
Sudah sepatutnya bagi seorang anak untuk pergi menjenguk ibunya yang sedang sakit. Siang ini, ada enam pesan masuk yang kuterima, semuanya berisi hal yang sama: Pergilah menjenguk ibumu. Baiklah, pikirku. Kubalas satu per satu pesan itu, menjanjikan kedatanganku dalam waktu dekat. Aku bangkit dari sofa yang empuk, masuk ke kamar mandi, menyikat gigi seadanya, merapikan rambut, mengenakan mantel, lalu menuju rumah sakit tempat ibu dirawat.
Terus terang, aku tidak begitu peduli. Kupikir semua itu adalah hal yang wajar, lagi pula ibu memang sudah berumur. Hidup yang terlalu panjang justru terasa seperti hukuman; manusia sering lupa bahwa kita ini makhluk sementara. Mereka terlalu menikmati hidup seolah-olah segalanya bisa berlangsung selamanya. Ilusi kebahagiaan itu cukup untuk membuat siapa saja terlena.
Keangkuhan semacam itulah yang membuat manusia tampak canggung di hadapan kematian. Ya, Tuan-tuan, aku tidak peduli pada sesuatu yang sebenarnya sudah jelas akan menghampiri setiap orang. Tapi apa boleh buat? Ada norma-norma yang tetap harus dijalankan, dan salah satunya: sudah sepatutnya bagi seorang anak menjenguk ibunya yang sedang sakit.
Aku memarkirkan mobil di halaman depan bangunan tua rumah sakit itu. Sejak kecil, aku memang tidak pernah menyukai tempat ini. Menyusuri lorong-lorongnya selalu terasa menjengkelkan bagiku. Ada sesuatu pada lorong itu yang membuat langkah seolah menjejak lantai penuh paku—hanya saja yang terasa sakit bukan kakiku, melainkan seluruh pancaindra.
Bau obat-obatan langsung menyergap begitu aku masuk. Bau itu selalu membuat pikiranku sedikit kabur. Ada juga bau lain yang tidak terlalu ingin kujelaskan; semacam hawa kematian yang samar tapi cukup mengganggu. Belum lagi wajah-wajah yang harus kusaksikan sepanjang lorong. Raut-raut kesedihan dan penyesalan terpampang jelas di sana. Sebisa mungkin aku menjaga pandangan tetap lurus. Sebab, Tuan-tuan, rasanya tidak sopan menatap langsung bekas-bekas kehinaan dan dosa manusia yang selalu tampak jelas dalam diri mereka.
Di depanku, terdengar suara sekelompok orang yang sedang ricuh. Mungkin keluarga pasien yang baru diberi kabar bahwa seseorang telah meninggal—atau, jika kurang beruntung, masih berada dalam kondisi kritis. Ya, begitulah. Keangkuhan manusia selalu membuat mereka menganggap sesuatu seperti kematian sebagai musibah besar. Kapan orang-orang akan menyadari bahwasanya sebagian manusia di dunia ini justru menanti kematian dan tidak terusik karenanya? Jangan salah paham, Tuan-tuan, kondisi mentalku baik-baik saja—dan aku tidak
sedang menyangkal apa pun. Hanya saja, bagiku, matinya seorang manusia tidak lebih dari bagian wajar dari hidup itu sendiri. Tentu, mengetahui seseorang yang kaukenal tiba-tiba hilang begitu saja memang terasa aneh. Namun, tidak ada jaminan pula bahwa kita pernah betul-betul mengenalnya.
“Terkutuklah, terkutuklah para perenggut kehidupan!” Salah seorang anggota keluarga itu terduduk di depan pintu kamar pasien, menangkupkan wajahnya dengan suara yang merintih. Nada pilu bergema di lorong bersamaan dengan suara kuku-kukunya yang tengah mencoba mengoyak wajah sendiri.
Untung saja suara perutku yang kelaparan mendominasi indera pendengaranku. Kamar rawat ibu sebenarnya tinggal dua pintu lagi dari tempatku berdiri, tetapi apa boleh buat? Sudah sepatutnya manusia makan ketika merasa lapar.
Aku beranjak ke kantin rumah sakit, memesan satu paket nasi, dan mulai makan. Alangkah terkejutnya aku, ketika menemukan adik perempuanku tengah duduk menatap di meja seberang.
“Kau.” Aku refleks merapikan pakaianku dan mengelap sudut bibir, khawatir ada sisa makanan yang membuatku terlihat konyol. “Hm, siapa namamu—ah, adikku tersayang. Sedang apa kau di sini?”
“Menunggu seseorang.”
Kutatap raut wajahnya; tak ada ekspresi berarti. Sejujurnya, aku pun keheranan mengapa aku bisa mengenalinya, sebab inilah pertemuan pertama kami setelah sepuluh tahun tidak bertemu.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku. Otakku memaksaku berbicara karena kesunyian mulai terasa mengganggu.
“Ya, seperti yang kau lihat.”
“Bagaimana kondisi Ibu?”
“Lihatlah sendiri, kalau kau memang peduli.”
Aku mencoba membuat suasana sedikit lebih santai.
“Ya … dengan melihatmu berada di kantin alih-alih di kamarnya, itu cukup memberi petunjuk bahwa Ibu baik-baik saja.” Aku tersenyum jahil. “Ingin minum-minum denganku setelah ini?”
Tepat saat itu, ia berdiri. Ia menghela napas panjang. Ketika kuperhatikan lebih saksama, ternyata aku keliru—ada kemarahan besar yang tertahan di wajahnya, semacam pusaran yang, jika kuperhatikan terlalu lama, rasanya siap menelanku dalam-dalam.
