Mendengar Pink Floyd,
Selepas Menonton The Shinning
lalu Aku Mengingatmu
: …
did he get you to trade,
your heroes for ghosts?
aku mengerti hidupmu telah lama disesaki
adegan-adegan mengerikan
dari film hantu yang tak kau sukai,
tetapi aku bukan Torance seperti ia
yang mendobrak pintu
mengacungkan kapak ke wajahmu,
kau pun tak akan pernah jadi Evelyn
sebab aku benci Patrick Bateman.
lalu kenapa kau tetap saja terjebak
dalam labirin tanpa tanda keluar
dihantui sosok yang mati
sebelum aku tiba
yang menuangkan anggur
mengisi gelasmu
dengan ingatan-ingatan beracun;
memar pelipis kiri, bibir pecah,
ruam di badan, sayatan pergelangan tangan,
dan caci maki masih saja berdengung
saban malam memantul di dinding kamar.
kasih dunia tak akan sepucat ketakutanmu,
gengam hangat pergelangan tanganku,
merapatlah ke sisiku—
biarkan malam luruh seperti abu
biar fajar tak lagi berbau lembab nisan,
dan kita beranjak
dari ketakutan yang pecah di pupil matamu
Lampung, 2025
Semacam Trauma
yang Kau Ceritakan Padaku
: …
masa kecil
di kepalamu serupa
semut merah
menggerogoti
sisa roti pagi tadi.
kau tau bahwa
menerka arah cahaya
di ruang gelap
hanyalah sia-sia.
dunia memang
gemar menyuguhkan
ragam ketakutan.
bahkan seekor semut mampu
menggigit lentik kulitmu
di ruangan yang hanya
berisi kau sendiri.
katamu, sejak semula
perempuan
telah dikutuk jadi Liyan,
tak diberi waktu
mengeja tubuhnya sendiri.
perempuan dipaksa jadi ulat
yang tak pernah sempat punya sayap
Lampung, 2025
Di Balkon Rusun
saat Hujan Bergelayut Turun
kita nyanyikan california dreaming
kota terlalu dingin untuk tubuh telanjangmu
tanpa kostum, tanpa riasan, tanpa topeng
kau tak mau jadi A B D atau E
meski lakilaki kepala kucing itu bilang,
kau indah jika di B,
tampak keibuan semisal di E,
atau begitu feminin bila di A,
jadilah D agar segalanya tampak seperti Cinderella.
kau acuh dan memotong pendek rambutmu
membiasakan hidup berkelindan sisa
kaleng soda di sudut kamar, berlembar tisu
basah oleh air mata, serta pereda nyeri kepala
tercecer di selasela dipan. kau tak mau
tunduk pada baris chord yang didikte jarijari mereka.
dari sebrang meja kau terus bercerita
tentang Chungking Express; asbak penuh puntung,
es batu mencair di dasar gelas, lampu neon berkedip samar,
sepatu lusuh di bawah kursi. temani aku malam ini,
segelas anggur lagi, kau hendak jadi Faye?
kalau begitu aku Cop 223, di luar ruang
hari-hari panjang penuh jelaga, ke mana kita cari bahagia?
Lampung, 2025
Semalam Suntuk Bersama Radio Head
setelah exit music (for a film)
playlist itu berulang lagi
dari creep ke fake plastic trees
aku lebih suka begitu
menggauli malam
dengan nada frustasi
yang melompat dari mulut thom yorke
lihatlah dunia penuh tipu daya,
ironis, dan sedikit melankolis.
begitulah kita
tak ubahnya bidak papan ular tangga
di mana takdir adalah putaran dadu
yang sesaat kemudian
bisa saja membawa kau dan aku
terjun bebas dari delapan tuju
kembali ke angka satu
semalam suntuk bersama radio head
dan wajahmu yang timbul tenggelam
di layar ponselku, sekiranya
bagaimana tuhan menulis jalan hidup kita?
tragicomedy seperti romeo juliet,
atau ajaib seperti si cantik dan si buruk rupa,
apakah kita memaknai hidup denga otentik?
bukan semacam imitasi yang terbuat dari
plastik bekas bungkusan mimpi orang-orang.
saat hendak kubiarkan malam sepenuhnya telanjang
agar bisa kususri tiap inchi tubuhnya yang sunyi itu
kau terbangun dari layar ponsel
dan berkata, “tidurlah sebab jantungmu
tak mungkin ditolong hanya dengan kartu bpjs.”
Lampung, 2025
Sepulang Lembur
kulihat kaki kereta melata
meninggalkan tubuh-tubuh karatan,
kepala radio rusak, mata hitam
kantung semar. sedang
kau masih saja ngecepoh
soal manifesto komunis
lebih fasih daripada Lenin,
lalu kubakar rokok terakhir
yang terselip di telingamu
biar bercampur asap tembakau
dan monoxida,
biar terbakar dadaku
agar bisa kuimbangi ritme kota
yang gila ini. sekarang
telah kulupakan ceritacerita
tentang sorga, mimp-imimpi
permen kapas. sebab di langit
hanya kulihat gambaran abstrak
hari demi hari yang didominasi
cat berwarna merah.
sebatang nikotin, aku duduk bersila
menonton wajah petang
orangorang gusar berlalu lalang,
mungkin terlambat
tiba kereta selanjutnya…
Lampung, 2025
Semisal Berkunjung ke Neraka
gerbang itu terbuka
seperti mulut luka
menolak sembuh
lalu aku melangkah ke dalam
di mana dingin membakar
panas membeku
dosa-dosa berteriak
di sela-sela batu
langkah kaki
menyeret rantai penyesalan
kau menunjuk sungai darah
warnanya seperti anggur tua
yang dituang yudas
ke cangkir yesaya
arwah-arwah jatuh
seperti dedaunan
di musim yang ganjil
aku bertanya pada virgil,
"di mana ujungnya?"
ia tersenyum
lalu menunjuk bayanganku sendiri
Lampung, 2025
Bima Yuswa. Lahir di Bogor, dan sekarang berdomisili di Bandar Lampung, bisa disapa lewat akun instagramnnya @raksebelahkiri. Beberapa puisinya tersiar di Tempo, Kompas, Sastra Media, dan media lainnya.