Maut Sebagai Intensitas: Tafsir Eksistensial atas Cerita Pendek “Maut yang Intens” Karya Aris Risma Sunarmas

02/06/2025

 

Dalam suatu kisah, ada seorang lelaki yang berusaha menghindari kematian. Sebelumnya, Izrail menghadap Nabi Sulaiman, dan menatap tajam pada seorang lelaki yang duduk bersama beberapa tamu Nabi Sulaiman di sana. Tak lama kemudian, Izrail pergi. Sang lelaki bertanya pada Nabi Sulaiman, “Wahai nabi Allah, siapa dia?”, Nabi Sulaiman menjawab, “Dia adalah malaikat maut.” Karena lelaki itu menyadari tatapan Izrail padanya, ia kemudian meminta Nabi Sulaiman memerintahkan angin untuk membawanya ke negeri yang jauh—berharap Izrail akan kehilangan jejaknya. Nabi Sulaiman memenuhi permintaan lelaki itu. Dan sesampainya si lelaki di negeri yang jauh itu, Izrail ada di hadapannya, lantas mencabut nyawanya.

Sekian waktu berlalu, Izrail kembali menghadap Nabi Sulaiman, dan ia ditanya, “kenapa sejak tadi Anda melirik ke arah lelaki itu dengan tajam?”, Izrail menjawab, “Aku merasa heran. Aku diperintahkan mencabut nyawanya di Negeri Hindia. Namun keberadaannya saat itu sangat jauh dari negeri itu. Hingga akhirnya tiba-tiba ada angin yang membawanya ke Negeri Hindia. Lalu kucabut nyawanya di sana, sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan.”

Sebuah Pintu Masuk Tafsir
Cerita pendek berjudul Maut yang Intens karya Aris Risma Sunarmas yang termuat dalam antologi cerita pendek Ibu dan Rahasia Besar (Langgam Pustaka, 2024) seolah dibangun dalam konteks perandaian di atas. Namun meski demikian, Aris tidak menjadikan ceritanya sebagai kisah moralistik atau religius. Ia menanamkannya ke dalam tubuh seorang lelaki bernama Basukarna—tokoh yang begitu ingin mati karena frustrasi pada kehidupan, tetapi terus hidup dalam derita dan kegamangan. Di sini Aris menuliskan maut bukan sebagai sebuah finalitas, melainkan sebagai suatu pengalaman, suatu proses, suatu proses mengada—sebuah intensitas yang menusuk, dan juga dalam hal tertentu, menyelamatkan.

Basukarna saya bayangkan seperti Mersault dalam novel L’Étranger (1942) karya Albert Camus. Ia adalah manusia yang seolah berkehendak untuk melawan absurditas dunia. Tetapi tidak seperti Mersault yang akhirnya menerima absurditas dengan dada terbuka, Basukarna menggeliat dalam tubuh yang lelah, berkutat mencari metode terbaik untuk mati yang paling tidak menyakitkan dan yang paling tidak memalukan. Dalam dilema semacam itu, kemudian Izrail hadir. Izrail di sini tidak hadir sebagai malaikat maut yang membawa pesan pengakhiran, tetapi sebagai narator kehidupan manusia lain. Pada titik ini cerita menjadi menarik, oleh sebab Aris tengah menyampaikan suatu satire yang halus, bahwa malaikat maut pun kini menjadi penceramah, bukan pembunuh. Barangkali karena dunia ini—seperti kata Adorno—“telah cedera”, beschädigte Leben, maka maut pun mencoba berdiplomasi agar manusia tidak membuatnya terlalu banyak bekerja.

Dalam logika naratif ini, kita dihadapkan pada sebuah tafsir atas maut yang tidak linear dan tidak tunggal. Izrail mengetahui dengan detail masa lalu Basukarna, dari berbagai usaha bunuh diri yang gagal, kegagalan rumah tangga, hingga kegagalannya untuk bercinta dengan pelacur berbadan sintal di warung sebelah stasiun. Namun di sini, Izrail tidak menyuruh Basukarna bertaubat atau menyerah. Ia malah menceritakan kisah tetangga Basukarna: Mak Enah, perempuan tua yang di kemudian hari melupakan suaminya sendiri. Maka terjadilah sebuah lompatan yang penting: kematian tidak lagi tentang bagaimana tubuh berakhir, melainkan bagaimana ingatan gagal bekerja. Basukarna yang ingin mati karena dikhianati istrinya, justru dipaksa menyaksikan bagaimana Mak Enah tidak lagi bisa mengingat bahwa ia pernah mencintai dan dicintai suaminya. Di sini saya kira Aris menyisipkan kritik esistensial yang kuat: mungkin bukan kematian itu sendiri yang mengerikan, melainkan dilupakan dan kehilangan makna hidup.

