Bibi Marlina

14/05/2025

 

CELANA Mudris mulai basah kuyup ketika moncong pistol itu mencium keningnya. Sekujur tubuhnya mulai dibanjiri keringat dingin. Dari sudut matanya, ia dapat melihat pistol yang mengilat-ngilat diterpa cahaya lampu yang temaram di dalam dapur rumah itu.

Melihat keadaan Mudris yang demikian, Lelaki Perut Besar yang memegang pistol tidak dapat menahan gelak tawanya. 

“Hahaha. Bocah sontoloyo! Ngompol kamu ya?” 

“A-ampun, Pak. Sumpah, saya tidak melihat apa pun.”

Prakkk. 

Mendadak kaki bersepatu lars menerjang wajah Mudris. Darah muncrat dari sudut bibirnya. Ia tersungkur dan mengerang kesakitan. 

Bukan Lelaki Perut Besar yang menghajar Mudris, tetapi lelaki satunya, yang berkumis tebal. Lelaki Berkumis Tebal itu lantas mengusap-usap sepatunya.

Cih! Mengotori sepatuku saja!”

“Tidak mungkin kamu tidak menyaksikannya, benar kan?,” tanya Lelaki Perut Besar dengan nada mengintimidasi sembari mengarahkan pistol ke sudut dapur.

Mudris melihat ke sudut dapur. Di sana, perempuan sinting itu berdiri tanpa sehelai kain pun. Satu tangannya berusaha menutupi dadanya sementara tangan yang lain menutupi selangkangannya. Rambutnya yang hitam panjang masih meneteskan sisa-sisa air ke lantai dapur. Matanya menatap kosong ke arah Mudris, bagai hendak menyampaikan kepedihan yang tak dapat dikatakan, meski sesekali ia nyengir tanpa alasan. 

“Jawab bocah ingusan!” bentak Lelaki Perut Besar. 

“I-iya, Pak. Saya menyaksikannya. Tapi sumpah, saya tidak akan menceritakannya pada siapa pun.”

“Pakai sumpah segala. Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja?”

“Heh bocah! Mengapa kamu ada di sini? Apa kamu mengenal perempuan sinting itu?” sela Lelaki Berkumis Tebal.

Mudris tidak menjawab. Ketakutannya semakin menjadi-jadi. Sekujur tubuhnya seolah telah membeku sehingga tidak memungkinkan mulutnya untuk mengeluarkan barang sepatah kata.

“Jawab bocah tengik!” bentak Lelaki Berkumis Tebal. 

Prakkk.

Sekali lagi, kaki Lelaki Berkumis Tebal menerjang wajah Mudris. Kali ini pelipisnya yang muncrat darah. Seketika ia merasa dunia berputar-putar sebelum akhirnya ia terkapar antara sadar dan tidak sadar.

“Jangan terlalu kejam begitu dengan bocah ingusan,” kata Lelaki Perut Besar.

“Siap, maaf bos,” jawab Lelaki Berkumis Tebal. Ia kemudian mengikat kedua tangan Mudris dengan tali yang secara kebetulan ada di dalam dapur. 

Dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar, Mudris masih dapat menyaksikan saat-saat ketika Lelaki Perut Besar berjalan ke arah sudut dapur, menghampiri perempuan sinting itu. Sayup-sayup Mudris juga masih dapat mendengar erangan ketika Lelaki Perut Besar menindih tubuh perempuan sinting itu di lantai, bagai seekor anjing sedang menyantap makan malamnya. 

Mudris hanya bisa tenggelam dalam kilas kejadian beberapa saat yang lalu. Ia teringat riwayat perempuan sinting itu.

***

BEBERAPA saat yang lalu Mudris hanya bermaksud melakukan rutinitasnya, mengantarkan makan malam kepada perempuan sinting itu. Tentu Mudris mengenalnya. Perempuan sinting itu bernama Marlina, adik ibunya, sehingga perempuan sinting yang bernama Marlina itu tiada lain adalah bibinya sendiri. 

