Antara Islam dan Sosialisme: Pembelajaran dari Gerakan Pembebasan di Mekah

01/04/2024

Islam adalah agama yang dianggap sempurna karena tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), tetapi juga mengatur interaksi antar manusia (hablum minannas). Ini sesuai dengan Surah Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan: "Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama untukmu." Selain itu, ajaran Islam tidak hanya memberikan panduan individu tetapi juga mencakup kerangka sosial yang lebih luas dan kompleks.

Kehadiran Islam memberikan solusi bagi masyarakat Mekah yang saat itu dilanda oleh ketidaksetaraan dan disparitas sosial akibat kemiskinan, eksploitasi ekonomi, feodalisme, dan perbudakan. Abu Bakr Jabir Al-Jazaa'iri dalam "Minhajul Muslim" pernah menyatakan bahwa perbudakan timbul dari tiga kondisi: kekalahan dalam perang, kemiskinan, dan perampokan atau pembajakan. Namun, pada dasarnya ketiga kondisi ini diakibatkan oleh satu masalah utama, yaitu siklus penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lain.

Perang terjadi karena adanya perjuangan kekuasaan antara suku-suku besar di Semenanjung Arab. Pada saat itu, suku-suku ini mengklaim superioritas, memandang orang di luar suku mereka sebagai orang barbar yang harus tunduk dan menjadi pelayan atau bahkan budak. Kemiskinan sendiri diakibatkan oleh sistem ekonomi di mana individu kaya dan pemilik budak memonopoli kekayaan, bahkan memperlakukan budak sebagai barang milik sepenuhnya.

Ketidaksetaraan dan disparitas sosial inilah yang akhirnya menyebabkan perampokan dan pembajakan. Suku-suku yang terlalu lemah untuk terlibat dalam perang skala besar melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap kafilah perdagangan, gembala, dan petani untuk menjaga kelangsungan hidup suku mereka. Kekayaan dirampok, gembala dan petani dieksploitasi selama bertahun-tahun, bahkan beberapa di antaranya dijual sebagai budak. Siklus penindasan dan eksploitasi ini bertahan selama berabad-abad di era sebelum kedatangan Islam, atau yang dikenal sebagai zaman kebodohan (Jahiliyyah).

Agama Pembebasan

H. Agus Salim dalam Kongres Nasional Keenam Persatuan Islam pada Oktober 1921 di Surabaya menyatakan bahwa "Muhammad mengajarkan sosialisme dua belas ratus tahun sebelum Karl Marx." Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad menawarkan konsep keadilan kolektif, yang kemudian diterjemahkan oleh Karl Marx menjadi Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas. Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi bagi Kaum Terpinggirkan" menyatakan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama pembebasan. Islam datang untuk memutuskan belenggu penindasan dan eksploitasi bagi seluruh umat manusia, menjadikan seluruh umat manusia sebagai masyarakat Tauhidic (masyarakat yang bersatu) tanpa perbedaan kelas.

Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad mengajarkan bahwa semua manusia sama di mata Allah, dan satu-satunya perbedaan terletak pada tingkat keimanan mereka. Muslim tidak diizinkan membedakan antara orang berdasarkan kekayaan atau posisi mereka karena segalanya hanya dipercayakan oleh Allah. Sentimen serupa dapat ditemukan dalam "Manifesto Komunis" karya Karl Marx dan Friedrich Engels, di mana perbedaan kelas antara kaya dan miskin, tuan dan pelayan, serta antara pemilik modal dan kelas pekerja (kapitalisme) hanya akan menciptakan sistem penindasan dan ketidakadilan, akhirnya mempertahankan orang kaya dalam kekayaan mereka dan orang miskin dalam penindasan mereka.

Hubungan Islam dan Sosialisme

Sosialisme, seperti yang diajarkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sudah dibahas dalam Quran berabad-abad sebelumnya. Salah satu contohnya adalah dalam Surah Al-Humazah ayat 1-4, di mana dikatakan: "Celakalah setiap pengumpat dan pencemooh, yang mengumpulkan harta dan selalu menghitungnya. Dia mengira bahwa hartanya akan membuatnya kekal. Tidak! Dia akan segera dilemparkan ke dalam pembakar." Ayat-ayat ini secara langsung dan terbuka mengutuk kelas kapitalis yang terus-menerus menimbun kekayaan dan menghitungnya. Para kapitalis, yang hanya mengejar keuntungan pribadi dengan mengeksploitasi nilai tambah dari petani, budak, dan buruh untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kekayaan, adalah mereka yang benar-benar melawan oleh Nabi Muhammad sepanjang kenabian-Nya.

