Menyusuri Jejak Jugun Ianfu dalam Novel Cantik Itu Luka 

15/12/2025

 

Sejarah mewariskan luka dari masa kelam yang telah terjadi pada pelaku sejarah. Hal tersebut menimbulkan berbagai persoalan dalam kehidupan manusia di masa kini karena sejarah menyertai manusia sepanjang waktu. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sejarah kelam berupa penjajahan oleh beberapa negara asing dalam jangka waktu yang cukup panjang. Tentunya, penjajahan memberikan berbagai dampak negatif khususnya pada perempuan yang sering kali mendapat dominasi ganda. Sejak zaman penjajahan, perempuan begitu rentan menjadi korban dari sistem patriarki yang menganggap perempuan sebagai objek yang bebas diperlakukan oleh kaum lelaki. 

Peristiwa berlatar belakang masa kolonialisme Jepang terdapat dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang pelacur bernama Dewi Ayu yang terpaksa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur akibat situasi politik pada masa itu. Dalam novel Cantik Itu Luka (2002) karya Eka Kurniawan, perempuan menjadi subjek yang menjalani dua peran sekaligus yaitu sebagai subjek yang menjadi korban dari sistem patriarki yang menindas, serta menjadi subjek yang melakukan pertentangan terhadap sistem tersebut. 

Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan menggambarkan realitas kehidupan perempuan dari sisi yang sangat kelam, terutama terkait peran mereka yang sering diremehkan oleh laki-laki. Dewi Ayu sebagai tokoh utama merupakan seorang pelacur yang sangat disegani. Ia membawa sisi kelam kehidupannya dengan sikap tenang dan santai. Latar novel ini adalah pulau fiktif Halimunda yang mencerminkan sejarah Indonesia dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan. Konflik dalam novel bermula dari kutukan seorang pria yang patah hati akibat kekasihnya direbut oleh saudagar Belanda yang kemudian menghantui keturunan Dewi Ayu yang cantik. Kecantikan dalam novel ini tidak hanya berkaitan dengan fisik, tetapi juga memiliki makna yang lebih luas dan berhubungan dengan pengalaman ketika masa penjajahan, di mana kecantikan berlawanan dengan luka dan penderitaan. Judul Cantik Itu Luka sendiri mengisyaratkan bahwa kecantikan tidak selalu membawa kebahagiaan, melainkan juga menyimpan penderitaan yang mendalam. 

Peristiwa kelam yang terdapat pada novel tersebut yang menjadi asal mula tokoh Dewi Ayu menjadi seorang pelacur adalah penculikan yang dilakukan oleh penjajah Jepang 

terhadap perempuan yang kemudian menjadikan beberapa di antaranya menjadi Jugun Ianfu. Jugun Ianfu adalah istilah yang digunakan oleh Jepang sebagai sebutan untuk wanita penghibur pada masa perang Asia Pasifik. Walaupun faktanya, Jugun Ianfu merupakan perbudakan seks yang memaksa perempuan di tanah jajahan yang termasuk sebagai kejahatan perang. Perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu mengalami pemaksaan, penculikan, serta penipuan yang menjerumuskan mereka untuk masuk ke rumah bordil atau Ianjo

Bangunan yang digunakan sebagai lanjo umumnya adalah bekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang, atau rumah penduduk yang sengaja dikosongkan dan dijaga ketat oleh militer Jepang. Para perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu ditempatkan di lanjo dengan sistem yang diselenggarakan, di mana setiap kamar diberi nomor dan nama Jepang tercantum di pintu kamar. Sistem ini menunjukkan bahwa praktik Jugun Ianfu dilakukan secara terencana dan diselenggarakan dengan baik. 

Peristiwa tersebut digambarkan dalam novel Cantik Itu Luka yang dialami oleh Dewi Ayu dan teman-temannya. Ketika Jepang mulai memasuki Indonesia, mereka menjadi korban tahanan dan kemudian dijadikan sebagai Jugun Ianfu oleh Jepang. Hal ini karena sastra merupakan realitas sosial yang mencerminkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. 

