Women From Rote Island: Mimpi Kelam Korban Kekerasan Seksual

06/05/2024

“Setiap hari orang jahat dan orang baik lahir,

keduanya setiap hari selalu berjalan beriringan.”

 

Pada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2023, Women From Rote Island menjadi kuda hitam yang memenangkan beberapa nominasi besar di antaranya film cerita panjang terbaik, sutradara terbaik (Jeremias Nyangoen), penulis skenario terbaik (Jeremias Nyangoen), dan pengarah sinematografi terbaik (Joseph Christoforus Fofid). Film ini perdana tayang pada Busan International Film Festival 2023 (BIFF) , lalu sempat tayang di Jakarta Film Week dan memenangkan Direction Award, tayang pula pada Jogja NETPAC Asian Festival, Asian Film Festival Barcelona, QCinema International Film Festival di Filipina. Film ini telah melalang buana di berbagai macam perhelatan film internasional sebelum akhirnya tayang secara luas di bioskop-bioskop dalam negeri pada 22 Februari 2024.

 

Kekerasan Seksual Dengan Realitas Sosialnya

Perempuan berkelamin darah atau Women From Rote Island mengangkat tema sensitif tentang korban kekerasan seksual dan segala macam trauma yang dialami oleh korban. Film ini menghadirkan sisi kengerian yang begitu eksplisit, sehingga mungkin bagi beberapa penonton perlu mempersiapkan mental untuk menonton film ini. Judul dalam berbahasa Indonesianya memiliki makna tersirat tentang apa yang akan dihadirkan dalam film ini. Film ini hadir membawa pesan dan gambaran dari rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat Indonesia terkhusus yang tak pernah mendapatkan keadilan. Budaya patriarki yang mengakar ketika proses pencarian keadilan bagi para korban, budaya ini seakan masih tumbuh subur di lingkungan masyarakat Indonesia khususnya bagi para aparat penegak hukum yang seakan masih menutup mata terhadap proses menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Film Ini menyajikan potret kelam dan beban traumatis korban yang disuguhkan dalam film berdurasi 106 menit. Penggambaran sinematografi film ini pun seakan membius para penonton yang dengan mudahnya masuk ke dalam segala macam rentetan adegan demi adegan dalam film ini yang dipenuhi dengan potret-potret kelam korban.

 

Isu Tenaga Kerja Ilegal

Selain penuh dengan muatan isu kekerasan seksual, film ini menggambarkan potret isu lain b mengenai Tenaga Kerja Ilegal (TKI) yang masih menjamur bebas di Indonesia. Fenomena ini biasa menjamur di daerah-daerah pedesaan atau bisa dibilang daerah-daerah terbelakang, para calo TKI ini biasanya memanipulasi orang-orang dan menjanjikan pekerjaan yang dapat menghasilkan gaji besar, tetapi faktanya justru para pekerja yang dikirim oleh mereka hanya mendapatkan ketidakadilan upah minim, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual. Hal itulah yang digambarkan dalam Women From Rote Island ketika Martha seorang TKI ilegal yang asal pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dikirim bekerja Malaysia, ia mendapat kekerasan seksual dari majikannya yang dikenal dengan nama ‘Datuk’ hingga ketika kepulangannya ke Rote untuk mengunjungi pemakaman sang ayah, Martha mengalami banyak perubahan signifikan, tatapannya selalu kosong seakan sedang berada dalam beban traumatisnya selama bekerja di Malaysia di ladang sawit.

 

Sudut Pandang Tiap Anggota Keluarga

Orpa adalah ibu tunggal dengan 2 anak yaitu, Martha dan Bertha. Orpa kerap kali mengalami diskriminasi gender, stigma karena menjadi ibu tunggal, dan pelecehan seksual. Selain itu pula film ini menghadirkan sudut pandang dari anak-anak Orpa yaitu Martha dan Bertha yang sama mengalami kekerasan seksual dan diskriminasi gender dari lingkungan sekitarnya.  Film ini memberikan peristiwa keluarga yang hanya dihuni oleh perempuan dengan kondisi psikologis yang berbeda-beda. Pada titik klimaks film ini, dibangun dengan terungkapnya Martha dan Bertha yang sama-sama mengalami peristiwa serupa dengan ibunya, tetapi dengan pola dan rentetan kisah yang lebih menyedihkan.