Poin ini dapat membawa kita pada pembacaan yang lebih dalam. Melalui magnum opus¬-nya Heidegger, Being and Time (1953), disampaikan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar akan kematiannya—dan melalui kesadaran itu, manusia termungkinkan untuk memunculkan otentisitas eksistensinya. Tetapi apa yang terjadi ketika kesadaran itu kemudian dikacaukan, seperti yang terjadi pada Mak Enah karena demensia? Maka maut tidak berhentu sebagai peristiwa, melainkan medan tafsir, tempat di mana tubuh, luka, dan memori saling berjibaku untuk menentukan makna.

Maut yang Intens tidak menawarkan resolusi. Cerita ditutup dengan Basukarna yang memutuskan untuk melanjutkan hidup dalam kondisi tangan kirinya yang masih meneteskan darah akibat sayatan pisau. Ia, dengan kesadaran barunya, memutuskan untuk hidup setelah berada di ambang kematian. Namun di sini perlu dicatat: Basukarna tidak ingin mati bukan karena mendapat pencerahan, melainkan karena ia tidak ingin mati dengan cara yang buruk. “Tolong panggil ambulans. Aku tidak akan mati dengan cara ini,” ucapnya pelan pada adiknya. Dalam pernyataan ini, kita bisa melihat bahwa hidup bukan lagi dilandasi oleh harapan, tetapi oleh sebuah estetika penderitaan. Di sini maut menjelma sebuah narasi estetis yang—menurut Aris—tidak pernah bisa ditutup.

Basukarna dan Repetisi Luka Eksistensial
Saya berpendapat bahwa Basukarna tidak ingin mati sebagai pecundang. Meski demikian, ia juga tidak sanggup hidup sebagai manusia yang kalah. Di sinilah saya kira konflik utama tokoh ini berpusar, dan sebagaimana diungkapkan Albert Camus, bahwa, “it takes more courage to live than to shoot yourself”.

Aris tidak membangun tokoh Basukarna sebagai manusia kuat, atau bebal. Ia adalah manusia yang remuk oleh pengalaman dan dipukuli oleh nasib, tetapi meski demikian, tetap memiliki ego estetis dalam dirinya. Ia ingin mati, tapi tidak dengan cara yang menyakitkan, dan—inti perlu digarisbawahi—tidak membuatnya malu. 

Tokoh ini kembali mengingatkan saya pada gagasan Albert Camus dalam karyanya yang lain, Le Mythe de Sisyphe (1942). Saya coba kutipkan.

“Sebenarnya hanya ada satu masalah falsafi yang benar-benar serius, yakni bunuh diri. Menilai bahwa hidup ini layak atau tidak layak dijalani: itulah menjawab pertanyaan dasar filsafat. Selebihnya, apakah dunia memiliki tiga dimensi, apakah jiwa memiliki sembilan atau dua belas kategori, merupakan kelanjutan saja. Itu permainan saja.”

Basukarna telah mengajukan pertanyaan itu berkali-kali: “Apakah hidup ini layak atau tidak layak dijalani?” Pertanyaan itu  menggema di tepi sungai deras, di hadapan pil terpentin, dan lain-lain. Tetapi yang menarik di sini adalah, ia selalu mundur. Ketika akan melompat ke sungai deras, ia takut kesakitan karena menghantam bebatuan. Di sini kita dapat membayangkan sebuah pola: keinginan untuk mati selalu kalah oleh rasa takut terhadap cara kita mati.

Hal ini menghadirkan ironi filosofis yang tajam. Basukarna bukan sekadar takut mati. Ia takut menderita di detik-detik terakhir hidupnya. Dalam bahasanya Georges Bataille, kematian yang dicita-citakan Basukarna bukanlah la petite mort yang penuh ekstase, melainkan sebuah kehampaan yang bersih dan steril. Tetapi dunia tidak menyediakan kematian seperti itu. Dunia hanya menyediakan kekalahan yang terus-menerus ditunda, dan dalam penundaan itulah maut berubah wujud menjadi sebuah narasi. Narasi dari Izrail.