Tiga belas tahun lalu, saat Mudris belum lahir, Bibi Marlina masih waras. Namun, suatu malam yang kelam membuatnya kehilangan kewarasannya. Malam itu, Bibi Marlina yang mendengar ketukan pintu segera melesat karena mengira suaminya telah pulang. Namun, begitu pintu dibuka, hanya ada karung besar yang tersandar ditembok. Begitu karung dibuka, betapa terkejutnya Bibi Marlina ketika mendapati suaminya telah meringkuk kaku di dalam karung. Tak hanya itu, Bibi Marlina menjerit-jerit saat kepala suaminya perlahan melorot dari lehernya dan menggelinding di lantai. 

“Kurang lebih seperti itulah keterangan dari bibimu saat itu, sebelum ia benar-benar sinting,” kata ibu Mudris saat menceritakan asal mula kesintingan Bibi Marlina kepadanya.

“Mengerikan. Mengapa paman dibunuh dengan begitu sadis?”

“Ibu maupun Bibi Marlina juga tidak tahu. Tapi desas-desus penyebab yang kami dengar, beberapa hari sebelum malam yang kelam itu, pamanmu yang bekerja sebagai jurnalis menuliskan berita investigasi mengenai sindikat narkoba yang diduga melibatkan kepolisian. Tapi sekali lagi, itu hanya desas-desus, sebab sampai sekarang pun pelaku pembunuhan pamanmu tidak diketahui.”

“Lalu, mengapa ibu tidak mengajak bibi tinggal bersama kita saja?”

“Sejak jadi sinting, ia tidak mau didekati siapa pun.”

Memang, adakalanya kesintingan Bibi Marlina hilang. Pada saat-saat seperti itu, Bibi Marlina akan mandi dan membersihkan diri, memasak, dan membersihkan rumah. Namun, itu hanya terjadi sesekali dalam satu minggu. Setelahnya, Bibi Marlina akan kembali sinting. Ia akan cengar-cengir sendiri di teras rumah sembari menatap kosong ke arah halaman. Terkadang ia juga berteriak-teriak, menjerit-jerit ketakutan, tetapi terkadang juga tertawa terbahak-bahak. Bahkan terkadang ia juga memanjat pohon mangga dan latihan salto di halaman rumahnya. 

Bibi Marlina akan marah-marah jika ada yang berusaha mendekatinya. Secara gesit ia akan mengambil sapu, memutar-mutarnya, lalu memasang kuda-kuda bagai menantang orang yang mendekatinya untuk beradu silat. 

Siapa pun tentu tidak ingin repot-repot berurusan dengan perempuan sinting semacam itu, tak terkecuali Mudris, meskipun perempuan sinting itu adalah bibinya sendiri. Akan tetapi, siapa lagi yang akan mengurus perempuan sinting itu jika bukan ia dan ibunya? 

Sesekali Mudris mengirimkan stok bahan makanan agar bisa dimasak Bibi Marlina ketika waras. Namun, apabila sintingnya kumat, tidak ada yang bisa dilakukan Mudris dan ibunya selain memberikan jatah makan tiga kali sehari. Itu pun hanya bisa dilakukan dengan meninggalkan jatah makan di depan pintu. Setelah pintu diketuk, Bibi Marlina akan dengan sendirinya keluar mengambil jatah makannya, sebelum akhirnya kembali melesat dan mengunci pintu dari dalam.  

Malam itu pun Mudris hendak mengantarkan jatah makan malam kepada Bibi Marlina seperti malam-malam biasanya. Namun, sesampainya di rumah Bibi Marlina, tepat ketika Mudris akan mengetuk pintu, terdengar jeritan dari dalam. Samar-samar Mudris juga mendengar suara lelaki. Ia tersentak, kemudian bertanya-tanya mengenai apa yang sedang terjadi. 

