
Pertama kali membaca kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington, saya mendapat kesan bahwa nuansa yang dibawakan oleh Budi Darma sama sekali berbeda dengan cerpen-cerpennya yang lain yang pernah saya baca. Cerpen-cerpen Budi Darma yang lain sering kali menyajikan nuansa absurd serta imaji-imaji yang keras dan tak lazim. Sementara itu, cerpen-cerpen dalam Orang-Orang Bloomington cenderung menyajikan nuansa yang realistis. Dan, seperti diakui oleh Budi Darma sendiri, bahwa “semua cerpen dalam Orang-orang Bloomington adalah cerpen realistis, tidak melesat ke dunia sana” [1].
Mulanya, saya tidak menangkap apa pun maksud dari tujuh cerpen dalam Orang-Orang Bloomington. Saya, dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang sastra, bahkan secara serampangan bertanya-tanya mengenai apa hebatnya cerpen-cerpen tersebut sehingga menduduki tempat penting dalam dunia sastra Indonesia. Saya bertanya-tanya, tiada lain karena sekilas cerpen-cerpen tersebut tampak sederhana dan tidak lebih daripada mengisahkan interaksi antar satu manusia dengan manusia yang lain.
Setelah membaca ulang beberapa kali, barulah saya menyadari sesuatu yang lain. Dari 7 cerpen, 5 cerpen menggunakan judul nama tokoh. Dua cerpen yang tidak menggunakan judul nama tokoh adalah Laki-Laki Tua Tanpa Nama dan Keluarga M. Lima judul cerpen yang lain yaitu: Joshua Karabish, Orez, Yorrick, Ny. Elberhart, dan Charles Lebourne.
Sejauh yang saya ketahui dan jumpai, apabila sebuah cerpen menggunakan judul nama tokoh, biasanya isi cerpen akan mengisahkan tokoh tersebut. Konflik yang tercipta, motif tindakan, dan pergulatan batin yang terjadi tiada lain merupakan bagian dari pengembangan tokoh yang namanya dijadikan judul tersebut. Namun, cerpen-cerpen dalam Orang-Orang Bloomington lain.
Meskipun judulnya menggunakan nama tokoh, semua cerpen dalam Orang-Orang Bloomington justru menyuguhkan motif tindakan dan konflik batin yang dilakukan dan dialami oleh tokoh “saya” sebagai narator. Maka, dapat dikatakan bahwa seluruh cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang pertama. Dan, melalui sudut pandang orang pertama inilah, sisi lain kehidupan yang kompleks dan kelam yang sering tidak kita sadari, disuguhkan dengan penceritaan yang mengalir begitu saja.
Dari apa yang saya pahami, masing-masing cerpen mewakili beberapa masalah universal. Artinya, apa yang dibicarakan dalam setiap cerpen dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Laki-Laki Tua Tanpa Nama mewakili rasa ingin tahu dan ikut campur berlebih pada diri manusia, Joshua Karabish mewakili kegagalan dan prasangka buruk, Keluarga M mewakili kebencian dan kedengkian, Orez mewakili ketidakberdayaan dan penerimaan terhadap takdir, Yorrick mewakili kecemburuan buta, Ny. Elberhart mewakili penyesalan, dan Charles Lebourne mewakili kesombongan atau keangkuhan.
Namun demikian, keseluruhan cerpen memiliki tema yang menonjol, yaitu kesepian dan keterasingan. Tokoh “saya” sebagai narator dalam setiap cerpen selalu digambarkan hidup dalam kesendirian dan memiliki sifat yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Karenanya, narator selalu mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungannya, dan dengan demikian narator mengalami keterasingan. Terlihat dalam seluruh cerpen bahwa fokus utama bersifat satu arah melalui “saya” sebagai narator, dan inilah yang memperkuat perasaan keterasingan total sebagai tema keseluruhan cerpen [2].
Kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain tampak jelas dalam cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama. Diceritakan bahwa tokoh “saya” sebagai narator tinggal di lingkungan yang terkesan tidak memiliki kepedulian terhadap sesama. Lebih tepatnya, sangat menjaga privasi. Sementara itu, narator sendiri memiliki sifat ingin tahu dan ikut campur yang kuat. Alhasil, “saya” merasa terheran-heran dengan lingkungannya dan orang-orang di sekitarnya, bahkan
kepada pemilik rumah yang lotengnya “saya” sewa, seperti ditunjukkan dalam kutipan berikut.
Bahkan, dia selanjutnya memesan, supaya hubungan baik antara dia dengan saya tetap baik, saya hanya boleh bercakap dengan dia bilamana perlu, itu pun harus melalui telepon [3].
Hingga suatu ketika, seorang lelaki tua menempati loteng rumah tetangga. “Saya” merasakan keingintahuan yang besar untuk mengenal lelaki tua itu. Terlebih lagi lelaki tua itu sering terlihat menodong-nodongkan sebuah pistol. Namun, “saya” mengalami kesulitan karena upaya-upaya yang dilakukannya untuk mengenal lelaki tua itu tidak pernah berhasil. ‘Saya” bahkan menanyakan sosok dan kelakuan lelaki tua itu kepada pemilik rumah yang lotengnya “saya” sewa, juga pada tetangga, dan respons mereka menegaskan kesan bahwa mereka—orang-orang di lingkungan “saya”—sangat menjaga privasi dan tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Kesulitan yang dialami “saya” terlihat jelas dalam kutipan berikut.
Dan, usaha saya berpapasan dengan laki-laki tua itu, segera setelah saya keluar dari Marsh, tidak membawa hasil. ... Saya berharap supaya sekali tempo dia menengok ke arah saya, tapi pengharapan saya tidak pernah terkabul [4].
Adapun nuansa kesepian terlihat jelas dalam cerpen Keluarga M. Cerpen Keluarga M mengisahkan “saya” yang tinggal di sebuah apartemen. Hingga kemudian “saya” merasakan kedongkolan terhadap kelakuan bocah kakak beradik. Kedua bocah ini, juga ayah dan ibu mereka, bisa dikatakan merupakan sebuah keluarga yang memiliki hubungan harmonis. Sementara itu, “saya” hidup seorang diri di apartemen tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam pembuka cerita berikut.
Sudah lama saya tinggal di gedung raksasa yang memuat dua ratus apartemen ini, dan mungkin sayalah satu-satunya yang hidup sendirian tanpa anak dan istri [5].
Mula-mula tokoh “saya” tidak merasa terganggu dalam kehidupannya. Hingga kemudian dia merasakan kedongkolan terhadap bocah kakak beradik beserta ayah dan ibu mereka—Keluarga M, karena kakak beradik dan orang tua mereka memiliki nama berawalan M. Untuk melampiaskan kedongkolan terhadap keluarga ini, tokoh “saya” melakukan berbagai cara yang cenderung keras yaitu memaki-maki dan berusaha mencelakakan bocah kakak beradik.
Namun pada akhirnya “saya” merasa bersalah terhadap semua tindak-tanduknya. Kemudian “saya” menyadari, bahwa pada akhirnya ia tetap menjadi orang yang kalah. Orang-orang dan pegawai apartemen silih berganti, tetapi “saya” tetap sendirian dan kesepian dalam apartemen, seperti tampak pada penutup cerpen berikut.
Dan, saya tetap di sini, tetap sendiri [6].
Nuansa keterasingan yang paling menyentakkan terdapat dalam cerpen Yorrick. Cerpen ini mengisahkan cinta yang gagal dan kecemburuan buta. Tokoh “saya” merasa jatuh cinta pada seorang perempuan. Karenanya, “saya” berupaya sebaik mungkin untuk menarik perhatian perempuan tersebut. Tapi ternyata perempuan tersebut mencintai lelaki lain yang bernama Yorrick. Dalam keseluruhan lika-liku hubungan itu, tokoh “saya” menjadi sekedar perantara dan penonton, seolah tidak ada. Hal ini tergambarkan dalam sebuah pesta, di mana “saya” merasa dirinya penting, tetapi sebenarnya dirinya tidak berarti apa-apa di antara keramaian yang ada. Tampak ketika “saya” berpura-pura ke kamar mandi, berlama-lama di dalamnya, kemudian kembali dan menyadari bahwa orang-orang tidak mencarinya dan tidak peduli terhadap keberadaannya. Perhatikan kutipan berikut.