Tokoh Dewi Ayu sebagai tokoh utama menempatkan dirinya sebagai seorang sosok yang tidak membiarkan dirinya menjadi korban yang pasif tetapi mampu menentang dengan modal yang ia miliki. Hal ini bisa dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra Pierre Bourdieu menjadi sangat relevan. Bourdieu mengembangkan kerangka konseptual yang mengkaji hubungan antara agen (tokoh), struktur sosial (medan), modal (bentuk kekuasaan yang dimiliki), habitus, arena, strategi, praktik, doxa, dan dominasi. 

Dewi Ayu merupakan perempuan keturunan Belanda yang ditinggalkan oleh keluarganya. Pada saat Belanda kalah dan Jepang memasuki Indonesia, ia memutuskan untuk tetap tinggal di rumahnya. Dengan demikian, ketika Jepang menangkap penduduk Belanda yang masih tersisa, Dewi Ayu juga ikut tertangkap dan ditahan. 

Kehidupan Dewi Ayu seketika berubah. Ia menjalani kehidupan yang tidak layak selama menjadi seorang tahanan. Para tahanan dibiarkan tidur di tempat yang kotor, minim makanan, dan kesehatan yang tidak terjamin. Tetapi, situasi tersebut tidak berlangsung lama karena Dewi Ayu dan beberapa perempuan lainnya yang menjadi tahanan diangkut ke 

sebuah tempat. Mereka diantar ke tempat yang mewah, diberi pakaian bagus, dan makanan yang lezat. Rupanya mereka disiapkan untuk menjadi budak seks bagi para tentara Jepang. 

Konsep habitus menjadi titik awal dalam memahami bagaimana dalam novel membentuk cara pandang dan respons terhadap penindasan. Habitus adalah sistem disposisi yang berlangsung lama dan terbentuk dari pengalaman sosial yang berulang. Tentara jepang meminta para gadis tahanan sebagai budak seks melalui seorang perempuan yang disebut Mama Kalong. Permintaan pelacur-pelacur baru yang masih segar sebagai budak seks menunjukkan bahwa perdagangan seksual bukan hanya tindakan individual tentara, melainkan bagian dari logika arena kolonial yang terorganisir. Dalam kerangka Pierre Bourdieu, tindakan Mama Kalong memperlihatkan habitus praktis yang terbentuk dari pengalamannya mengelola rumah bordil pada masa kolonial. 

Arena dalam teori Bourdieu merujuk pada ruang sosial tempat individu bertarung untuk memperebutkan posisi dan modal. Pada novel Cantik Itu Luka, arena yang digunakan sebagai tempat melancarkan dominasi melalui kolonialisme oleh penjajah Jepang adalah Tempat Pelacuran Mama Kalong. Arena dalam novel Cantik Itu Luka selaras dengan realita yang terjadi pada masa penjajahan Jepang di Indonesia yaitu Ianjo. Bangunan yang digunakan sebagai lanjo umumnya adalah bekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang, atau rumah penduduk yang sengaja dikosongkan dan dijaga ketat oleh militer Jepang. 

Modal menjadi elemen penting dalam mempertahankan posisi dalam arena. Modal tidak hanya berupa kekayaan material (modal ekonomi), tetapi juga jaringan sosial (modal sosial), pengetahuan dan keterampilan (modal budaya), serta pengakuan dan kehormatan (modal simbolik). Dalam novel Cantik Itu Luka, penjajah Jepang memiliki empat modal tersebut sebagai elemen untuk melancarkan praktik perbudakan seksual. Modal ekonomi, sosial, budaya dan simbolik mereka miliki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada masa itu. Sebagai penjajah, Jepang secara khusus memesan pelacur kepada Mama Kalong seperti yang ada pada data sebelumnya. Hal ini menunjukkan Jepang memanfaatkan modal yang mereka miliki dengan maksimal serta menjadikan kelemahan perempuan sebagai tonggak kelancaran mereka. 

Kejadian tersebut selaras dengan yang terjadi pada perempuan masa penjajahan Jepang. Rendi (2012) menjelaskan bahwa sebagian besar perempuan yang direkrut Jepang sebagai Jugun Ianfu berasal dari kalangan miskin dengan tingkat pendidikan rendah dan bahkan 

tidak mengenal baca tulis. Kondisi ini dimanfaatkan pemerintah Jepang untuk mendekati para perempuan Indonesia melalui janji pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan di rumah makan. Namun, janji tersebut tidak pernah direalisasikan, para perempuan tersebut justru dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu) dan dipaksa melayani tentara Jepang. Perlakuan tentara Jepang terhadap para Jugun Ianfu Indonesia pun sangat tidak manusiawi (dalam Cahya, 2015). 

