Menelusuri Eksperimen Naratif dalam 

03/12/2025

 

Membaca kembali antologi Apa yang Kau Lupakan Hari Ini? karya Jein Oktaviany, ternyata memberi pengalaman imajinatif baru lagi. Apa itu? Saya membayangkan tengah berjalan di selurus lorong yang pencahayaannya reupbray; kadang terang, seketika temaram, dan berakhir memantulkan bayangan-bayangan yang sama sekali tak saya tahu dari mana arah datangnya. Saya yakin, Jein, dengan kesadaran penuh, sengaja membelokkan kisah-kisahnya dari pakem linear. Jein hendak mengkritik perkara realitas yang sebenarnya tidak pernah tiba secara lurus, melainkan datang lewat patahan, lewat retakan, lewat jeda sesaat. 

Sejak cerpen pertama berjudul Twitter Titha: Secerpen Thread, kita tak sempat diberi waktu dan langsung dihadapkan pada sebuah pilihan naratif yang berani. Dalam cerpen itu, bukan sosok Titha sebagai tokoh rekaan yang bertutur, melainkan ponselnya. Benda mati yang sehari-hari tunduk pada perintah dan kehendak kita sebagai manusia itu menjadi pembawa cerita yang mengetahui kebiasaan penggunanya. Jein mengalihkan fungsi ponsel menjadi narator yang jujur, setia mencatat jejak ingatan manusia yang lebih teliti daripada manusia itu sendiri. Dengan memainkan narator seperti ini, Jein menggeser cara kita membaca cerita: alih-alih mengikuti emosi tokoh, kita justru diajak masuk ke dalam logika benda, ke dalam arsip digital yang tidak mengenal belas kasihan, membuat tragedi yang dialami Titha terbaca lebih riil. 

Pilihan narator tak lazim bukan sekali dua kali muncul dalam antologi ini. Dalam cerpen Rekuiem, misalnya, kita diseret masuk ke dalam kesadaran tokoh yang diracik antara hidup dan mati, di ambang menyentuh tanah, tetapi juga melayang. Ketidakpastian inilah yang membuat struktur cerita bekerja secara emosional. Pembaca, mau tidak mau, harus menyimak seluruh narasi sambil juga kehilangan pegangan, merasakan keremangan yang dialami tokoh. Cerita-cerita Jein mengandung semacam ambiguitas yang didasarkan pada pilihan bentuk yang ia pilih. 

Salah satu kekuatan besar antologi ini adalah bagaimana Jein menggunakan struktur fragmentaris untuk membicarakan trauma. Cerpen Enam Hal yang Terjadi sebelum Anjani Mati adalah contoh dari struktur acak yang meminta dibaca lewat bagian-bagian tertentu dalam urutan yang tidak linear. Instruksi membaca ini memperlihatkan bagaimana Jein memaknai kekerasan, dari sudut seorang korban, peristiwa-peristiwa itu seakan berserakan. Membaca Anjani adalah membaca tubuh dan pengalaman yang terpotong-potong, dan Jein membuat pembaca merasakannya tidak melalui kata-kata sedih, tetapi melalui struktur itu sendiri. Di sinilah teknik naratif berfungsi sebagai jendela psikologis. 

Cerpen-cerpen lain memperlihatkan kecenderungan Jein untuk membangun twist yang memutar cara pembaca memaknai cerita sejak awal. Pada cerpen Lukisan Petani dalam Mimpi, pembaca diarahkan untuk menghayati nostalgia seorang perempuan terhadap masa lalunya. Namun menjelang akhir, cerita menampakkan wajah lain: bahwa apa yang tampak sebagai kerinduan, ternyata menyimpan tragedi struktural yang lebih gelap. Twist yang Jein suguhkan, lebih saya anggap sebagai perubahan ekstrem pada perspektif, yang akhirnya membuat saya memandang kembali paragraf-paragraf sebelumnya dengan cara dan perasaan berbeda. Memanglah benar, ternyata kenyataan baru kerap kita sadari, ketika kita memutar kepala sedikit saja. 

Sepanjang antologi, satu hal yang terasa menyatukan semua cerita adalah cara Jein memperlakukan ingatan sebagai bentuk. Buktinya, banyak tokoh dalam antologi ini berjalan dengan ingatan yang kabur, atau justru terlalu tajam. Ada yang tersesat di antara dua kenangan, ada yang mencoba melupakan tetapi terus dipanggil oleh sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi. 

Uniknya, meski antologi ini penuh dengan permainan naratif—narator tak biasa, alur yang patah, atau waktu yang melompat—Jein tidak kehilangan daya bahasanya yang bagi saya tetap cair, ramah, dan sesekali jenaka. Cerita-ceritanya mungkin akan dicap gelap, tetapi tidak pernah membuat pembaca merasa ditinggalkan sendirian dalam kegelapan. Ada ironi, ada kehangatan, ada keberanian untuk bermain-main tanpa pernah kehilangan empati terhadap 

tokohnya. Inilah yang membuat antologi ini punya kesempatan dan kekuatan untuk menarik beragam jenis pembaca. 

Bagi saya, lagi-lagi, Apa yang Kau Lupakan Hari Ini? memberi pengalaman membaca menyenangkan. Jein telah luput dari dosa sebab tidak meninggalkan pembacanya kebingungan sendirian, melainkan ia merancang cara kita masuk ke dalam kisah itu dengan teramat matang. 

Jein, satu hal yang ingin saya tanyakan. Entah ini juga telah lama kau yakini atau tidak. Apakah sebenarnya, kita secara biologis memang mengalami apa yang disebut lupa itu, atau sebenarnya kita hanya mengubah cara mengingat? Jangan-jangan, yang jauh lebih penting, sebenarnya bukan pada apa yang kita ingat, tetapi pada apa yang sengaja kita lepaskan.