Pengejaran

05/04/2023

Kejar... kejar... jangan biarkan lolos...!” Suara lantang aparat terdengar memberi perintah kepada rekan-rekannya sembari mengejar. Berkali-kali letusan senjata api ditembakkan. Jalan semak berlumpur ditumbuhi rumput liar, melewati daun pandan berduri menggesek lengan dan kaki, sama sekali tak dirasakan. Lari dan terus lari.

Peluru-peluru lebih mendahului pelarian kami. Melukai semua pepohonan  besar di depan dan di samping. Beberapa jengkal nyaris mengenaiku. Aku terus berlari menghabiskan segala kemampuan. Begitu pula temanku. Badan kami yang kurus dan menguasai lokasi membuat perlarian kami mampu mengalahkan para pengejar yang berbadan besar dan tegap itu.

Sore itu benar-benar membuat jantungku keluar dari dalam badan. Sedikit saja disentuh peluru, aku akan pasrah di dua tempat, penjara dan pulang ke neraka. Tanpa komando kami harus berpencar, mencari cara menyelamatkan nyawa masing-masing. Sisam melaju ke arah depan, aku ke kiri, dan Nawir memilih jalur kanan. Sedangkan Idin di belakangku entah memilih jalan mana.

Memasuki hutan yang semakin lebat matahari kian terbenam, aku mulai bernafas lega, besar kemungkinan selamat dari bahaya yang mengancam. Di hutan yang lebat ini aku memperlambat pelarian. Suara senjata api tak terdengar lagi. Lebih baik bertemu hantu dari pada berhadapan dengan aparat yang akan menyiksa hidupku sampai masanya dibebaskan setelah bertahun-tahun kemudian.

Sebelum kejadian ini, kami berempat sedang asik-asiknya melinting gelek. Ketika lintingan hampir selesai dan belum sempat menikmati penganan syurga dunia itu, pintu didobrak dari arah luar. Beberapa aparat muncul menodongkan senjata. Kami langsung berhamburan ke belakang menuju semak semak tanpa alas kaki.

Semua kenakalan ini tanpa kemauanku. Cita-citaku ingin menjadi anak yang baik. Terlebih setelah ibu meninggal. Semua sikapku ingin sepenuhnya kuubah agar semua orang tahu bahwa ibu telah meninggalkan seorang anak yang patut dibanggakan.

“Kamu anak yang baik. Jangan kecewakan ayahmu lagi. Pesan terakhir ibu  sebelum malaksanakan operasi usus buntu di rumah sakit.”

Setelah beliau meninggal. Aku menjalankan amanahnya. Tapi ayah tak benar-benar menyukaiku. Dia lebih sayang dengan Ari, Abangku. Sebab, Ari sudah bekerja dan dapat diandalkan. Semua keinginan Ayah dapat dikabulkannya. Sedangkan aku hanya pengangguran yang putus sekolah di kelas 2 SMA, gara-gara tak naik kelas. Keputusanku untuk mengakhiri sekolah dan memilih jalan bekerja sebagai buruh harian sama sekali tak diterimanya. Baginya aku membuat aib, harapannya agar aku menjadi seorang polisi kandas oleh keputusanku yang konyol.

***

“Kali ini saja, ya!” Sebutku kepada Sisam, ketika dia menyodorkan selinting gelek padaku. Itu kulakukan untuk menghargai kawan. Sisam tahu persis pikiranku teramat kacau.

“Cobalah, pikiranmu akan tenang, semua masalah yang kau hadapi  akan sirna selagi biusnya ada di kepala,” penjelasan Sisam membuatku tertarik meski ragu-ragu.

Hisapan pertama itu harusnya menjadi yang terakhir sesuai ikrar janjiku dalam hati. Tapi kucoba lagi, toh tak ada reaksi apa-apa dan tidak membuat mabuk seperti yang dibilang kebanyakan orang.

Tapi aku mulai merasakan ada suasana yang berbeda, ada rasa nyaman, segala sesuatu dalam hidup terasa enteng, hidupku begitu gembira tanpa sebab. Jika aku ingin terbang cukup mudah. Hanya perlu mengepak-ngepakkan tanganku lalu dalam hitungan detik berubah menjadi sayap, melayang-layang di udara, ke mana saja aku pergi memiliki kebebasan hinggap dari satu dahan ke dahan lain.

Setelah puas terbang aku kembali ke wujud semula. Aku heran tadinya rebah di lantai, kok sudah jongkok di kursi. Entah sejak kapan aku bangun, mungkin sejak berimajinasi terbang bebas ke udara tadi.

Lho, kenapa aku sekarang berbaring dikursi? Mungkin sejak aku memikirkan kenapa aku tiba-tiba jongkok lalu aku lupa bahwa tubuhku sudah bergerak ke arah yang lain. Saat berpikir dan mengingat sesuatu, saat itu aku lupa sudah bergerak pada posisi yang berbeda. Ini sungguh aneh tapi benar-benar nikmat yang belum pernah aku rasakan.