Adikku yang malang, keangkuhan telah membuatmu menjadi sesosok pelawak. Kematianlah yang memberimu kehidupan. Sebab kau tak akan pernah merasa hidup jika tak mengenal mati. Janganlah memusuhi teman baikmu itu.
Ia tidak menjawab. Karena merasa sedikit diabaikan, aku melontarkan pertanyaan yang sama konyolnya.
“Tidakkah kau senang aku akhirnya datang menjenguk Ibu?”
Ia menggebrak meja. Nada bicaranya terdengar mengecam. “Sama seperti orang lapar yang makan, sudah sepatutnya seorang anak menjenguk ibunya yang sakit.”
Aku menyunggingkan senyum cemerlang. Kemarahannya itu membuatku ingin sekali tertawa terpingkal. Kuhampiri dirinya; sungguh adikku yang malang, kau sudah tercemar dengan siasat kejam dunia yang membuatmu senantiasa lupa betapa kecilnya kita di hadapan waktu.
Aku menatapnya sejenak. “Dan sudah sepatutnya bagi seorang manusia dijemput ajalnya.”
Aku beranjak pergi menemui ibu. Kubuka pelan pintu kamar itu dengan hati-hati. Ibuku duduk di ranjangnya menghadap ke jendela, membelakangi pintu. Cahaya sore menimpa wajahnya yang telah lama pupus dari ingatanku.
“Sedang apa?” tanyaku. Suaraku terdengar terlalu kaku untuk percakapan antara ibu dan anak.
“Menunggu seseorang,” jawabnya tanpa menoleh.
Aku mengangguk meski ia tidak melihatnya. Ada dorongan kecil untuk berdiri lebih dekat, tetapi rasa kikuk menahanku. Kata ibu saja terdengar asing saat keluar dari lidahku.
Ruangan ini dingin dan pucat. Rasanya seperti berada di lautan lepas; atau barangkali terbentang di suatu halaman yang luas, tetapi semakin lama justru seperti menyusut perlahan, mendekat dari segala arah. Udara di dalamnya menggantung berat, terdapat sensasi mencekik yang membuatku tergesa menarik napas.
Kini, segalanya terasa tak wajar. Seakan semua yang semula dianggap sudah sepatutnya, terasa tak patut untuk sekadar dipikirkan. Mengapa pula ada yang berhak menentukan patut atau tidaknya sesuatu, ketika semuanya asing terhadap segala sesuatu yang lain. Kematian telah
menjauhkanku dari hubungan antar manusia dan memisahkanku dari keterikatan dengan mereka. Sebab yang sementara tak boleh berkeinginan untuk menetap. Persahabatan, percintaan, dan segala hubungan antar manusia, hanya akan mencederai kewarasan; membuat para makhluk putus asa berupaya menyumpal celah itu dengan harapan.
Beberapa menit berlalu dan bagaikan seseorang yang dapat membaca pikiran, ibu mulai bersuara, “Kau makin pesimis,” ujarnya. “Dari dulu kau selalu menganggap hidup hanya rangkaian kesia-siaan. Tidakkah kau bosan berpikir seperti itu?”
Aku membuang napas pelan. “Aku tidak merasa pesimis,” jawabku. “Aku hanya tidak menganggap manusia semewah itu. Kalian seperti sekumpulan pelawak yang berpikir dilahirkan untuk memberi makna pada hidup. Padahal hidup sama sekali tidak acuh pada kehadiran kalian, dan peduli apa kehidupan pada nyawa manusia?”
Ia belum membalas lagi. Hanya kembali memandang ke luar jendela, seolah seseorang benar-benar akan datang dari kejauhan. Aku melihat punggungnya, dan senyuman perlahan terukir di wajahnya. “Alasan mengapa kau tak memahami kesedihan manusia akan kematiannya adalah karena kau tak pernah menjalani kehidupan. Kau hidup seperti orang mati. Sebab kau terlalu mengenal kematian dan menolak akrab dengan kehidupan.” Ibu menghadap ke arahku, secercah senyuman dan cahaya berkilauan emas menusuk tajam retina mataku. “Kau telah merenggut kehidupan dari dirimu, kematianmu adalah dirimu sendiri.”
Perutku bergejolak seperti ingin muntah. Kepalaku terasa berdenyut kencang, seolah ada tangan kasat mata yang mencabik otakku. Aku meraih tasku dengan gelisah. “Aku ... pulang dulu.”
***
Sesampainya di rumah, aku menjatuhkan tubuh di sofa dan tertidur begitu saja. Ketika terbangun, enam pesan tak terbaca memenuhi layar ponselku. Kutatap jamnya: pukul satu siang. Pesan-pesan itu berisi hal yang sama: Pergilah menjenguk ibumu.
Baiklah, pikirku. Sebagaimana seseorang yang makan ketika merasa lapar, sudah sepatutnya bagi seorang anak menjenguk ibunya yang sakit. Sudah sepatutnya pula orang-orang menangisi keluarga yang mati. Bahkan kemarahan adikku padaku—atas ketidakhadiranku, atas semua yang menurutnya tak kulakukan—itu pun sudah sepatutnya ia rasakan.
Dan sudah sepatutnya, Tuan-tuan, semuanya kubiarkan sebagai mimpi siang bolong yang masih terus menghantuiku semenjak kematian ibu sepuluh tahun yang lalu.
Varaziza lahir di Serang 2005. Seorang mahasiswi jurusan Ilmu Pemerintahan yang senang bermain dengan kata. Instagram: @vaznotfound.




