Di Balik Proses Tiga Serangkai

25/02/2022

Dahulu kita mengenal tokoh-tokoh tiga serangkai seperti E.F.E Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, serta Ki Hadjar Dewantara. Tiga tokoh terkenal yang menggagas Boedi Oetomo sebagai salah satu organisasi pemuda untuk kemerdekaan Indonesia di masa penjajahan. Namun, pernahkah terpikirkan bagaimana sosok tiga serangkai pada masa sekarang?

Jika dahulu tiga serangkai mendirikan Boedi Oetomo sebagai organisasi penggerak kemerdekaan, maka pada masa kini tiga serangkai merupakan pemuda-pemuda yang bergerak dalam memajukan khazanah sastra di Indonesia. Tiga pemuda tersebut yakni Aflaz Maosul Kamilah, Galang Gelar, serta Yana S. Atmawiharja.

Ketiga pemuda tersebut awalnya dipertemukan dalam suatu ajang yang sama, yaitu lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Langgam Pustaka. Suatu ajang bagi para penulis untuk menuangkan segala pikiran dan dunianya dalam bentuk cerpen. Hingga akhirnya hasil jerih payah mereka berhasil melahirkan tiga buah buku kumpulan cerpen, yaitu Sanghyang Taraje karya Aflaz Maosul Kamilah, Suaranya Seperti Timbul Tenggelam Membangkitkan Kemarahan karya Yana S. Atmawiharja, serta Darahmu Tetap Saja Berwarna Merah karya Galang Gelar.

Perjuangan mereka dalam menciptakan tiga buku yang luar biasa itu tentu tidak lah mudah. Perlu adanya waktu, tenaga, serta pikiran yang harus dikorbankan. Perjalanan mereka di balik terciptanya buku-buku tersebut diungkapkan dalam sebuah acara bincang buku yang diadakan oleh Langgam Pustaka pada Sabtu, 19 Februari 2022.

Dengan dipandu oleh Agus Salim Maolana, sebagai moderator acara, bincang buku tiga serangkai yang diadakan di Langgam Pustaka tersebut berlangsung secara meriah. Acara tersebut diawali dengan pembacaan cerpen Sang Hyang Taraje karya Aflaz Maosul Kamilah oleh M. Andrean Elang kemudian dilanjut dengan pemaparan proses kreatif para penulis di balik pembuatan karya-karya mereka. Selain itu, acara tersebut juga diselingi dengan pembacaan cerpen oleh Azis Waru, dan penampilan musik oleh The Baras.

 Banyak hal menarik dialami oleh para penulis untuk menyelesaikan buku-buku tersebut. Seperti halnya Galang Gelar yang terpaksa menyelesaikan cerpen-cerpennya dengan menggunakan gawai. Di saat orang lain masih malas-malasan dalam menulis, Galang justru melawan kemalasannya itu dengan memanfaatkan teknologi yang ada seperti gawai. Hal ini tentu bisa menjadi cambuk juga bagi kita yang memiliki cita-cita menjadi penulis namun masih malas dalam menulis. Bahkan hal menarik lainnya dari sosok Galang ini yaitu dia mulai menyukai dunia kepenulisan semenjak mengalami sakit parah. Ia mengatakan bahwa setelah terbangun dari sakit, seperti mendapatkan ilham, dia mempunyai keinginan untuk membaca dan menulis. Bahkan setelah dia bangun dari sakit dia langsung membaca buku Harimau-Harimau karya Eka Kurniawan.

Pada buku kumpulan cerpen  Darahmu Tetap Saja Berwarna Merah ini Galang berusaha menggambarkan kebudayaan lokal di daerahnya untuk diangkat sebagai cerita. Seperti ungkapan dari J.K. Rowling, “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui,” ungkapan ini tepat untuk menggambarkan sosok Galang. Ia menuliskan berbagai hal yang paling dekat dan paling ia ketahui dalam cerpen-cerpennya.

