Gemuruh Ibu, dan Lain-Lain

31/03/2023

Ibu dan Aku

 

Masih jelas dalam ingatanku,

saat dingin malam dan hujan bersatu 

Ibu selalu merapikan selimut 

di kaki kecilku

 

Sebelum pagi meneteskan embun,

Ibu

selalu duluan bangun

 

Seragam Ayah licin hasil setrika

Sepatunya mengkilap di kolong meja

Ayah pergi pagi dan pulang saat

senja

 

Aku belum sekolah saat Ayah marah

Kedua matanya berwarna merah

 

Tangannya keras membanting

pintu rumah

Sejak itu kami berpisah

 

Ibu bingung mencari uang, untuk bayar

semua utang

Sedangkan kakak terkena narkoba

dan kabur entah ke mana

 

Mata ibu berkaca-kaca

dianggap Ayah tak bisa

urus keluarga

 

Padahal Ayah tidak di rumah

Dan tak pernah memberi nafkah

 

Ibu tersungkur dalam gulita. Tapi

tidak menyerah pada nestapa,

tetap percaya percikan cahaya

 

Disimpannya sekepal nasi

dan sekerat ikan asin buatku makan sehari,

sebelum dia pergi sampai malam hari

 

Anak-anak tetangga sekolah. Aku mengintip 

dekat jendela. Berharap bisa seperti mereka

 

Bertahun-tahun Ibu pulang malam

Bau tubuhnya ikan teri. Walau letih, 

semangatnya nyala api

 

Tidak seperti biasanya, suatu malam

wajah ibu tampak berseri. Dia mengambil

sebuah kotak dari atas lemari.

 

"Apa cukup buat sekolahku nanti?" tanyaku 

hati-hati. 

Ibu memelukku erat dan hangat. Tak kucium

bau keringat

 

Matahari mulai sinari rumah kami, 

Ibu bisa jualan nasi. Pelan tapi pasti

usahanya maju sekali.

 

Pelanggan penuh setiap saat,

seolah digiring malaikat

 

Kakak pulang lagi. Kami selesaikan

sekolah hingga tamat kuliah

 

Ibu yang membesarkan kami

tanpa Ayah yang tak pernah

kembali.

 

2020-2021

 

 

Gemuruh Ibu

 

Pantai bergemuruh, angin bergemuruh

Rindu pun begitu bergemuruh

 

Tapi gemuruh rindu melebihi deru

ombak lautan

melebihi desing angin bukitan

 

Terlebih gemuruh rindu padamu,

Ibu.

Saat aku jauh, saat aku jatuh,

rindu padamu makin kukuh.

 

Juni 2020

 

 

Laut dan Ibu

 

Apa yang membedakan laut

dan Ibu?

Di kala malam laut sering mencekam

Dan bintang hanya bintik kecil

di kejauhan

 

Sedangkan Ibu, di kala malam

selalu disampingku, bintang seperti

mendekat. Mengantarku tidur dalam

pelukan hangat

 

Tapi,

laut dan ibu sama indahnya. Laut dan

ibu sama luasnya. Laut dan ibu penuh harapan

 

Laut dan ibu sumber kehidupan.

 

Juni 2020

 

 

Tak Mampu Sakiti Ibu

 

Sambil menyeduhkan kopi, istriku

bilang berulang kali:

"Jika mau kawin lagi, antarkan aku

ke rumah Ibu."

 

Sudah dua hari kotaku panas sekali

Sepedas sambal ulekan istri

 

Keringat menempel di kerah baju

Dan punggungku basah melulu

 

Tidak berat syarat itu,

tapi harus antarkan dia ke rumah Ibu?

 

Ya, ibuku

 

Ini yang aku tak bisa; membangunkan

luka lama ibu,

yang pernah dimadu.

 

1401019

 

 

Embun itu Sejuk Matamu

 

Embun itu sejuk matamu, Ibu

menatap lembut selalu

 

Bening menetes perlahan

bersama kokok ayam dan kumandang

azan di kejauhan. Mengajarkan

harapan

 

Di luar jendela, bulirnya menitik

setiap pagi

Sebelum dilenyapkan matahari

 

Embun itu hanya setetes di daun

Tapi aku rindu mengintipnya

sejak ku bangun.

 

1511020

 

 

Dedi Tarhedi lahir di Bandung 6 April. Buku kumpulan puisi yang sudah terbit: ‘Hidup Makin tak Mudah’, ‘Kereta Nisan’, ‘Ning’, ‘Dili tak Kembali’, dan ‘Ibu, Kota, Kenangan’. Buku kumpulan puisi ‘Ning’ masuk nominasi Buku Puisi Pilihan di HPI (Hari Puisi Indonesia) di Jakarta 2018. Diajang yang sama, buku ‘Dili tak Kembali’ masuk 25 nominasi sayembara buku di HPI 2020. Sehari-hari Om Dedi, biasa dipanggil rekan kantor dan kawan seniman di Tasikmalaya, bekerja sebagai PNS/ASN Pemkot Tasikmalaya di Dinas Polisi Pamong Praja.