Izrail datang bukan sebagai penanda akhir, melainkan sebagai sebuah kisah dari tetangganya. Izrail dalam cerpen ini bukan tipikal malaikat maut dalam teks-teks religius, melainkan mirip sebuah tokoh flâneur dalam pemikiran Walter Benjamin: ia berjalan di dalam kota, mengamati, mencatat kematian dan kesedihan orang-orang biasa. Ia tahu cerita Mak Enah dan Bah Oman dengan detail seperti seorang penulis memoar. Kehadiran Izrail di sini lebih mirip arsip penderitaan daripada anak buah Tuhan. Ia menyajikan kisah Mak Enah sebagai semacam studi komparasi atas rasa sakit. Dengan itu, Aris seolah ingin menyampaikan bahwa kesedihan itu demokratis. Tidak ada luka yang unik, bahkan hasrat untuk mati itu sendiri tidaklah istimewa.

Mak Enah adalah sosok kontras dari Basukarna. Ia tidak ingin hidup, tetapi ditakdirkan terus hidup. Dan ketika ia akhirnya hidup lebih lama, ia malah kehilangan memori tentang suaminya sendiri. Maka hidup Mak Enah menjadi hidup yang “selamat secara biologis tetapi gagal secara eksistensial”. Pada titik ini, Aris seperti menyampaikan sindiran tipis terhadap ideologi panjang umur dalam masyarakat modern: tidak selalu umur yang panjang adalah berkah apabila identitas, idealisme, juga cinta telah kandas dirampas nasib. Basukarna yang masih ingat, yang masih terkoyak karena pengkhianatan istrinya, justru lebih utuh secara eksistensial ketimbang Mak Enah yang digerogoti demensia.

Dalam refleksi Heideggerian, Mak Enah adalah contoh dari das Man—manusia yang tenggelam dalam ketaktertentuan, kehilangan relasi otentiknya dengan kematian. Sebaliknya, Basukarna—meskipun melalui cara yang menyakitkan—tengah mencoba menghadapi proses kematiannya secara sadar, walau terus gagal. Gagal bukan karena lemahnya niat, melainkan karena masih ada yang belum selesai. Kemunculan Izrail juga dapat dibaca sebagai “pengingat” eksistensial. Semacam personifikasi dari pepatah memento mori meski dalam bentuk yang profan.

Dalam dunia Aris, Tuhan tidak hadir dalam narasi ini. Yang ada hanya Izrail, dan itu pun bukan Izrail yang menuntun ke akhirat, melainkan pada kisah lain. Hal ini membuat cerpen Maut yang Intens terasa begitu kontemporer. Kematian dilepaskan dari dogma. Kematian terbaca sebagai bagian dalam ranah afeksi, psikologi, juga eksistensi keseharian. Kematian di sini juga bukan merupakan akhir cerita, melainkan bagian dari cerita yang lebih besar—dan juga mungkin saja lebih absurd. Maut tak datang dari luar, tetapi hadir sebagai gema dalam kesadaran tokoh, lantas berlipat dalam repetisi ingatan, luka, juga penolakan.

Televisi, Mediasi Luka, dan Sinema Kematian
Aris membubuhkan medium televisi yang diberikan Izrail pada tokoh bukan sekadar latar atau alat bantu cerita, melainkan sebagai sebuah instrumen utama pengolahan duka dan kesadaran. Izrail menyarankan Basukarna menonton televisi yang ia berikan sebagai syarat agar Basukarna benar-benar dapat memahami kematian—atau mungkin sebenarnya memahami kehidupan. Di sini diperlukan tafsir lebih jauh mengenai instrumen tersebut: televisi (teknologi) yang biasanya menjadi medium pelarian dari kenyataan, di sini menjadi penghadir kenyataan yang paling getir.

Dalam cerpen ini, televisi menampilkan kisah hidup Mak Enah dan Bah Oman secara lengkap, termasuk ihwal janjian mereka untuk mati bersama, kehilangan, juga akhirnya demensia yang melumpuhkan memori Mak Enah di sisa hidupnya. Basukarna diminta menonton bukan untuk merasa terhibur, melainkan untuk menjadi saksi kesedihan orang lain secara terprogram dan terstruktur. Televisi di sini menjadi alat untuk menciptakan empati, atau bahkan sebut saja, trauma substitutif. Di sinilah saya kira Aris memainkan strategi estetika naratif yang piawai: ia meminjam logika realisme media untuk menyampaikan realitas eksistensial.

