen untuk membuktikan bahwa moralitas adalah buatan manusia biasa—dan bisa dilewati oleh mereka yang cukup besar.
Sayangnya di malam pembunuhan semua tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selepas mengayunkan kapak ke arah Alyona, Raskolnikov panik karena mendapati Lizaveta Ivanonva adik tiri Alyona seorang perempuan yang baik, lembut, bodoh, dan tidak berdaya, ikut terbunuh. Perempuan itu masuk ke apartemen kakaknya. Dihadapkan pada pilihan yang sulit mau tidak mau Raskolnikov terpaksa membunuh Lizaveta.
Pembunuhan terhadap Lizaveta menciptakan retakan besar dalam pembenaran moral yang dibangun Raskolnikov, dan dari sinilah rasa bersalahnya semakin parah. Napoleon mungkin bisa tidur tenang setelah membunuh ribuan orang; Raskolnikov justru hampir gila setelah dua.
Inilah titik balik. Apa yang awalnya ia bangun sebagai proyek rasional dan ideologis berubah menjadi tragedi yang tak bisa dikendalikan. Keberadaan Lizaveta sebagai korban tak bersalah adalah simbol di kehidupan nyata. Bahwa setiap ide, betapapun tampak logis atau luhur, selalu dipengaruhi dan akan berhadapan langsung dengan kenyataan hidup yang kompleks, kacau, dan penuh variabel tak terduga.
***
Raskolnikov gagal menjadi seorang Übermensch bukan karena gagasanya cacat sepenuhnya, melainkan karena ia tetaplah manusia. Tulanganya terlalu rapuh untuk menopang ide yang terlalu besar. Ia mengira dirinya bisa menjadi Napoleon hidup di atas moral dan hukum, nyatanya ia tidak bisa mengalahkan nurani dalam diri, sehingga rasa bersalah menyiksanya sepanjang waktu.
Di sinilah Dostoyevsky lewat “Crime and Phunisment” memberikan pelajaran yang menggema jauh melampaui zamanya: bahwa keberanian berpikir radikal tidak selalu sebanding dengan keberanian menanggung akibatnya. Manusia bisa saja bermimpi menjadi adikuasa, menjungkirbalikan nilai dan membangun dunia baru dari puing-puing lama. Tetapi pada akhrinya ia tetap tak luput dari rasa bersalah.
Meski sebuah ide atau gagasan bisa membenarkan pembunuhan demi “kebaikan yang lebih besar,” tetapi manusia bukanlah makhluk yang berkubang di dalam teori. Kita tidak tinggal di lembar-lembar esai atau traktat filsafat. Kita hidup dalam tatapan mata orang lain yang memantulkan wajah kita sendiri yang terkadang tak lagi kita kenali, dalam tubuh yang kerap gemetar, dalam malam-malam panjang penuh penyesalan, dalam napas yang sesak oleh rasa takut, dan bayangan dosa yang menusuk amat sangat.
Barangkali itulah batas paling manusiawi dari keinginan menjadi adikuasa—bahwa di dalam dada kita masih berdegup sesuatu yang tak bisa dilumpuhkan oleh sekedar teori yaitu; rasa bersalah ataupun penyesalan. Sebab manusia, bagaimanapun kuat pikirannya, tetaplah makhluk yang menderita ketika menyakiti dan sukar berpaling dari luka batin yang ia ciptakan sendiri.

Bima Yuswa. Lahir di Bogor, dan sekarang berdomisili di Bandar Lampung. Penulis bisa disapa lewat akun instagramnya @raksebelahkiri. Salah satu puisinya terpilih dalam ajang Payakumbuh Poetry Festival (2024). Beberapa puisinya yang lain tersiar di Tempo, Kompas, Sastra Media, dan media lainnya.