Kelahiran
Dari sebuah cawan retak,
aku lahir. memikul nasib
yang menjelma tiang salib.
Dan waktu
meneteskan darah.
Tibalah detik itu.
detak pertama
yang tak kuhendaki
adanya.
Anak Kecil
Hujan gugur
anak kecil menampungnya
bertelanjang kaki
serta pikiran
Dewasa adalah kubangan
perlahan ia tenggelam
Pertanyaan Tentang Kematian
Setelah kau tersesat di dalam puisi,
barangkali sepi telah akrab padamu
dan kematian terasa deras mengalir
di nadi–siap menghanyutkan siapa saja.
Lalu kau bertanya,
barangkali usia hanya tumpukan kayu yang akan
lapuk sewaktu-waktu, atau waktu hanya
bilah-bilah kayu yang perlahan menumpuk
di usiamu.
Sementara,
angka yang kaulingkari di kalender
cuma ingatan tangisan pertama
atau semata kelegaan melewati kematian sesaat.
Meski kau pahami
ia akan tiba
secara tiba-tiba.
Obituari Aku
Kasih, tentang aku dalam
air mata sia-sia itu.
Aku hanya pulang telanjang
ke hadapan Tuhan. tempat
segala kelana bermula.
Dalam lembaran kuning,
tulislah namaku. biar ia berkibar
seperti panji-panji di medan perang.
dan beritakan pada mereka, aku
telah bebas dari kutukan dunia.
kehidupan. tempat segala
hina berasal.
Kasih, kematian tak benar-benar
mengerikan rupanya.
Reinkarnasi
Barangkali hidup sebatas
garis putus-putus
dan kita lahir kembali
berkali-kali
di ambang mati.
Menulis Puisi Cinta
Kelak akan tiba kematian membentangkan lengannya
dan memisahkan kita. dan kutulis puisi cinta ini sebagai
obituari pada puncak musim semi, sebagai bunyi retakan
dadaku yang menjelma ranting-ranting patah. dan sebelum
tertidur di ranjang yang makin lengang, aku selalu menyalakan
lilin untuk melihat siapa yang lebih dulu meleleh dan padam.
Aku masih membayangkan tatapan pertama kita pada masa kemarau panjang.
saat tubuhku seperti tanah tandus, sementara kau adalah rintik air yang
membasahinya. lalu menebar benih pada kesepianku. menumbuhkan
bunga-bunga indah yang kau hirup setiap waktu. atau kecupan pertama kita
yang menjadikan aku seperti anak kecil kembali. menyesap manis anggur
pada bibir merahmu.
Kasih, ingatan terkadang menjelma jerat tali yang mencekik leherku
berkali-kali. sedang aku terus menikmati perihnya. tanpamu aku seperti
gelandangan yang memeluk lututnya sendiri saat dingin makin mengiris, seperti
sebuah kota kehilangan penduduknya seketika, atau seperti anak kecil yang
terlepas dari tangan ibunya di suatu keramaian.
Surat-surat yang kautuliskan padaku, perlahan akan memudar. tapi selalu
ada kau di mataku. suara tawamu yang terdengar seperti nyanyian kudus di telingaku,
rambutmu yang senantiasa tergerai sepanjang waktuku. tak pernah terurai.
Kasih, kupersembahkan puisi cinta ini dari masa-masa murungku. merpati
tanpa sepasang sayapnya. musafir tanpa tuhan. puisi tanpa kata-kata indah.
menuju pada segala asing dan dingin. tidak ada kau. tidak ada kau.
Pukul 15.00 di Stasiun Shibuya
Aku menantimu sepanjang
detak waktu. sepanjang
rel menggigil diselimuti
salju.
Ueno, kini aku
anjing dengan hati
serupa karcis. dan kau
pergi meninggalkan
robekan padanya.
Dan tiap kali peluit
mengiang, aku selalu
mengaing berharap
kau pulang dari sebuah
perjalanan panjang—meski
kau sudah benar-benar
pulang ke tempat yang
tak kuketahui
percayalah, Ueno, aku masih anjing
yang setia mengekori dirimu. walau
kau telah sampai pada pemberhentian lain.
Apokalips
—The Last Judgement, Michaelangelo
Dan tibalah hari itu.
hari yang menelanjangi
semua rahasia kita, yang
membacakan garis tangan
terakhir, yang menggenapi
rangkaian karangan Tuhan.