Dalam semua kesempatan ini, saya berperan sebagai penonton. Karena saya ingin kencing, terpaksa saya ke kamar mandi... Sengaja saya memperlama waktu di kamar mandi. Tapi, telinga saya tidak mendengar suara orang mencari. Ketika saya keluar dan kembali ke ruang tamu, semua orang
rupanya tidak sadar bahwa tadi saya ke kamar mandi, dan bahwa saya sudah kembali dari kamar mandi [7].
Pada akhirnya, cinta “saya” kandas begitu saja. “Saya” menjadi orang yang kalah dan terasing. Dan, cerita ditutup dengan tokoh “saya” yang akan pindah tempat tinggal. Sementara itu, Yorrick sebagai saingan “saya” mengundang untuk menghadiri pernikahannya nantinya. Tentu saja maksudnya adalah pernikahan Yorrick dengan perempuan yang “saya” cintai, yang akhirnya “saya” kalah dalam banyak hal. Maka, tokoh “saya” menyatakan bahwa dirinya mungkin akan hadir, tapi apa yang sebenarnya dalam batinnya tampak dalam penutup cerpen seperti berikut.
Dalam hati saya berjanji tidak datang [8].
Penutup cerpen tersebut menyentakkan nuansa keterasingan yang begitu dalam. Pertentangan apa yang terucap dengan apa yang sebenarnya dirasakan menampakkan bagaimana rasa sakit yang dialami tokoh “saya” terhadap semua kegagalannya. Demikian juga terhadap segala keterasingan yang ia rasakan, seolah dirinya tidak berarti apa-apa, seolah dirinya tidak ada.
Cerpen-cerpen yang lain memberikan nuansa kesepian dan keterasingan yang sama dengan cerpen-cerpen yang telah saya singgung di atas. Dengan gaya penulisan khas Budi Darma, sekilas cerpen-cerpennya tampak tidak serius. Dari luar cerpen-cerpen Budi Darma tampak seperti lelucon yang rapi dan saksama, dan memang sering demikian, namun dari dalam cerpen-cerpen Budi Darma adalah impian yang menakutkan dan kejam [9].
Cerpen-cerpen dalam Orang-Orang Bloomington juga sama, seperti lelucon tapi sebenarnya serius. Tingkah-tingkah tokoh “saya” sebagai narator tampak konyol sekaligus ekstrem. Namun, terasa benar bahwa cerpen-cerpen di dalamnya menghamparkan kesadaran manusia dalam upaya mengenali dirinya sendiri melalui keberadaannya di dunia, tetapi justru dunia tetap diam, beku, dan tidak peduli. []
Catatan Akhir:
[1] Budi Darma, “Prakata: Mula-Mula adalah Tema” dalam Orang-Orang Bloomington (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), hlm. xii.
[2] Tineke Hellwig & Marijke J. Klokke, “Focalization and Theme: Their Interaction in Orang-Orang Bloomington,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 1985, hlm. 427.
[3] Budi Darma, Orang-Orang Bloomington (Jakarta: Noura Books, 2021), hlm. 18.
[4] Ibid. hlm. 27-28.
[5] Ibid. hlm. 79.
[6] Ibid. hlm. 110.
[7] Ibid. hlm. 185-186.
[8] Ibid. hlm. 202.
[9] Harry Aveling, “Dunia yang Jungkir Balik Budi Darma” dalam Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esei dan Kritik (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 204.
FAW Nugroho. Lahir dan tinggal di Pati, Jawa Tengah. Tulisan-tulisannya dimuat di media massa digital dan cetak. Dapat disapa melalui instagram: @femasn