Butuh waktu lama baru keadaan benar-benar pulih. Ternyata begini mabuk ganja. Mungkin itu alasan setiap pencoba menjadi pengguna. Walau belum kecanduan, rasa yang hinggap di otak membuatku penasaran dan ingin mencoba lagi. Kami mengonsumsinya di tempat-tempat tertentu saja asalkan aman dari siapa saja.

 “Gelek membuat kita berpikir lebih dewasa,” cerita Nawir meyakinkanku.

“Tapi hati-hati. Salah dalam pengendalian akan membuat kita gila” Sisam menambahkan sambil melinting-linting lalu menyodorkan kepadaku. Dia sudah senior bergelut di dunia pergelekan. Dia pula yang menjadi nara hubung sehingga barang ini sampai  ke tangan kami.

Memesan barang ini taklah semudah membeli kacang rebus,  butuh waktu yang tepat, tempat yang aman, tak boleh siapa pun yang tahu atau orang asing sekali pun saat kita bertransaksi. Tapi petualang ini yang Sisam suka. Dia pernah ditawari bandarnya untuk berjualan, dengan imbalan yang cukup menggiurkan.

Aku pernah sekali menemaninya ke tempat Sang Bandar. Ada sebuah gubuk reot di pinggir jalan. Meskipun reot dan terkesan tidak terurus, namun ruangannya bisa ditempati hingga 5 penghuni kamar. Dari cerita Sisam, rumah ini juga menyediakan wanita penghibur, berkedok sebagai rumah makan serta berjualan makanan biasa. Pengunjungnya kebanyakan dari para lelaki yang tak kami kenal, para pelintas.

“Apakah tidak ketahuan?” tanyaku was-was.

“Semua sudah ada sebab-akibat. Sebab membayar  maka akibatnya akan aman.”

“Siapa yang membuat aman?” tanyaku

“Ah, kamu ini. Sudah pasti yang berwewenang di sana.”

“Hebat!”

“Apanya yang hebat?” tanya Sisam mengeryitkan kening.

“Orang di sana yang kenyang, kita di kampung ini yang dapat aibnya, sebagai sarang narkoba.”

“Apa orang-orang kita di sini banyak yang nginap?” lanjutku makin penasaran.

“Ada.”

“Siapa?”

“Ah, kau ini. Urusan kita membeli barang, bukan mencari tahu siapa yang suka main perempuan.”

“Hahaha...! paling tidak kau tahu siapa pelangggan yang suka mangkal hingga menelantarkan keluarganya di rumah.”

Sisam tak menjawab. Sebagai lelaki yang sering keluar masuk gubuk itu dia pasti tahu siapa-siapa yang suka bertandang ke sana, bahkan dia tahu bandar besarnya. Salah seorang warga mereka. Pemilik warung, hanya tempat penitipan.

Lagi-lagi aku penasaran siapa pemuda kampung sebagai bandar besar itu. Bahkan dia bandar kelas kecamatan. Sisam menolak memberi tahu.

“Oh... eh... hmm... nggak usah. Itu tak penting buat kita,” Sisam tergagap saat aku bertanya.

***

Sejak pengejaran itu aku jadi kapok. Aku merenung sangat lama. Kalau kulanjutkan perbuatan setan ini bisa-bisa aku benar-benar tertangkap. Seisi kampung akan tahu, aku akan malu, akan dicap sebagai lelaki sampah oleh banyak orang dan  aku tambah tak diterima oleh keluargaku sendiri.

Bagiku dalam hidup ini, yang teramat pedih adalah ketika tak punya pedoman hidup, dikucilkan masyarakat, dan tak diterima oleh keluarga sendiri. Aku masih punya kesempatan besar, menjadi pribadi yang lebih baik. Membuang perangai yang buruk terutama kenakalanku sebagai remaja yang ikut-ikutan mengkonsumsi narkoba.

Barangkali sebagian kata-kata ayah ada benarnya, Ari memang patut dicontoh. Di usianya yang masih mudah dia mampu menjadi lelaki mapan. Bekerja di perusahaan swasta sebagai karyawan, aku tak pernah bertanya gajinya berapa. Tapi dari uang yang dia dapat menunjukkan kalau gajinya besar. Semua yang ayah inginkan dapat dikabulkannya. Dan rezekinya semakin hari semakin lancar.

Berapalah gaji karyawan. Setahuku, cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari. Kabanyakan karyawan ceria pada tanggal muda, masam di akhir bulan. Beda dengan Ari, angka penanggalan tak mempengaruhi isi dompetnya. Seolah-olah duitnya mengalir bak mata air. Dia bekerja pagi pukul 08.00 WIB dan pulang ketika sore. Malam harinya, dia berangkat lagi.

