Pada Hari ketika Malam Lelap di Pangkuannya Sendiri
; Nurillah Achmad (UWRF 2019)
Malam merah
Kuku-kuku setan menggaruk suara jangkrik
Hingga sepi
Tujuh malam selepas kepergian
Adalah altar persembahan
Yang menggoda anjing-anjing liar
Sesaji tersembunyi;
Berlian di perut bumi
Berkilau-kilau dalam mimpi keluang
Ada yang mengintai
Di tengah malam terpejam
Sepasang ibu dan anak berpelukan
Dingin dan gelap di luar
Sekali lagi kematian bakal menjelang
Jika perut bumi terkoyak
Dalam liur anjing kelaparan
Wajah suami—ayah
Berlesatan di antara cairan bulan
Malam meleleh
Di dalam sebuah lahat
Seorang wanita dengan perut menganga
Menampakkan wajah mungil
Yang kini telah hilang satu jarinya
Pra Hari ketika Malam Lelap di Pangkuannya Sendiri
; Nurillah Achmad (UWRF 2019)
Ayah kembali datang menemuiku
Dengan sekuntum bunga
Semerbak bau surga
Ia usap tubuhku
Ia mandikan aku
Dengan sebotol air kembang
Disebutkannya namaku
Seperti embun yang jatuh dari daun talas
Ketika mentari beranjak pergi
Kerinduan pun pecah
Sebagai remah-remah tanah
Dalam pelukan ibu, aku berkata
"Tidak ada luka di sini ya bu"
Terperangkap
Waktu pecah
Jadi bongkah kristal air mata
Pertemuan yang khatam
Menjejali dada dengan perdu
Lalu ada yang datang dari penjuru
Batang rindu tumbuh menjalar bagai benalu
Wild
Tubuh hutan gemetaran
Dingin bagai halimun
Menyeruak dari pohon-pohon tua
Batangnya rikuh seperti jari ajal
Yang liar, yang ganas
Tidak ada tempat bermukim
Di bawah rindang rimbun dedaunan
Bagi biota satwa
Tanah yang menumbuhkan buah kenangan itu
Tak lebih dari mezbah
Yang berisi jamuan bagi
Rumput-rumput liar
Di atas sebuah makam
Napas menderu
Tumbang satu-satu
Dan kematian menjadi semacam dadu
Yang berisi pertaruhan
Berapa pucuk daun yang bakal gugur
Di senja hari?
Ketika Jarak Melahirkan Tak Lebih dari Cemas
Dan rindu kan membatik sepanjang horizontal cakrawala
Andaikata origami burung yang menerbangkan doa kita
Hilang antara pancang pemancar dan pucuk menara
Lebar jarak kan menggerogoti tugur mimpi
Ibarat dedaunan terancam layu tanpa hangat belai syamsi
Adakah bisa kita harapkan sebuah pelukan selepas ini?
Medusa
Dan dahaga yang kian berapi
Di antara dua lembah bukit khuldi
Dan bunga bara yang kian magma
Di antara dua pangkal pohon maja
Telah menumbalkan segala kebajikan lalu
Di Kuil Minerva, kau menyadari
Bahwa dewa dewi di Olympus
Tak lebih dari para tartaros
Yang suka memuaskan hasratnya sendiri
Dan kutukanlah bagi mereka yang tercipta fana
Sebab terlahir untuk menghamba
Pada berhala-berhala yang batu hatinya
Ratapanmu pun tak lebih seperti deru angin
Yang terhalang oleh tembok-tembok kuil
Atau guruh oceanus
Yang tak bisa melewati cadas karang di pantai
Atau desau napas terakhir ayam
Yang tak bisa menghalangi pisau jagal
Dari mengantarkan kematian padanya
Kehidupan telah mempersembahkanmu
Sebagian isi dari kotak pandora
Dan kau sebagai makhluk yang dikutuk fana
Hanya bisa menerima
Dengan lengan koyak
Diamuk duka
Deforestasi
Mengapa hutan memanggang dirinya
Saat tahun-tahun kian lahir prematur?
Angin barat yang tak lagi menjadi rahim hujan
Barangkali telah bermufakat
Untuk melakukan genoshida
Pada daun-daun hijau yang terbatuk-batuk
Kenyang menghirup aroma kapitalis
Hutan membiarkan tubuhnya dilalap murka
Dan ingin mengutuk dunia
Dengan jelaga dan daging hangus satwa langka
Bisa jadi ia ingin segalanya pergi
Dan terbebas seperti rangkong
Mengepak kuat menuju taman bebunga
Selagi para borjuis itu sibuk menambah
Timbunan lemak di tubuh gempalnya
Waktu ketika Kita Sirna sebagai Kemasing-masingan
Sebuah kulacino
Di atas meja kedai kopi
Perlahan kering
Merebak sunyaruri
Dalam jam yang perlahan hening
Sebuah kesementaraan
Betapa baka
Sebuah kecupan
Menjadi fana
Dalam bening gurat bundar
Bekas lindap secangkir robusta
Yang perlahan sirna
Fathurrozi Nuril Furqon, alumnus TMI Al-Amien Prenduan 2021. Suka membaca, menulis, dan melamun.