Strategi adalah tindakan yang dilakukan oleh agen sosial untuk mempertahankan atau memperbaiki posisi dalam arena. Dewi Ayu sebagai tokoh utama dalam novel memosisikan diri sebagai agen sosial yang melakukan perlawanan. Meski bukan sebuah perlawanan yang membuatnya terlepas dari dominasi, tetapi mampu memberikan pecutan kepada penjajah Jepang. Ia juga tidak menunjukkan dirinya sebagai seorang perempuan lemah yang terpuruk dengan keadaan yang ia alami. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Dewi Ayu hanya mematung ketika tentara Jepang mendatanginya. Hal tersebut membuat tentara Jepang yang semula bernafsu menjadi marah dan meninggalkannya. Tindakan Dewi Ayu merupakan perlawanan pasif yang justru efektif mematahkan kekuasaan lawan. Dengan tidak memberikan respons emosional yang diharapkan yaitu ketakutan atau kepatuhan, ia merampas kepuasan psikologis tentara Jepang dan mengubah relasi kuasa dalam momen intim tersebut. 

Selanjutnya, praktik sosial merupakan hasil interaksi antara habitus dan arena yang keduanya sendiri terbentuk secara historis. Perbudakan seksual Jugun Ianfu yang dilakukan oleh Jepang menghasilkan praktik yang berbeda dari pihak yang mendominasi dan terdominasi. Jepang sebagai pihak yang mendominasi berhasil membentuk pola perbudakan terhadap perempuan yang dipelihara di rumah pelacuran Mama Kalong. Sedangkan, perempuan yang menjadi budak seksual Jepang mengalami perubahan dari yang awalnya menentang dengan melakukan berbagai tindakan, perlahan menerima dengan menjalani keseharian mereka di rumah pelacuran tersebut. 

Salah satu kunci penting dalam dominasi sosial adalah doxa, yaitu keyakinan atau pandangan yang diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa dipertanyakan. Dalam novel, doxa tergambar ketika para perempuan diberi nama baru oleh seorang perwira. Mereka menerima nama tersebut tanpa perlawanan, seolah menyerahkan kehidupan mereka yang lama kepada Jepang dengan nama baru tersebut. 

Tak hanya itu, mereka juga menerima begitu saja ritual pijat yang biasa dilakukan di rumah pelacuran Mama Kalong. Mereka memercayai hal tersebut sebagai pencegah kehamilan. Padahal secara medis hal tersebut tidak bisa dibuktikan kebenarannya. 

Konsep dominasi dalam kerangka Bourdieu merujuk pada kekuasaan yang berlangsung tidak hanya melalui paksaan fisik, tetapi juga lewat legitimasi simbolik yang tertanam dalam habitus dan doxa. Artinya, dominasi tidak hanya dimanifestasikan melalui kekerasan fisik seperti pemerkosaan, dapat juga melalui kekerasan simbolik yang bekerja dengan cara internalisasi nilai serta kebiasaan. Perempuan-perempuan dalam novel Cantik Itu Luka secara perlahan menerima nama baru, ritual pemijatan, dan pola hidup rumah bordil sebagai sesuatu yang wajar. Mereka kehilangan posisi untuk memilih bukan hanya karena keterpaksaan fisik, tetapi juga karena struktur makna yang sudah dibentuk oleh penjajah dan pengelola rumah bordil. 

Hal ini selaras dengan konsep Bourdieu bahwa dominasi yang paling efektif adalah dominasi yang tak disadari sebagai dominasi. Doxa membuat hubungan kuasa itu tampak alamiah dan tak perlu dipersoalkan. Dengan demikian, praktik perbudakan seksual Jugun Ianfu di dalam novel tidak hanya mencerminkan kekerasan langsung, tetapi juga reproduksi struktur sosial yang menundukkan perempuan lewat mekanisme simbolik. 

 

Siti Rubaiah Al Adawiyah merupakan seorang mahasiswi. Beberapa karyanya sudah dimuat dalam media cetak maupun media daring. Ia bisa dihubungi melalui akun instagramnya: @strubaaiiah.