Seragam Sekolah, Cita-Cita yang Jauh Panggang dari Api

23/11/2023

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan bahwa jumlah murid di Indonesia pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024 menyentuh angka 53,14 juta orang dengan sebaran jumlah murid SD sebanyak 24,04 juta siswa, murid SMP 9,97 juta siswa, SMA 5,32 juta, serta SMK yang berjumlah 5,08 juta siswa.

Adalah Jawa Barat yang merupakan wilayah dengan jumlah murid paling banyak di Indonesia, yakni sebesar 9,7 juta siswa, diikuti oleh Jawa timur di peringkat kedua dengan total 6,55 juta siswa, dan di urutan diduduki oleh wilayah Jawa tengah dengan 6,18 juta siswa. Dilihat dari data ketiga wilayah tersebut saja, tentu bukan jumlah yang main-main.

Puluhan juta siswa tersebut setiap harinya tentu mendapatkan pembinaan dari masing-masing lembaga dan satuan pendidikan. Baik pembinaan sikap, karakter, keterampilan, dan pembelajaran-pembelajaran yang memungkinkan mereka menjadi manusia yang berbudi adiluhung. Salah satu aturan yang diterapkan guna menumbuhkan kedisiplinan yang menjadi bagian dari karakter siswa Indonesia adalah berseragam di sekolah. Lantas, bagaimana awal mula pakaian seragam diterapkan dalam praktik sekolah di Indonesia?

Masa pendudukan Jepang yang berlangsung tak lebih dari empat tahun pada medio Pra kemerdekaan Republik Indonesia sedikit banyaknya membawa pengaruh dalam aspek sosial masyarakat Indonesia. Jepang yang terkenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan turut serta membawa budaya berseragamnya ke Indonesia. Dengan cita-cita besarnya menjadi pemimpin dari “Asia Timur Raya”, Jepang turut membangun sekolah-sekolah rakyat yang dikenal dengan istilah Kokumin Gakko, hal yang tentunya berbeda dengan Belanda di mana mereka hanya menyediakan akses pendidikan bagi kalangan Bangsawan saja. Sebenarnya, gagasan ini direalisasikan oleh kekaisaran Jepang sebagai bentuk Militerisasi terhadap pendidikan di Indonesia, tercermin dalam norma-norma militer Jepang yang ditanamkan, termasuk cara berseragam dan kategorisasi disiplin ala militer. Singkatnya, itulah awal mula budaya seragam menjadi bagian dari praktik sekolah di Indonesia.

Pasca kemerdekaan, kebiasaan berseragam tersebut kadung melekat dalam perjalanan bangsa Indonesia membangun sistem pendidikannya sendiri. Puncaknya, pada tanggal 17 Maret tahun 1982, Presiden kedua Indonesia, yakni Presiden Soeharto menandatangani Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang berisi tentang penggunaan seragam sekolah bagi para siswa. Mulai hari itu, berseragam dianggap menjadi kewajiban dalam praktik pendidikan di lembaga sekolah Indonesia.

Hari ini, fungsi seragam sekolah yang paling sederhana mungkin adalah untuk membedakan tingkatan pendidikan. Umumnya, seragam sekolah siswa SD akan didominasi oleh warna merah dan putih, untuk SMP adalah putih dan biru, sedangkan SMA berwarna putih dan abu. Lantas siapakah sosok awal pencetus warna-warna tersebut? Ialah seorang yang bernama Idik Sulaeman, mantan pejabat Direktur Pembinaan Kesiswaan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah periode 1979-2983. Sejauh pembacaan saya terhadap teks-teks sejarah, saya tak menemukan literatur ilmiah yang berhubungan langsung dengan keputusan Idik Sulaeman memutuskan warna-warna itulah yang menjadi pilihan di seragam siswa Indonesia yang bertahan hingga hari ini, selain atas keyakinan falsafah yang diyakini dan menjadi nilai-nilai bangsa Indonesia. Namun Idik Sulaeman menerangkan, bahwa warna merah dipilih karena merupakan simbol dari keceriaan, di mana siswa SD yang berumur antar 7-12 tahun tengah berada dalam masa awal pertumbuhan dan memiliki semangat untuk mengeksplorasi segala pengetahuan. Sementara untuk warna biru tua pada seragam SMP adalah simbol dari tanggung jawab dan diharapkan dapat mulai mandiri akan segala kewajiban mereka serta memiliki sifat percaya diri. Sedangkan warna abu yang ada pada seragam SMA menyiratkan bahwa usia siswa SMA adalah usia di mana para siswa mulai tumbuh menjadi manusia dewasa yang memiliki kebijaksanaan lebih dibanding siswa SMP.

Barangkali, sudah sepatutnya kita mengaminkan cita-cita luhur dari Idik Sulaeman di mana para Siswa di Indonesia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang melewati berbagai proses hidup, tersimbolkan melalui gagasan warna seragam yang ia cetuskan. Namun, hingga empat puluh satu tahun kemudian pasca surat keputusan itu ditandatangani oleh Presiden Soeharto, cita-cita itu tampaknya masih jauh panggang dari api, dan masih memungkinkan untuk kembali kita diskusikan.

 

Agus Salim Maolana