Negara yang Dirayakan dengan Setumpuk Kekhawatiran dan Puisi-Puisi Lainnya

03/10/2025

 

1/
Orang-orang meniup balon sampai pipi mereka merah
langit pun penuh warna
merah, biru, kuning—
seakan ingin menyaingi warna bendera yang hanya dua.
Balon-balon itu dilepas
naik sebentar, lalu jatuh ke sawah
yang sudah dipagari seng.
Tapi sawah itu bukan sawah lagi
melainkan parkiran mobil para undangan.
Burung-burung kehilangan rumah
sementara kita menyebutnya pesta merdeka
menyalakan kembang api, menepuk tangan
pada tanah yang sudah lama dijual.

2/
Lalu ada parade jalanan
Drumben berbaris, meriam mainan meledak kecil.
Seorang anak berbisik:
“Kenapa suaranya mirip lapar?”
Orang dewasa menepuk bahunya:
“Diam, ini hari kemerdekaan.”
Anak itu belajar sejak dini
bahwa perut kosong tidak boleh ikut upacara.
Hari ini kita hanya boleh kenyang
oleh simbol: bendera, pidato, seragam.
yang lain, biarlah menunggu.

3/
Koran pagi mengabarkan:
Ekonomi tumbuh 5,2 persen.
Foto presiden dicetak besar
dasi merahnya serasi dengan bendera
Di halaman berikutnya, lebih kecil,
tertulis: Gizi buruk meningkat.
Angka-angka itu hidup seperti
ironi yang lupa tidur.
Kita menyeruput kopi kemasan—
lebih banyak gula daripada kopi
dan melipat halaman.
Kita terbiasa menyimpan fakta ke laci
sambil menatap langit Agustus
yang tetap biru, tetap jauh
seolah tak mendengar angka-angka
yang saling menelan.

4/
Di lapangan upacara
tiang bendera berdiri tegak
seperti tulang punggung yang dipaksa lurus.
Anak-anak berbaris
menghafal teks proklamasi dengan suara gemetar.
Kantong plastik beterbangan di samping tiang
menari tanpa hormat pada lagu kebangsaan.
Angin Agustus mencatat semuanya,
tetapi siapa bisa membaca angin?
Sejarah hanya menulis nama mereka
yang sempat memegang pena
Sementara petani yang sawahnya 
telah berubah jadi parkiran
menulis di lumpur dengan jari-jari tanah—
dan tulisan itu hilang bersama hujan pertama.

5/
Malam hari televisi dipenuhi wajah berseragam
pidato panjang disiarkan serentak
kata-kata licin seperti iklan mi instan:
cepat, praktis, membuat kenyang sebentar.
Sorak-surai terdengar
kamera menyorot kursi empuk para pejabat.
Sementara di luar layar
seorang ibu menambal seragam anaknya
dengan lampu minyak yang redup.
Jarumnya lebih jujur
daripada semua mikrofon di podium.
Ia tahu, merdeka bukan pesta semalam
melainkan esok pagi
ketika anaknya masih bisa sarapan
tanpa harus berhutang.

6/
Negara yang dirayakan
dengan panggung megah dan dana besar-besaran.
Tapi di balik layar, kita lebih senang merayakannya
dengan setumpuk pertanyaan dan kekhawatiran 
tentang merdeka yang nyaris punah digerus zaman 
(?)

 

Ika Cahya Adiebia. Menulis puisi, artikel jurnal, dan esai. Tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai media cetak dan online. Saat ini sedang mempersiapkan buku puisinya yang berjudul Ayat-Ayat Politisi. Akun media sosial: @adiebia_icha (Instagram) dan @adiebia (tiktok)