Berbeda dengan Galang, Aflaz, seorang pemuda yang berasal dari Garut ini memang sudah menyukai dunia sastra sejak duduk di bangku SMA. Namun, tujuan awal dia menekuni dunia sastra ini pada mulanya hanya sebagai pelarian saja. Ia menulis pada mulanya hanya sekedar untuk mengikuti lomba supaya mendapatkan hadiah. Cerpen pertamanya yang memenangkan lomba adalah pada ajang Gebyar Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia (GBBSI) tahun 2018 di Universitas Siliwangi. Bahkan 8 dari 13 cerpen yang ada dalam buku Sanghyang Taraje merupakan cerpen-cerpen hasil lomba. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya ia mulai mendapati tujuan dirinya menulis dan bersastra bukan hanya sekedar untuk mendapatkan hadiah saja, namun lebih dari itu.

Pada buku kumpulan cerpen Sanghyang Taraje ini, sama seperti Galang, Aflaz juga menggambarkan mengenai budaya di daerahnya. Ia menelusuri jejak-jejak peninggalan masa lalu dan cerita yang berkembang di masyarakat sebagai bahan untuk cerpen-cerpennya.

Lain halnya dengan Yana, pemuda yang digambarkan selalu mengabadikan perasaan dan merawat luka ini memiliki proses kreatif yang juga unik. Proses kreatifnya dalam menulis diawali dengan menuliskan surat cinta kepada seseorang, sampai akhirnya surat itu terbalaskan. Ia juga mengungkapkan perjalanannya menjadi seorang penulis dilaluinya dengan mengikuti Mading di SMA. Hingga pada suatu ketika puisi-puisinya yang ditempel di mading dikirimkan oleh temannya ke sebuah majalah dan dimuat. Sejak saat itulah Yana mulai menulis untuk dikirimkan ke media-media.

Dalam menuliskan cerita-cerita dalam bukunya Yana juga mempertimbangkan kondisi masyarakat sebagai salah satu proses kreatifnya. Menurut Yana, buku-buku serta cerita-cerita yang paling laris di Indonesia adalah mengenai sex, kesenjangan, serta ideologi. Pada bukunya Suaranya Seperti Timbul Tenggelam Membangkitkan Kemarahan ini Yana meracik semua unsur-unsur tentang sex, kesenjangan, serta ideologi menjadi satu sehingga terciptalah cerita yang menarik.

Dari proses kreatif dalam menulis yang berbeda, ternyata mereka tetap mempunyai kesamaan pandangan. Mereka mempunyai pandangan yang sama mengenai apresiasi terhadap karya yang mereka buat, yakni bahwa positif atau negatif tanggapan dari masyarakat, itu merupakan suatu bentuk apresiasi.

Yana mengungkapkan, “Apresiasi merupakan kondisi ketika diri sendiri serta orang lain menikmati karya yang kita buat. Bahkan jika bentuknya antitesis dari sebuah karya itu juga berarti sebuah apresiasi, karena dengan adanya antitesis berarti seseorang tersebut telah membaca dan menilai karya kita.” Pendapat ini ternyata sejalan dengan Galang dan Aflaz yang mempunyai pandangan sama.

Meskipun ketiga penulis tersebut mempunyai latar belakang serta proses kreatif yang berbeda-beda, namun ketiganya tetap mempunyai pandangan yang sama terhadap apresiasi karya serta sama-sama mampu menciptakan tulisan-tulisan yang apik serta menarik. Proses kreatif dari tiga serangkai ini tentu bisa menjadi gambaran bagi para penulis pemula, bahwa setiap orang mempunyai proses yang berbeda-beda untuk menciptakan karya, namun apa yang mampu membuat tulisan-tulisan tersebut menjadi istimewa adalah diri kita sendiri. Semakin banyak yang kita ketahui dan yang ingin kita ketahui, maka semakin baik juga tulisan yang akan kita hasilkan. Selain itu, usaha yang kita lakukan juga akan mempengaruhi hasil akhirnya. Semakin maksimal usaha yang kita lakukan, maka semakin baik pula hasil yang akan kita dapatkan.

 

(Red./Fauzan)