Kehadiran Karl Marx di tengah eksploitasi besar-besaran masyarakat kapitalis di Jerman sangat mirip dengan peristiwa ketika Nabi Muhammad menerima wahyu sebagai utusan Allah. Dia diutus untuk melawan ketidaktahuan dan kesesatan karena keduanya merupakan akar penyebab penindasan oleh masyarakat kapitalis Mekah. Dalam sejarah awal penyebaran Islam di Mekah, sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, dia menghadapi penolakan dari orang-orang kaya yang sebenarnya takut dengan ajaran egaliter yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Penolakan ini tidak sepenuhnya dipahami oleh mayoritas umat Islam, yang percaya bahwa elit Mekah menolak semata-mata untuk mempertahankan agama nenek moyang mereka. Lebih dari itu, mereka sebenarnya tidak ingin jika sistem yang telah mempertahankan kekayaan mereka harus digantikan oleh ajaran pembebasan yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Penindasan terjadi karena ketidaktahuan dan kesesatan, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad bertujuan untuk melawan semua itu, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Surah

Al-Alaq ayat 1, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." Kata "bacalah" dalam ayat ini, ketika diinterpretasikan secara mendalam, mengajak kita untuk membaca/mengamati realitas di sekitar kita dengan cermat. Manusia dinyalakan dengan kesadaran untuk menyadari kondisi sekitar, bahwa di depan mata kita ada sistem yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk memperkaya diri dan komunitas mereka dengan menindas manusia lain dan komunitas yang lebih lemah.

Para elit Mekah pada saat itu marah karena ketakutan mereka akan transformasi sosial yang akan dibawa oleh ajaran Nabi Muhammad. Isu yang muncul bukan hanya masalah kepercayaan tetapi lebih pada ketidaksiapan mereka atas konsekuensi sosio-ekonomi yang akan terjadi jika ajaran Nabi Muhammad yang menentang semua bentuk dominasi ekonomi, konsentrasi, dan monopoli kekayaan, pemborosan, penimbunan, dan perbudakan dapat tersebar luas di masyarakat Mekah. Mereka takut dengan perlawanan yang akan timbul ketika yang tertindas mengetahui bahwa kebebasan mereka dijamin oleh Allah semesta alam melalui Nabi Muhammad sebagai perantara. Ini dapat dibuktikan karena banyak pengikut awal Nabi Muhammad berasal dari budak atau orang miskin tertindas.

Islam Perubahan

Indonesia, sebagai masyarakat dengan jumlah umat Muslim terbesar, harus merenungkan rangkaian peristiwa sejarah pembebasan rakyat Mekah. Mayoritas orang di Indonesia masih menafsirkan Islam terlalu sempit, yaitu sebagai bentuk ketaatan individualistik yang hanya menjanjikan surga bagi mereka yang rajin beribadah dan mempelajari Quran. Tafsiran ini sangat bertentangan dengan sejarah munculnya Islam di Mekah 13 abad yang lalu. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak hanya mengajak kita untuk taat kepada Allah melalui ketaatan individual tetapi juga memobilisasi dan mengajarkan kita untuk berdiri melawan ketidaksetaraan dan disparitas sosial. Di tengah iklim kapitalisme-eksploitatif, Nabi Muhammad dan para pengikutnya, yang tertindas, berjuang untuk mengangkat suara kesetaraan, persaudaraan, dan keadilan.

Mansour Fakih, dalam bukunya "Mencari Teologi bagi Kaum Terpinggirkan," memperkenalkan istilah masyarakat Tauhidic. Dalam perspektif ini, "tauhid" tidak menunjuk kepada kesatuan Tuhan tetapi pada persatuan masyarakat dan penciptaan masyarakat tanpa kelas. Manusia tidak lagi dibedakan berdasarkan penampilan visual, latar belakang rasial, etnis, agama, atau kepemilikan kekayaan dan sarana produksi mereka karena segalanya sama dan dibagi. Di dalam masyarakat ini, tidak ada lagi kelompok yang mencari akumulasi keuntungan dari menindas kelompok lain karena semua barang diproduksi berdasarkan kebutuhan, dan setiap orang menerima sesuai dengan kerjanya. Tidak ada lagi orang yang harus merasakan pahitnya kemiskinan karena semua upah dibayar langsung tanpa harus melalui kantong para kapitalis. Para kapitalis tidak lagi sewenang-wenang mengendalikan produksi dan diharuskan untuk bekerja dan berkeringat untuk memenuhi kebutuhan mereka karena sarana produksi sepenuhnya bersifat komunal.

Soialis-Tauhidic

Meskipun Karl Marx memprediksi bahwa "Kapitalisme akan runtuh karena keserakahannya sendiri," sebagai orang yang beriman kepada Quran dan Rasul Allah, kita harus tetap berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu kapitalisme karena dalam Surah Al-Qashash ayat 5-6 dikatakan: "Dan Kami hendak mengaruniakan karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi dan menjadikan mereka imam dan menjadikan mereka pewaris. Dan Kami tetapkan mereka di bumi." Jelas bahwa Allah menemani yang tertindas dalam setiap langkah menuju transformasi sosial. Lebih lanjut, dalam Surah Ar-Ra'd ayat 11, dikatakan: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Menurut petunjuk ayat ini, transformasi sosio-ekonomi hanya akan lahir dari gerakan massa yang tertindas dan bukan dari surga.

Sejarah pembebasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad terhadap yang tertindas di Mekah telah menceritakan segalanya, bahwa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta hadir untuk memutuskan belenggu penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia lain melalui sosialisme. Karena sosialisme adalah ajaran dari Nabi Muhammad sendiri, maka sistem ekonomi syariah yang diterapkan di Indonesia juga harus membela sosialisme dan menjadi kompas bagi gerakan menuju transformasi sosio-ekonomi dari masyarakat kapitalis ke masyarakat Tauhidic.

 


BIO SAYA:
Nama Penulis: Fadhel Fikri

Atribusi/Deskripsi:
 Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Website:
https://sabdaliterasi.shop

Email:
fadhel13fikri@gmail.com