“Ada jadwal lembur” katanya sambil menenteng tas kecil yang kelihatannya terisi penuh.

Sejak lembur, keuangannya tambah pesat. Kian hari jadwal lemburnya semakin padat. Kadang tak pulang berhari-hari. Aku tak ambil peduli. Yang penting dia sudah melengkapi fasilitasku, dengan membelikanku motor untuk menlansir minyak dari SPBU ke pengencer, cukup membuatku keluar dari kata menganggur. Dia juga membelikanku hendpone mewah yang harganya tak terjangkau oleh rekan sejawatku.

Tiba-tiba aku teringat gubuk tua di pinggir jalan lintas itu. Sudah lama aku tak ke sana. Sejak aku tak bergaul lagi dengan Sisam, Nawir, dan Idin. Aku berjanji akan menggauli tiga sahabatku itu setelah mereka benar-benar bertobat dari candunya.

Sore ini aku ingin ke sana. Kabarnya ada warung bakso baru dibuka yang berdekatan dengan gubuk itu, enak rasanya. Aku penasaran  dan segera ingin mencicipi. 

Di warung bakso aku menanti pesanan, duduk menghadap jendela. Terlihat jelas gubuk reot itu dari samping. Tapi gubuk itu benar-benar sepi.

“Rumah makan sebelah kenapa sepi?” tanyaku.

“Oh, iya. Abang baru tahu ya, tadi ada penggerebekan oleh BNN.”

“Trus, ada yang ketangkap?”

“Ada bang. Dua orang. Satu perempuan pemilik rumah makan, dan yang satu lagi pemuda di sini, bandar besarnya,” sebut lelaki pemilik warung itu.

“Tadi sempat berusaha kabur lewat pintu belakang  tapi berhasil  di dooor bagian kaki,” sambung istrinya.

“Ciri-cirinya bagaimana?” tanyaku tambah penasaran.

“Tubuhnya agak kurus, rambut keriting seperti abang.” jawab pria itu sambil menghidangkan semangkok bakso.

Itu pasti Sisam. Pikirku. Temanku yang satu itu memang belum berubah. Kalau sekiranya aku masih mengikuti jejaknya, barang kali aku juga bernasib sama. Tapi syukurlah, aku sudah terbebas dari itu semua.

Aku lanjut menyantap bakso. Rasanya benar-benar enak seperti yang dikatakan banyak orang. Belum separoh, nikmat bakso berubah ketika Sisam menelponku lewat panggilan video call. Aku tak mau terlibat dalam urusannya lagi. Mungkin dia menelpon meminta pertolonganku, agar bisa bebas.

“Indra...! Tolong diangkat!” Dia mengirim pesan menggunakan emoji memohon.

“Maaf Sam, aku tak bisa bantu.” Aku membalas komentarnya juga dengan emoji.

“Ini menyangkut 2  Kg sabu,” lanjutnya.

“Kan tak ada urusannya denganku.”

“Ada!” ungkapnya.

“Mau kamu apa? Aku sudah lama tak menggelek. Apalagi mengenal sabu. Jangan mengarang-ngarang kamu ya...!” Aku mulai emosi.

“Tolong singkirkan bungkusan di kamarmu, dalam plastik berwarna hitam. Di bawa rak sepatumu paling bawah. Abangmu menaruhnya di situ. Itu sabu. Cepat singkirkan sebelum polisi menggerebek kamarmu. Nanti kamu juga bisa terlibat!” Permohonannya membuatku tambah marah.

“Bajingan kau ya!” aku memakinya. “kau yang berbuat, kenapa abangku dan aku yang kau fitnah!” tambahku.

Dia tak menjawab lagi. Tapi mengirimkan beberapa foto. Membuat  aku sangat terkejut, gemetar, pikiranku berkecamuk tak percaya. Foto penangkapan oleh petugas BNN di gubuk reot. Ternyata yang ditangkap benar adalah abangku. Diborgol, tertunduk, diapit dua petugas. Kaki sebelah kirinya tampak berlumuran darah.

 

Dundangan, 13 Maret 2023

 

MUHADIR MUHAMMAD. Lahir di Dundangan, Pangkalan Kuras, Pelalawan. Alumni UIR. Semasa kuliah aktif di berbagai organisasi kampus termasuk HMI dan tabloid AKLaMASI UIR. Pernah menjadi wartawan portal media www.katakabar.com (2011 – 2012). Tahun berikutnya dipercaya menjadi editor di media  tersebut. Cerpen pertamanya: (Sialang Menghilang) meraih terbaik III dalam lomba Riau Sastra Festival 2022.

Saat ini tinggal di Pelalawan sambil terus menggeluti berbagai kegiatan sosial. HP/WA :081275413086, Email : muhadirmuhammad@gmail.com, Instagram: muhadirmuhammad56.