Kita pun patut mengingat, bahwa dalam Simulacra and Simulation (1981) karya Jean Baudrillard, disebutkan bahwa di era posmodern representasi atas realitas telah menggantikan realitas yang sebenarnya. Maka ketika Basukarna menonton televisi, ia tidak lagi berada dalam posisinya, melainkan menjadi bagian dari penonton yang dibentuk untuk merasa iba, tetapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Luka Mak Enah yang semula bersifat privat kini menjadi tontonan yang dapat diakses orang lain. Tetapi alih-alih menjadikan ini sebagai kritik atas media, Aris justru menunjukkan bahwa pada zaman ini, satu-satunya cara untuk memahami realitas adalah melalui semacam mediasi—dan televisi (atau sebenarnya layar gawai) adalah altar modern yang menggantikan kitab suci penderitaan.

Sekali lagi, televisi dalam cerpen ini bukan media hiburan, bukan berita, apalagi sinetron. Ia berfungsi menghamparkan proyeksi batin kolektif. Seperti narasi Plato tentang gua, bahwa manusia lebih percaya pada bayang-bayang di dinding gua ketimbang berupaya pergi keluar dan melihat objek asli yang membentuk bayang-bayang itu. Namun di sini Aris membalikkan itu. Basukarna yang menyaksikan “bayang-bayang” kehidupan Mak Enah justru terprovokasi untuk segera keluar dari gua dan menemui realitas, menunda bunuh diri, dan menyadari bahwa rasa sakit miliknya—sebagaimana disampaikan Izrail—“hanya secuil dari kisah kesedihan orang lain.” Dengan kata lain, di sini simulakrum duka justru memiliki potensi untuk menciptakan semacam pencerahan eksistensial.

Kita bisa berangkat pada tafsir lain. Televisi di sini juga dapat diekstrak sebagai metafora dari ingatan dan kenangan. Ingatan manusia adalah layar tempat segala luka diputar kembali, sesekali melalui proses editing, kadang dengan montase yang bengis. Basukarna menonton kisah Mak Enah sebagaimana ia bisa memutar kembali seluruh hidupnya yang telah luluh lantak. Maka televisi juga di sini dapat menjadi ruang afektif, di mana luka dan trauma menjadi tontonan dan renungan secara bersamaan. Di situ Aris menunjukkan bahwa kematian bukanlah sebuah titik melainkan loop. Ia diputar, dipahami, disangkal, dirasakan kembali—dan dalam setiap putaran itu, hidup mendapat sedikit makna tambahan, meski sekadar dalam bentuk perlawanan.

Lebih jauh, televisi dalam cerpen ini bahkan dapat dimaknai sebagai bentuk baru dari “wahyu”. Izrail memang tidak membacakan ayat-ayat kita suci, tidak pula membawa pesan Tuhan, melainkan sekadar menyuruhnya “menonton TV”. Ini mungkin, dalam imajinasi asal-asalan saya, dapat dibaca sebagai kritik satire bahwa di dunia modern, pesan ilahi pun mungkin memerlukan format baru melalui audio-visual agar lebih mudah dipahami dan menarik bagi manusia. Hal ini toh terjadi pada Basukarna. Ia menjadi “beriman” kembali pada kehidupan, bukan karean doa atau ancaman ihwal neraka, melainkan karena menyaksikan penderitaan orang lain melalui layar. Maka, jika dalam agama ada konsep mengenai syuhada (kesaksian dalam kematian), Aris mungkin sedang memperkenalkan laku via negativa, semacam “syuhada terbalik” berupa kesaksian dalam kehidupan, setelah menyentuh tubir maut.

Kematian Sebagai Intensitas, Bukan Finalitas
Pada akhirnya, Maut yang Intens karya Aris Risma Sunarmas memunculkan tafsir ihwal kematian yang tidak berperan sebagai batas, melainkan sebagai sebuah momen intensitas tertinggi dalam hidup—bahkan mungkin satu-satunya yang otentik. Dalam tubuh Basukarna, kita melihat seorang manusia yang gagal menemukan makna hidup selama ia menjalani kehidupan, dan justru menyentuh secuil makna dalam jarak paling dekat dengan maut. Namun, kematian di sini tidak dibaca sebagai akhir, ia adalah sebuah “interval”, sebuah negasi yang membuka afirmasi.

