
Saya kira, melalui antologi Apa yang Kau Lupakan Hari Ini?, Jein Oktaviany hendak merangsang kembali banyak denyut yang luput dirasakan oleh diri para pembaca cerpen-cerpen dalam antologi ini; denyut tubuh, denyut hasrat, dan barangkali denyut luka yang berawal dari seks. Ya, Seks, yang dalam kacamata Jein bukan lagi soal keintiman dan cinta, tetapi soal wilayah gelap, tempat manusia saling menguasai. Di wilayah itulah seks menjadi alat tukar, alat hukuman, atau bahkan alat perusak ingatan. Dalam wilayah itu jugalah tubuh manusia, terutama tubuh perempuan, beralih fungsi menjadi arsip luka yang asyik ditulis orang lain.
Pasca tamat membaca Antologi Apa yang Kau Lupakan Hari Ini?, terasa betul bagaimana usaha Jein untuk merangkum banyak alasan yang membuatnya kerap memotret kenyataan bahwa seks tidak lagi menjadi sesuatu yang bersinar, menghangatkan, atau menyatukan dua jiwa. Seks yang ia pahami justru lebih sering menyuguhkan rasa sakit, trauma, ketakberdayaan, yang celakanya terus menetap dalam ingatan dan bermuara pada kehancuran total.
Cerpen-cerpen dalam Antologi Apa yang Kau Lupakan Hari Ini? Tidak banyak ba-bi-bu—meskipun di antaranya dihadirkan dengan ragam eksperimen—untuk langsung mendudukkan persoalan seks; tubuh hadir bukan sebagai milik pribadi, melainkan medan yang dapat dimasuki, dipaksa, dimiliki, atau dikendalikan hingga rentan untuk direbut oleh orang lain tanpa persetujuan, tentu dengan berbagai alasan.
Apa yang saya sampaikan dengan jelas akan terbaca dari salah satu cerpen paling kelam—setidaknya bagi saya—berjudul “Enam Hal yang Terjadi Sebelum Anjani Mati.” Dalam cerpen tersebut, seks menjadi kekerasan yang direkam melalui tubuh seorang pelacur bernama Anjani yang mendapatkan penyerangan sistematis terhadap tubuhnya yang dilakukan oleh banyak lelaki, berulang-ulang, hingga tubuhnya tidak lagi mampu mengingat mana malam, mana siang.
Contoh yang sangat eksplisit muncul pada bagian awal cerpen ketika tubuh Anjani diperlakukan sebagai objek total,
“Namun sesuatu masuk ke dalam lubang depan Anjani… dia pun kembali diguncang-guncang tanpa bisa mendesah dan melenguh seperti yang biasa dia lakukan.”
Adegan itu tidak menggambarkan seks sebagai kenikmatan, tetapi sebagai instrumen kekuasaan. Tubuh Anjani diikat, ditutup kain, dan digunakan tanpa persetujuannya. Seks menjadi cara untuk menghapuskan dirinya, hingga tak satu pun suara dapat keluar dari mulutnya. Kekerasan itu makin jelas pada bagian berikutnya,
“Dia bukan hanya dimasuki dan diguncang-guncang. Namun, dipecut, dipanaskan, didinginkan, digampar, dipukul…”
Kata-kata ini tidak saya maknai sekadar tindakan fisik, melainkan pembubuhan makna bahwa tubuh perempuan justru dijadikan arena perang bagi hasrat laki-laki. Yang namanya perang, pastilah mematikan.
Belum lagi, dalam hampir seluruh kisah yang menyentuh tema seks, identitas tokoh sering kali kabur, terhapus, atau tergerus oleh pengalaman seksual yang menyakitkan. Identitas kemanusiaan sang korban berubah menjadi identitas alat. Alat, lambat laun akan menemui waktunya untuk rusak, hancur, dan kehilangan eksistensi. Seperti pada Anjani, tubuh yang terus diguncang dan dipukul itu membuat ingatannya kacau,
“Semakin diingat, semakin terlupa.”
Seks yang menyakitkan tentu saja menimbulkan efek paling menghancurkan; trauma, depresi, dan hilangnya kendali diri. Pada titik ini, tubuh telah kehilangan identitasnya dan hanya menjadi tempat rasa sakit berkumpul. Di titik lain dalam antologi, tokoh-tokoh lain juga mengalami hal serupa; seks atau tubuh selalu membawa trauma yang memaksa mereka memandang diri sendiri sebagai pecahan yang harus dipungut satu per satu, meski mereka tahu, diri mereka tak akan pernah lengkap lagi.
Antologi ini juga tak lupa menempatkan seks dalam posisi traumatis akan “sejarah gelap” yang diwariskan pada ingatan masyarakat kita. Contohnya, muncul dalam cerpen lain ketika tokoh membicarakan kerusuhan masa lalu yang di dalamnya perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa oleh massa,
“Mereka membawa parang dan obor ... birahi mereka sudah puas memerkosa perempuan-perempuan di jalan.”
Seks, dalam konteks ini, tidak lagi hanya masalah pribadi, ia berubah menjadi bagian dari sejarah, bagian dari politik, bagian dari kekejaman yang lebih besar. Seks menjadi alat teror massal, sesuatu yang akan dibicarakan turun-temurun, dan tetap menyisakan luka kolektif yang sulit dihapus, baik itu ingatan yang menghantui, memalukan, atau menyakitkan, dan sulit dipulihkan.
Maka itu, Jein Oktaviany, dalam antologi“Apa yang Kau Lupakan Hari Ini?”-nya ini, selain membicarakan seks dengan segala kegelapannya, juga seakan terus menerus mengejek saya jauh lebih personal. Sebab, dari semua hal yang ingin kita lupakan, adalah hal yang paling sulit untuk benar-benar pergi.
Agus Salim Maolana, lahir dan menetap di Tasikmalaya. Menulis puisi, cerpen dan esai yang sudah banyak dimuat di berbagai media. Menjabat sebagai ketua Yayasan Langgam Pustaka Indonesia.




