Bern dan Kehilangan Lain, dll

08/12/2022

BERN DAN KEHILANGAN LAIN

 

Di Bern,

angin mengganti musim kehilangan lain

mungkin hanya padamu, bunyi kemarau semacam saksofon

yang ditiup dan menjalar ke tiang-tiang jembatan   

katamu, tak ada lagi kereta di Marzili

Ribuan doa-doa itu menjelma sepeda masa kecil

pergi menyusur malar, memeriksa isi kota

mengayuh pedal nasib pada lambung kesedihan yang tak lagi kasat mata

sebanyak batu dan pasir di dasar Aare

aku memanggil-manggil namamu dalam ingatan yang tak punya hilir

serupa perahu waktu yang melewati ratusan sungai dan badai

dan juga di dasar Aare

kau memandangi Alpen yang perlahan menjadi telapak tanganku

menjadi asiwung bagi wajahmu

 

 

LAILA

 

Di tepian Telaga

Laila menatap bulan pucat

Memantulkan selengkung senyum yang retak

Seperti perempuan-perempuan tanjung,

Ia genggam sehelai rambut

Panjangnya batang ilalang

Punya lelaki yang datang dari utara

Akan selalu ada, tiap yang mati

Meninggalkan mimpi yang belum usai

Bulan mendamari malam

Seorang lelaki meninggalkan kota

Bayangannya gemetar

Melewati jalan-jalan yang kehilangan nama

 Biji api itu melayang

Kandas di antara tawa masa silam

Semesta ini purba

Telah selesai kau lewati kabut ke kabut

Dan rahasia itu terus hidup, di matamu

Sebentar lagi kan tiba

Perempuan menatap bulan pucat

Kusisakan sehelai rambut dari kepalamu

Sebagai sisa dosa lelaki ilalangnya

 

 

BUAT DELIA ELENA SAN MARCO

 

Masihkah engkau menungguku, delia

Pada lambaian tanganmu itu,

Aku menitipkan ingatan

Tentang malam yang kita lalui di muka sungai Acheron

Tak usah menepati janjimu

Menyambutku di pelataran saat waktu makan malam tiba

Sesungguhnya aku telah di sana

Di antara dua kursi yang kau siapkan

Tetaplah duduk dengan wajah seperti biasa

Saat aku menuangkan anggur di gelas kesayanganmu

Dan kedua pipimu mulai merah muda

Delia,

Kita akan berjumpa kembali

Di atas perahu yang teramat istimewa

Entah di abad yang mana

Delia Elena San Marco,

Apakah bagimu

Ada jalan untuk mengkhianati waktu kematian

 

 

KOTA INI BINGKAI PURNAMA

 

Kota ini bingkai purnama

Telah kulupa segala cemas dan was-was

Meski gunung-gunung Lebanon runtuh

Dan kemarahan menjangkau langit

Mereka, pengembala zaman

Berseru kebebasan dan keagungan

Aku, berabad lamanya seperti anak lembu

Berjalan di luas padang alang-alang

Tirai hari disibak

Wajah ini takkan pernah redup

Zaman yang dendam harus dituntaskan

 

 

MAWAR HANIE

 

Mawar Hanie

Dadamu telah tertutup segala rahasia

Apalah arti dari gubuk lelaki miskin dan buku-bukunya

Dibanding kain sutera dan manik-manik mutiara

Suaramu berdetak di sepanjang perjalanan

Mengurung dingin pegunungan dan senandung malam

Suaranya makin menggema

Di lembah kosong, lubuk hati yang menjelma gua

Bagaimana cinta benar adanya mampu membersihkan dosa

Untukku, engkau lapangkan hati yang kusam

Dan dijadikan benakku penuh dengan dinding batu pualam,

Terang dari bola-bola kristal

Suratan nasib ataukah siksa dosa

Serapah orang Beirut

Aku berdiri di hadapan sebuah lahat

Mawar Hanie,

Kupanggil namamu perempuan firdaus

Penjelajah waktu paling kudus

 

 

Agus Salim Maolana, lahir di Tasikmalaya 21 Agustus 1997. Lulus di Universitas Siliwangi pada Tahun 2020 mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Sekarang aktif di Langgam Pustaka dan menjabat sebagai pendidik  di  SMP IT Riyadlul Ulum Wada’wah Kota Tasikmalaya.