Di Maclaine Pont Weg, dll.

06/06/2022

Surat untuk Kekasih

— Fjaer, Ethereal

 

kau sedang apa malam ini?

di Bandung bulan jatuh di antara jejalan gang kumuh

ketika bocah-bocah bertikai dengan waktu

; masa depan yang memapasi mereka

tiap kali surat kabar menerbitkannya

sebagai berita – atau derita

yang mungkin tak cukup diredakan aspirin

 

tak ada apa hanya dingin tersalin di bangku trotoar

yang siang tadi disinggahi seekor kucing lapar

(ngilu ngiaunya menderu

meminta kenyang ke segala penjuru)

sedang, di utara kerlip lampu adalah pijar kunang-kunang

mengenalkan pada rindu dan badai pertanyaan

: untuk apa semua ini? untuk apa sebuah kota

bila kau tak di sini?

 

entah akankah kau percaya

kota Bandung adalah istilah lain dari kata murung

tak ada yang menanyakan padanya

: “apa kabarmu sekarang?

bagaimana gedung-gedung memperlakukanmu?

apa kamu merasa sepi di tengah pekik klakson

atau rintih kesah kemanusiaan yang tercabik?

masihkah Tuhan tersenyum

seperti Ia menciptakanmu pertama kali?”

 

tapi sedingin sepelik semurung kota ini

selalu ada secelah ruang bagi kita untuk berbagi cinta

maukah kau temui aku?

aku ingin memandang diriku di matamu

seperti suatu kali Bandung menenggelamkan dirinya

dalam lautan api

 

aku di sebuah bar kini

berserah kepada wiski paling murah

sesak terhimpit asap rokok dan pecah tawa

menambah gelisah selagi memikirkan kemiskinan

yang bagai kemenakan di silsilah keluarga

aku juga memikirkanmu

: apakah kelak aku akan jadi ayah

dan kau ibu bagi kemiskinan baru?

 

tapi sementara kita terjebak di antara kerusuhan masa kini

kau bisa menghimpun bahagia pada buku-buku tebal atau drama Korea

atau menulis berpuisi dan bersaksi kepada Camus

tentang apa adanya zaman yang kau singgahi

 

kita tak akan ke mana-mana

inilah hidup yang kita punya, hamun, pun cintai

tiap malam menggugurkan mimpi-mimpi

selagi kunyanyikan lagu untukmu, Kasih

 

18-5-2022

 

 

Di Leuwi Panjang, Suatu Siang

untuk V

 

terminal Leuwi Panjang adalah halaman belakang

sebuah tribunal;

kau dan aku menunggu diadili seorang sopir bus kota

yang akan mengasingkan kita

sebagai sepasang interniran di suatu rindu tak bernama

 

kemudian mentari kian terik sepelik perasaan kita

sedang kau yang satu-satunya teduh

bersiap pergi menjelang, menuju sebuah jauh

 

tapi sebelum saling memunggungi

kenapa kita tak bertukar peluk

untuk sekedar meredakan menit-menit

yang kelak kian sakit?

 

21-02-2021

 

 

Di Maclaine Pont Weg

untuk Fio & Imam

 

Maclaine Pont Weg hanya menyisakan kita

tapi siapa mencuri bulan malam ini?

cuma bohlam tersampir di seutas tali

sebagai replika bagi yang tak ada

 

kau tengadah selisik langit seraya menerka

mungkin penyair tua dari khazanah yang entah

lupa menaruh ke tempat semula

atau seorang pengangguran menukarkannya

dengan garpit setengah dan dua bungkus Indomie

demi menebus kenyang yang ia gadai seharian ini

 

selintas terbayang dedaun jatuh ke dalam gelas kopi

sebelum Saut menggaduh: belum puas dengan obskuritas?

tapi kita terus bicara tentang kebudayaan atau apa puisi

meski dingin berbisik mengantarkan iba tanya yang papa

: apa guna semua ini bagi kami?