 

Akting Para Pemeran Utama

Akting para tokoh utama dalam film ini patut diapresiasi, setiap tokoh utama terkhusus keluarga Orpa, ketiganya mampu memerankan tokoh mereka dengan sangat ciamik, walau di satu sisi hampir keseluruhan pemeran dalam film ini belum pernah memainkan satu judul film pun. Irma Rihi memerankan Martha, sukses mendefinisikan bagaimana perasaan korban yang dipenuhi beban trauma, emosi yang kuat, walau jarang berbicara tokoh Martha mampu menjadi cermin atas realitas sosial para korban yang dihantui mimpi kelam dan luka batin yang sulit disembuhkan. Linda Adoe sukses memerankan sosok ibu tunggal yang tegar, rapuh, dan selalu dipenuhi harap dari ketidakadilan yang ia rasakan, dan Sallum Ratu Ke memerankan seorang adik bernama Bertha yang sukses dengan aktingnya yang menggemaskan sebagai seorang adik yang secara tidak langsung harus menjaga kakaknya secara bersamaan.

 

Tampilkan Kekayaan Budaya Pulau Rote NTT

Film ini memberikan gambaran realistis kehidupan masyarakat di pula Rote yang autentik, dan pula menampilkan keindahan alam berupa bukit, pantai, rumah-rumah yang masih sederhana terbuat dari kayu dan bambu dengan sinematografi yang ciamik. Selain itu, unsur kebudayaan khas pulau Rote seperti upacara kematian, tarian, dan musik menjadi salah satu yang tak luput dimasukkan ke dalam film sebagai unsur yang mendukung lokalitas budaya Indonesia sebagai satu warisan budaya. Selain dari segi keindahan alam dan lokalitas budaya, film ini memiliki kekhasan dalam penggunaan dialog menggunakan bahasa Rote, dan seluruh pemainnya adalah masyarakat asli pulau Rote, hal ini didasari agar pesan dan makna yang ingin disampaikan natural dan tidak luntur. Dua hal yang khas dalam film ini tersebut pun menjadikan nilai plus dalam menangkap emosi dan ekspresi para pemeran film ini.

 

Perempuan Yang Menuntut Keadilan

Women From Rote Island bukan hanya sekadar penggambaran kondisi sosial yang dialami oleh perempuan. Film ini menghadirkan pesan dan makna yang seacara eksplisit dikhususkan bagi para masyarakat, seperti penggambaran bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, film ini seakan memberikan realitas asli atas kondisi yang sering dialami oleh para perempuan yang merasa kesulitan mencari ruang aman. Film ini pun menampilkan sisi gelap bahwa siapa pun bisa jadi pelaku bahkan sekelas keluarga terdekat. Pada akhirnya Orpa dan para perempuan di sana menuntut keadilan atas peristiwa tragis yang menimpa anak-anaknya terkhusus atas Bertha yang menjadi penyulut api semangat para puan dalam menuntut keadilan atas budaya patriarki dan ketidakadilan yang dirasakan oleh seorang Orpa dan para perempuan di sana. Sikap para perempuan ini didasari atas kemuakkan atas kondisi yang seakan selalu berpihak terhadap para lelaki, para perempuan termasuk Orpa pada akhirnya menuntut para pihak berwenang yang lalai dalam mengusut rentetan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan di sana.

Pesan penutup yang kuat dari film ini adalah gambaran dari realitas sosial yang selalu berat sebelah berpihak pada lelaki, yang pada akhirnya melahirkan segala bentuk gerakan-gerakan sosial yang diinisiasi oleh para perempuan untuk menuntut keadilan yang sepadan, serta mengusut tuntas segala bentuk kasus-kasus kekerasan seksual.

 

 

Muhammad Zaidan. Instagram @sir.aden