Membangun Realitas Makna dari Fiksi Mini “Ditikam Ayah”

09/03/2023

Ditikam Ayah

“Yah, mau sampai kapan hal ini disembunyikan terus? Aku khawatir ketika Raka dewasa nanti, dia tahu yang sebenarnya.” Ratna menuntut pada ayahnya.

Dengan berbagai pertimbangan di pikirannya, Seno berusaha menjawab tuntutan anaknya, “Ini bukan hal yang mudah, Ratna. Ayah juga tidak mau kalau Raka di usianya yang sekarang harus menanggung beban seberat ini.”

“Pah, Mah, Raka pulang!” dari arah pintu, Raka berseru.

Ratna berusaha menahan air matanya. “Anak kita sudah pulang, Yah.”

 

Fiksi mini berjudul Ditikam Ayah di atas adalah karangan dari Azis Fahrul Roji, seorang pemuda asli Indonesia.

Tahun 1920, Ernest Hemingway menulis sebuah Novel yang ia sebut sebagai karya terbaiknya hanya dengan menggunakan enam kata, “For sale: baby shoes, never worn”. Ya, kira-kira, itulah bentuk fiksi mini.

Dalam kaitannya dengan karya sastra, fiksi mini bisa dibilang sebagai sebuah bentuk prosa yang memanfaatkan sedikit sekali kata untuk memperoleh keluasan dan kedalaman kisah. Hal itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagi para penulis fiksi mini, ketika mereka harus meramu sebuah dunia dalam fiksi mini yang mampu membawa pembacanya ke dalam kompleksitas petualangan imajinatif dan menggemakan pikiran pembacanya ketika ia selesai membaca.

Petualangan imajinatif itu saya temukan ketika selesai membaca fiksi mini berjudul Ditikam Ayah karya Azis Fahrul Roji atau lebih dikenal dengan nama Waru. Setidaknya, saya menemukan berbagai dimensi isu yang hidup dalam kisah antara Ratna, Seno, dan Raka. Mulai dari isu kekerasan seksual yang seolah tak ada habisnya, isu patriarki yang merongrong kedaulatan perempuan sebagai manusia merdeka, klasifikasi psikologi sosial yang melibatkan keadaan mental individu dalam lingkup-lingkup terkecil. Nahasnya, isu-isu itu juga makin kerap saya temui dalam bangunan realitas nyata masyarakat kita. Di televisi maupun media daring, bertebaran kisah memilukan sekaligus menjijikan, tentang seorang ayah yang tega menggauli anak kandungnya sendiri.

Terbaru, dikutip dari Detikjabar, seorang ayah di Kabupaten Bandung berinisal DS beberapa kali memerkosa anak kandungnya sendiri. Ini merupakan sebuah ironi yang membuat kita tertegun, betapa mengerikannya kekerasan seksual yang bahkan dilakukan oleh orang terdekat sang korban.

Ditikam Ayah adalah contoh nyata bagaimana fiksi mini mampu mengontruksi sebuah dunia yang kelam beserta segala persoalannya. Waru, adalah penulis yang sadar di mana ia harus mendudukkan keresahannya dengan cara yang mudah dimengerti. Sosok Ratna dalam fiksi mini ini adalah wajah kebanyakan perempuan yang lebih memilih untuk diam, memendam segala kesakitannya di depan orang lain dan dunia yang sudah mencampakkannya. Sebaliknya, sosok Seno adalah sosok lelaki sekaligus ayah yang selain egois, juga tak pernah mampu mengambil sikap dalam situasi apa pun, yang pada akhirnya lagi-lagi ia hanya menjadi beban dari tokoh perempuan. Fiksi mini ini juga mengupas bahwa kekerasan seksual tak memandang kelas sosial maupun gender, yang walaupun dalam fiksi mini ini perempuan lagi-lagi dituntut menjadi tokoh korban. 

Sementara, kata sapaan yang digunakan tokoh Ratna kepada tokoh lelaki bernama Seno adalah “Ayah”. Ditinjau secara sosiokultural, hal ini merujuk pada refleksi kelas sosial keluarga Seno yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai keluarga kelas menengah ke atas. Sebab, penggunaan kata “Ayah” sering kali dipadankan pada keluarga yang tingkat ekonominya bisa dikatakan baik, walaupun tidak semua. Artinya, benar bahwa kekerasan sosial tidak memandang keadaan ekonomi.

 


Agus Salim Maolana/Langgam Pustaka.