Ia pun memutar ke samping rumah, lalu menyandarkan sepedanya di tembok, tepat di sisi dapur. Ia memijakkan kakinya di atas sadel sepeda dan memosisikan matanya tepat pada lubang ventilasi. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Bibi Marlina meronta-ronta karena dua lelaki sedang berusaha memereteli pakaiannya. 

“Cepat mandikan dia dan ganti pakaiannya, baju dan rok merahnya itu busuk!” kata salah seorang lelaki, Lelaki Perut Besar.

“Sayang sekali, perempuan ini sinting, padahal masih ashoyyy begini,” kata lelaki satunya, Lelaki Berkumis Tebal, sembari meraba-raba dada Bibi Marlina. 

“Ini berkah, tapi cepat mandikan dia dulu, goblok!”

Lelaki Berkumis Tebal menyeret paksa Bibi Marlina ke kamar mandi lantas mengguyurnya dengan air yang mengalir dari keran. Bibi Marlina masih meronta-ronta, tapi akhirnya ia bengong ketika tangan Lelaki Berkumis Tebal itu perlahan membasuh leher dan dadanya dengan sabun, kemudian pahanya dan sisi rahasianya. Bibi Marlina hanya menatap kosong dan nyengir ketika Lelaki Berkumis tebal itu berusaha menyikati giginya. 

Mudris yang menyaksikan semua kejadian itu menyadari, ada yang mengeras di balik celananya. Namun, hal itu tak berarti apa-apa dibandingkan rasa takut bercampur geram yang perlahan menjalar di sekujur tubuhnya. 

Mudris hendak pergi memberitahukan kejadian yang dilihatnya kepada ibunya. Sialnya, pijakan kakinya pada sadel sepeda goyah sehingga membuatnya terjatuh, menimbulkan kegaduhan yang mengagetkan kedua lelaki itu.

***

KILAS kejadian itu memudar, membuat Mudris tersadar bahwa kini kedua tangannya telah terikat. Darah mengering di pelipis dan sudut bibirnya. Perih masih terasa. 

“Bocah tengik itu sudah sadar?” tanya Lelaki Perut Besar sembari membetulkan celananya. 

“Barusan bos, tapi sayang sekali, dia tidak menontonmu tadi,” jawab Lelaki Berkumis Tebal sembari cengar-cengir di kursi, menampakkan deretan giginya yang berwarna kuning. 

“Hus! Bocah ingusan dilarang menonton begituan!”

“Lalu, mau kita apakan bocah ini?”

“Sebentar, biar kupikirkan.”

“Ehem, omong-omong, sekarang giliranku bos?” 

“Si anjing, tapi jangan lama-lama.”

Kini giliran Lelaki Berkumis Tebal yang menghampiri Bibi Marlina yang tengah terkulai di lantai sudut dapur. Secepat kilat ia mencopot celananya lalu menindih tubuh Bibi Marlina. Mudris hanya melihat sekilas sebelum pandangan matanya dihalangi tubuh Lelaki Perut Besar yang berdiri di depannya. Lelaki Perut Besar berjongkok, lalu untuk kedua kalinya meletakkan moncong pistol di kening Mudris.

“Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu,” kata Lelaki Perut Besar dengan tatapan dingin. “Tapi coba bayangkan, seandainya media memberitakan mengenai bocah ingusan yang memerkosa perempuan sinting. Coba bayangkan, seberapa viral berita itu nanti. Hahaha. Dengar, bocah tengik, setelah ini kamu ikut aku untuk diinterogasi. Jangan coba-coba melawan, atau kulubangi kepalamu sekarang juga!”

Belum sempat Mudris mengatakan apa pun, bogeman keras mendarat di rahang kirinya. Ia kembali tersungkur. Sayup-sayup ia mendengar erangan Bibi Marlina. Ia kembali teringat riwayat perempuan sinting itu. Ia juga teringat ibunya yang mungkin kini sedang menantinya pulang ke rumah. [] 

 


FAW Nugroho. Lahir dan tinggal di Pati, Jawa Tengah. Tulisan-tulisannya dimuat di media massa digital dan cetak. Dapat disapa melalui instagram: @femasn