Perbedaan untuk Persatuan

22/01/2022

 

Kota Tasikmalaya kedatangan tokoh intelektual muslim Indonesia, Emha Ainun Najib. Cak Nun atau Mbah Nun, sapaan akrab beliau, memasuki tempat berlangsungnya acaranya dengan sambutan iringan Tala `al-Badru` Alayna yang menggema dari dalam ruangan.

Meski sempat diguyur hujan sejak sore hari, namun antusiasme masyarakat untuk dapat berjumpa dan berinteraksi langsung dengan Mbah Nun tidaklah memudar. Massa dari pukul enam sore hingga selepas isya tiada hentinya terus berdatangan memenuhi Gedung Dakwah Islamiyah. Gedung yang cukup luas itu menampung banyak masyarakat. Dihadiri cukup ramai orang dari berbagai kelompok pemuda seperti aktivis keagamaan dan juga pegiat seni. Tak ayal memang karena Cak Nun sendiri juga seorang yang amat dikenal karena tulisan-tulisannya yang bernapaskan religi.

Gelaran yang bertajuk Sakarep Sapaneuleuan yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia bermakna “Satu Tekad Satu Pemahaman” dibuka dengan manis oleh petuah dari Mbah untuk selalu membaca surat Al-Qadr, terutama saat menjelang tidur. Tujuannya adalah supaya kita selalu merasa aman, selamat hingga fajar, dan merasa tenteram meski seharian itu diterpa banyak masalah. “Kalau Anda belum tenteram, berarti belum dipanggil oleh Allah.”

Adanya pandemi ini banyak memecah paham dan menimbulkan berbagai keretakan. Hampir tidak kita temui istilah bhineka tunggal ika yang selama ini selalu menjadi simbol negara kita. Banyak perbedaan yang muncul yang justru memicu gejolak pertikaian. Tanpa disadari pandemi menggelapkan hati banyak manusia, sering berburuk sangka, pesimis, dan jauh dari agama. Seakan kehilangan cahaya dan harapan hidup. Ditambah lagi informasi yang menyebar di sosial media yang terlalu mudah dicerna tanpa dipahami terlebih dahulu. Makin gelaplah kita menjauh dari cahaya.

“Allah tidak memancarkan cahaya, Allah cahaya itu,” ucap Mbah. Jangan mencari Allah hanya untuk mencari cahaya, tapi sebab Allah adalah cahaya, maka jangan pernah lepas dari-Nya. Begitulah kurang lebih yang ingin disampaikan Mbah Nun di hadapan orang-orang yang imannya mulai goyah di tengah pandemi ini.

Menyinggung tema pada kegiatan ini, Mbah Nun khawatir dengan perbedaan terutama antar suku yang sering memicu perpecarahan persatuan republik ini.

“Kita Indonesia karena kita Sunda, Jawa, Padang, Madura, Sumatera, dan lain-lain. Mari kita saling mengakui. Kalau kita Indonesia hanya sebatas Indonesia, itu tidak akan bisa.” Ya, karena Indonesia itu bermacam-macam, kita satu tekad dan satu pemahaman, yaitu demi persatuan Indonesia. Maka dengan perbedaan, Indonesia akan menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Perbedaan adalah penguat, bukan pemecah.

Acara berjalan lancar dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, dan selesai pada pukul 01.00 pagi. Lingkar Daulat Malaya yang menjadi panitia utama dalam acara ini menyuguhkan hiburan di jeda perbincangan dengan Mbah Nun yaitu berupa penampilan musik dari grup musik Alm H. Egi dan juga ada pembacaan puisi dari sastrawan Tasikmalaya, Bode Riswandi, yang membacakan puisi dari Cak Nun dengan amat menggugah dan luar biasa.

 

(Red./Taufik)