Melalui struktur naratif yang digubah Aris, terutama dengan kehadiran Izrail sebagai tokoh yang intim dan kontemplatif, kita tidak hanya diperlihatkan mengenai citra kematian yang menyeramkan atau judgemental, melainkan sebaliknya: kematian menjadi narator yang jujur—dan justru karena itulah, kematian terasa begitu pilu. Di sini pemikiran Emmanuel Levinas mengenai kematian sebagai “hal yang tidak bisa dipahami dan tidak bisa diwakili” menemukan relevansinya. Kematian memang tidak bisa dijelaskan, tetapi ia bisa dihadirkan dalam sebuah pengalaman etis: melalui wajah orang lain, penderitaan orang lain, duka orang lain.

Sementara itu dari kacamata Heidegger, manusia otentik baru menjadi dirinya ketika ia Sein-Zum-Tode—ada-menuju-kematian. Basukarna yang semula ingin mati bukanlah Dasein dalam penjabaran Heidegger. Ia belum mencapai taraf kesadaran akan authentic existence. Justru setelah bertemu Izrail, dan menyaksikan tayangan Mak Enah, ia menjadi sadar. Penundaan itu bukan karena rasa takut, melainkan karena telah melihat dan meresapi—sebagaimana disampaikan Izrail—bahwa “yang lebih menyakitkan dibandingkan hidup sendiri adalah hidup sendiri setelah setengah abad berdampingan dengan orang yang kaucintai”.

Cerpen ini terasa menolak heroisme dan tidak menyampaikan harapan palsu. Tidak ada rekonsiliasi dengan sang istri, tidak ada kemenangan dalam hidup. Namun justru dari kepahitan itu, muncul keputusan baru: untuk hidup. Dan dalam keputusan itu, Aris tidak merayakan hidup sebagai kebahagiaan, melainkan sebagai resistansi terhadap nihilisme. Basukarna berkata, “aku tidak akan mati dengan cara ini”. Kalimat itu bukanlah kebangkitan heroik, melainkan penangguhan hukuman—dan dalam penangguhan itu, ada kemungkinan yang tak pernah final. Aris menjadikan kematian bukan sebagai akhir cerita, melainkan sebagai titik koma yang justru terbuka pada kemungkinan narasi lain yang tak terbatas.

Dengan segala kerumitan simbolis, fiksi ini tidak terjebak pada gaya surealisme atau alegori belaka. Ia justru menawarkan realisme eksistensial yang subtil, getir, dan manusiawi. Dalam cara Aris menggarap sosok Izrail, televisi, Mak Enah, dan juga Basukarna, kita dapat menemukan lebih dari kisah tentang kematian, tetapi juga kisah tentang bagaimana manusia bisa tetap hidup meski semua sudah mati—istri, harapan, bahkan masa depan.

Maka, jika ada satu hal mencolok dalam Maut yang Intens, itu adalah keberanian untuk mengatakan ya terhadap kehidupan tanpa meromantisasinya. Dan dalam upaya mengatakan ya terhadap kehidupan dengan segala absurditas itu, manusia bisa tetap berpikir, merasa, dan—meski hanya sekali lagi—memilih. Setelah melewati pergulatan panjang Basukarna dengan problematikanya, di masa depan tokoh tersebut kita harus membayangkan Basukarna bahagia.


Candrika Adhiyasa, lahir di Kuningan – Jawa Barat, Desember 1996. Seorang esais yang banyak menulis tentang seni, hegemoni, dan kajian budaya. Lulus dari Ilmu Lingkungan UGM dan kini bekerja sebagai konsultan lingkungan sekaligus menggerakkan komunitas Ruang Publik Agora. Buku terbarunya "Amarah dan Keretakan: Esai-Esai tentang Seni, Alienasi, dan Trauma" (Langgam Pustaka, 2024) merangkum esai-esai tentang seni, alienasi, dan trauma sosial.

 

Buku "ibu dan Rahasia Besar" (Klik untuk membeli)

Buku "Amarah dan Keretakan" (Klik untuk membeli)