 

kutitipkan jawab pada seorang penyapu jalan

yang ragu-ragu membereskan sisa cemas dan keramaian

kau tahu? aku bahkan tak percaya puisi

yang tak mampu menyumpal lapar, samar tangis,

atau jadi alasan senyum seorang gadis

 

tapi selagi sunyi ada baiknya kita berdoa

sebab bising kota sering kali membungkam harap

meski suatu waktu aku pernah berucap

tiada yang lebih ribut dari isi kepala

 

20-05-2022

 

 

Di Teras Itu Kita Kembali Bertemu

dan Kau Bertanya Puisiku yang Dulu

untuk Arif

 

beberapa jam lagi Minggu akan tiba kepada kita

sementara dingin mulai menyatroni neon dan barisan pohon

tebak! duka siapa itu yang tergeletak di bawah tong sampah

mungkin petang tadi ada yang habis menangis di sini

dan tak membereskannya lagi

 

kau meminta jawab soal puisiku dulu-dulu

bagaimana nasib ingatan tentang seorang perempuan

hilang terasing dari tajuk-tajuk cinta

tapi aku sediam mayat tak bicara kematiannya

 

semusim kembara di tengah kalut laut air mata

telah kularung segala murung satu demi satu

sebelum duka berlabuh di sebuah puisi

meminta suaka kepada teduh kekata

meski, malam ini pun kau masih mencium bau pilu

yang tak kunjung terhapus dari tubuhku

 

aku beria tentang puisi yang rumah bagi resahku

sebagai pintu kepulangan sejauh pergi

dan dalam berbagai sajak nanti,

sedih yang dulu terserak pada lembar-lembar almanak

tak mau kutulis kembali!

 

22-05-2022

 

 

Di Sebuah Pintu Alinea 

untuk Fadil

 

Aku berdiri di sebuah pintu alinea memandangimu yang terpisah beribu spasi di antara peristiwa-peristiwa. Tapi kau tak hirau seperti lupa bau kesedihanku yang dulu begitu kau kenal bagai karib sejak masa kanak. Malah, langkahmu seolah ingin melepaskan genggam pandangku, kau terus saja meniti pematang kalimat penuh perdu kecemasan, menyusuri sunyi senyap paragraf sebelum lesap sembunyi dalam sebuah elipsis untuk meluapkan tangis atau melupakan luka. Dan tak ada yang bertanya, “Mengapa kau selalu ingin sendirian?

 

Di Bandung tubuhku merasa di rumah; kau pun di sini, tapi kita begitu aksa terpisah beribu peristiwa dalam rubrik masing-masing, saling asing sejak lama. Suatu ingatan basah – entah oleh air mata siapa – jatuh di atas sisa Mei sebagai janji dalam sekaleng bir yang pernah kita bagi di tengah sengit silam udara Selatan; sebagai berkas rekaman yang mengemas suara kita dalam format .mp3; sebagai sumpah yang kita ubah jadi baris-baris enkripsi. Tapi apa artinya semua ini? Satu perenggan kemudian aku melihatmu lagi dan masih tak ada yang bertanya, “Apakah kau kesepian?

 

Dalam sebuah prosa, kau menghapus seluruh dirimu dari berjejal nama dan inisial; membiarkannya tak terbaca, tak dikenal. Hal begini mungkin tak selalu tentang melankolis, tapi wajahmu adalah kesedihan (telah kupastikan tak ada cermin. Kau adalah yang lain. Aku yakin!). Tapi tak ada yang bertanya, “Kau kenapa?

 

Tiga bait di atas adalah caraku merindukanmu dan satu-satunya yang bisa kau baca telah kuhapus sejak aku berdiri di sebuah pintu alinea. Tapi apa artinya itu? Aku tak ingin bertanya apa kau masih hafal bau kesedihanku, apa kau masih tinggal di kota yang dulu mengasingkan kita, apa kau masih ingat sengit udara Selatan ketika kita berbagi bir di teras sebuah swalayan, apa kau masih hirau tentang janji yang sama-sama tak kita tepati. Semua tak berarti. Di atas segalanya aku hanya ingin tahu, bagaimana kabarmu kini?

 

27-05-2022

 

Angga Saputra, menetap di Bandung sejak hari lahirnya pada 20 Agustus 2000. Saat ini sedang menempuh studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pasundan. Usai meninggalkan Lembaga Pers Mahasiswa ‘Jumpa’, bergiat mengaktifkan ruang apresiasi sastra di kampus bersama beberapa kawan.

Angga dapat ditemui di akun Instagram (@)pseudoangga.

WhatsApp: 0812-1414-7705

Surel: pseudoangga@gmail.com