Kita saling berhadapan. menerka
neraka atau surga tempat layak
bagi jiwa masing-masing:
sesuatu yang pernah tidak kita
amini adanya.
Sedang Ia terus
menghitung hutang
dari buku-buku usang
tiap hamba,
Gelisah bertopang dagu.
seakan kekecewaan datang
begitu cepat dan darah yang
telah menetes perih hanya
menetaskan luka lain.
Di sampingnya Maria terus
menyeka sesak di mata Kristus.
berkata dengan diam:
“O, Kristus, beginilah perangai
purba manusia yang telah
Kauketahui–serupa malam
tanpa gemerlap bintang, siang
ditutupi mendung awan, hutan
tanpa hijau pepohonan, gurun
tanpa mata air. maka janganlah
bersedih lagi.”
Tapi Ia tak pernah tersenyum lagi.
benar-benar tak pernah.
–lalu dibawa kita ke palung
paling mengerikan, di mana ular
melilit jiwa manusia yang
memiliki hati seorang Yudas.
Sehabis Menonton Film Benyamin Sueb
/1/
Barangkali ada masa kita
ingin menggantung diri
dan hidup kembali
sebagai orang lain.
/2/
Kita tak pernah pandai
menyembunyikan sedih
yang berbunyi lirih. bahkan
untuk diri sendiri.
/3/
Kata-kata habis.
sehabis mengecup
nasib dari mulut
seorang gundik
Lalu melucuti kita
dengan jemari
tambangnya
tanpa ampun.
/4/
Dan beginilah hidup:
sebuah komedi murahan
yang memaksa kita
terus tertawa.
Ode untuk Gregor Samsa
Malam begitu tenang saat kau
mendengkur di ranjang senyaman
paha kekasih impianmu, atau seperti
perut bayi terisi penuh air susu ibu.
Malam begitu tenang saat kau
mungkin mulai berkelana dalam mimpi.
dan mungkin pada malam itu kaubermimpi
sebagai seorang raja yang hanya memerintah.
sebab telah lama dirimu ingin menanggalkan
beban yang semakin membatu di pundakmu.
Pada peran barumu, di sebuah kerajaan,
kaucoba untuk menjadi sebijak tuhan. sampai
pada satu bagian datang ayahmu diseret ke hadapanmu.
dan tak ada kau mendekati sebijak tuhan. kaugiring ia
ke sebuah tempat, mencoba memenggal dendam
yang tak pernah bisa kaudapati ketika di rumah.
Ia menangis, dan sebelum eksekusi berlangsung.
datang sosok wanita tua bertopi gunung. wanita
itu menawari pengampunan atas lelaki rapuh itu, dan
mungkin kau akan terbebas dari segala kutukan.
Tapi amarah sudah mencapai puncak didihnya—dan
nurani hanyalah setetes air yang dibawa para serdadu
semut.
Setelahnya, tiba-tiba tubuhmu menjadi sesuatu
yang menjijikkan. sesuatu yang seringkali
ingin kauinjak dan habisi di dunia nyata.
Kau terus berlari—atau kini merangkak. berharap
keanehan ini sebuah mimpi belaka, dan kausadari
situasi itu hanyalah mimpi yang tak pernah ingin
kauimpikan. kau terus berlari—atau kini merangkak,
sama saja. mencoba apa pun yang membuatmu cepat
tersadar. dan pada ujung langit di dalam mimpimu.
terdapat celah besar yang kauyakini sebagai batas
antara mimpi yang mengerikan dan dunia yang
sebenarnya sama saja.
Dan kauterbangun. sudah menjelang pagi waktu itu.
wajahmu basah kuyup seolah baru saja
tenggelam dalam pusaran nasib. kauteringat
waktu kerja yang mencampakkanmu.
Saat kau hendak beranjak
kau baru sadari, kutukan itu terbawa
sampai kamarmu. kau jadi serangga.
Muhammad Rifan Prianto, lahir di Jakarta, 2001. Menyelesaikan studi S1 di Universitas Pendidikan Indonesia. Beberapa tulisannya telah disiarkan di berbagai media cetak dan daring. Dapat dijumpai melalui Instagram, @muh_rifaan