BODIES BODIES BODIES, Sebuah Film Partikelir kah?

27/02/2023

“Sometimes your dearest friend whom you reveal most of your secrets to becomes so deadly and unfriendly...”

Halina Reijn, seorang sutradara kelahiran Belanda 47 tahun lalu, menggarap sebuah film berjudul “Bodies Bodies Bodies” produksi 2AM, A24 yang tayang serentak pada tahun 2022 lalu. Ditulis oleh Kristen Roupenian, film ini memaksa saya mengernyitkan dahi setelah beberapa saat selesai menontonnya. Bukan tanpa alasan, film ini jelas ingin menyampaikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bukan saja tervisualisasi dalam filmnya, sesuatu yang bukan saja terucap dari setiap dialog para tokohnya, sesuatu yang nampak luas, dalam, dan mengerikan.

Film berdurasi 1 jam 35 menit ini secara sederhana hanya berkisah tentang sekelompok anak muda yang menasbihkan kelompok mereka sebagai suatu perkumpulan sahabat, masing-masing tokoh dalam film ini, kecuali Bee, yang bukan bagian dali kelompok ini sebelumnya, adalah keturunan borjuis yang memiliki akses lebih untuk mendapatkan ketenaran, pengikut, uang, dan hal-hal lain yang menguntungkan bagi mereka. Satu waktu, mereka mengadakan pesta anak muda di sebuah rumah mewah yang berada jauh dari pusat kota dan memiliki akses terbatas. Rumahnya pun adalah rumah dari orang tua salah satu tokoh yang ada di film ini. Sialnya, sebuah badai memaksa mereka untuk bermalam di rumah tersebut. Dengan akses internet yang sementara terganggu, tak ada pilihan lain ketika mereka akhirnya memulai sebuah permainan semacam “werewolf” yang lama kelamaan, permainan itu menguak tabiat tiap karakternya. Suasana permainan berubah menjadi tegang ketika sisi kelam masing-masing karakter mulai tersentuh. Mereka cenderung rapuh, obsesif, dan liar. Singkatnya, hubungan persahabatan mereka nampak dangkal dan gelap. lalu apa yang menjadi sumbu konflik di dalam film ini? Ya, saat seorang tokoh pecandu bernama “David” harus meregang nyawa ketika sebuah kapak hampir menebas sempurna lehernya sehabis permainan itu dibubarkan.

Lantas, apakah film hanya berjalan dalam formula Who do it? Tunggu, film ini tidak semembosankan itu. Ulasan ini akan saya mulai dari statemen sang sutradara, kurang lebih begini, “Bodies Bodies Bodies menjadi ujian bagaimana Gen-Z menggunakan TikTok dan platform media sosial lainnya untuk mendefinisikan diri mereka.” Menarik untuk mencermati ucapan dari sang sutradara yang sedari awal saja, ia tidak menekankan formula genre apa yang dibawa film ini, tapi ia seolah-olah menyindir secara tegas konklusi apa yang penonton dapatkan ketika selesai menonton film ini. Respon seperti yang saya tuliskan inilah mungkin yang diharapkan oleh Halina Reijn.

Selesai bagi saya ketika saya sadar, bahwa film ini bukanlah drama berdarah-darah “who is dead-who do it” yang menyuguhkan kejeniusan si pembunuh dalam menghabisi mangsanya satu per satu seperti di film-film lain. Bukan bermaksud tidak mengindahkan film-film yang mengusung genre misteri, thriller, dan film-film mind blowing lainnya yang sukses secara besar. Formula alternatif yang dibawa Bodies Bodies Bodies inilah yang saya suka dan kagum, sebab jika sedikit saja Halina “terpeleset” dalam proses penggarapannya, maka film ini akan masuk dalam daftar film yang tidak direkomendasikan untuk ditonton oleh beberapa reviewer.

Bodies Bodies Bodies menyoroti pola komunikasi kelompok remaja yang dikenal sebagai Gen-Z nyaris tak pernah bisa melepaskan tangan dan pandangan dari perangkat gadget-nya. Bisa dilihat dengan mudah dari tiap pengenalan karakter di film ini yang begitu dekat dengan teknologi, anak muda yang biasa menjadi influencer, memiliki akun instagram dengan ribuan pengikut, menginisiasi program podcast, mencari eksposur berlebih. Ketika mereka sibuk dengan perangkatnya, banyak hal terjadi di depan mata berlalu begitu saja, tak lagi saling memandang, tak lagi melihat apa yang benar-benar terjadi di dunia yang ada di sekelilingnya. Lalu, masih pantaskah semua itu disebut sebagai bagian dari komunikasi?

Menurut Nisrin Husna, seorang Magister Ilmu Komunikasi, fenomenologi Gen-Z yang selalu bersentuhan dengan gadget setiap waktu membuat relasi yang terjalin hanya kuat di dalam dunia maya. Sementara relasi dengan dunia nyata seringkali terputus. Hal ini diyakini sebagai pemicu terciptanya pola komunikasi baru dalam lingkaran generasi mereka. Mengutip juga dari buku The Communicative Arts and Science of Speech karya Keith Brook bahwa sudah tak ada lagi jurang pemisah antara dunia nyata dengan dunia maya. Layanan chat online setiap waktu membuat pertemuan fisik antar personal makin berkurang. Bahkan, sekalipun mereka bertemu, gadget tak pernah bisa lepas dari genggaman mereka.

Serupa dengan karakter-karakter dalam film Bodies Bodies Bodies, mereka adalah orang-orang yang skeptis dan sinis, meskipun memiliki kemampuan multi-tasking yang hebat, mereka mengalami adiksi yang membuat pola sosialisasi mereka gagap, penuh kewaspadaan, dan saling curiga.  Sesuatu yang paling menyita perhatian adalah bagaimana film ini diakhiri. Alih-alih menjadikan seorang tokoh menjadi pelaku utama pembunuhan berantai yang terjadi, film ini menjungkirbalikkan stigma bahwa sesuatu yang mengerikan, dalam hal ini pembunuhan, tak melulu terjadi atas kehendak seseorang, namun terjadi akibat pola tingkah laku mereka sendiri yang skeptis dan tak mampu berpikir secara dingin dalam menyikapi sebuah masalah. Sepanjang film berjalan, merekalah yang tengah membunuh diri mereka sendiri. Film ini seakan menjadi stereotipe mini keadaan dunia sekarang, yang kita tengah berada di dalamnya, kita yang melulu skeptis terhadap suatu fenomena, kita yang tengah digiring dalam sebuah pembantaian, pertarungan yang kita ciptakan sendiri. Sebuah eksekusi film yang brilian. Lantas, partikelir Gen-Z kah film Bodies  Bodies Bodies ini? Kita sendirilah yang harus merumuskan dan menjawab, berada di mana posisi kita dalam situasi pertarungan ini!

 

Agus Salim Maolana.