Folklor ‘Asal-usul Penamaan Gunuang Tigo dan Kampung Cumanak’ : Dua Negeri yang Hilang Pasca Bencana Gempa 2009

03/06/2024

Hingga hari ini, kebudayaan masih menjadi unsur sentral yang memerankan fungsi penting bagi pembentukan suatu kolektif masyarakat, dengan aturan dan norma-norma adat yang masih di anut oleh masyarakat sebagai pedoman dan landasan dalam menjalani kehidupan. Kebudayaan banyak ragamnya, ada yang berupa lisan, sebagian lisan maupun non-lisan. Salah satu bentuk kebudayaan lisan yang dipercayai masyarakat Minangkabau ialah legenda atau asal-usul penamaan sebuah tempat yang diyakini oleh masyarakat setempat dari mulut ke mulut, dalam istilah ilmu Folklor termasuk kepada salah satu bentuk folklor lisan.

Pewarisan cerita atau legenda yang berupa asal-usul terbentuknya nama nagari adalah salah satu lensa mengenal daerah dalam khazanah budaya. Beberapa kisah legenda daerah oleh masyarakat setempat dikenal sebagai sesuatu yang sakral karena menyangkut kepada asal usul mereka. Hal ini tidak terlepas dari faktor kepercayaan masyarakat itu sendiri, tindak tanduk dan cara berpikir suatu kolektif masyarakat juga menjadi pertimbangan serius dalam sebuah cerita legenda, terutama yang menyangkut asal-usul. Berikut tulisan ini akan meliput bagaimana asal-usul penamaan suatu daerah di Sumatera Barat, yang hari ini sudah dikenal sebagai Negeri yang hilang.

Gunuang tigo  terletak di wilayah kenagarian Tandikek Barat, Desa Lareh nan Panjang, Padang Pariaman Sumatera Barat. Sebelumnya, Gunuang yang berderet tiga sebaris ini ditempati oleh banyak penduduk, meski tergolong memiliki akses transportasi yang sulit dijangkau, Gunuang Tigo tetap tidak pernah ditinggalkan penduduknya. Gunuang Tigo merupakan salah satu wilayah yang terdampak besar dari bencana longsor akibat gempa maha dahsyat pada 2009 silam yang menewaskan mayoritas masyarakat di sana, juga meluluhlantakkan beberapa bagian Gunuang, yang menyebabkan hingga hari ini Gunuang Tigo tidak berpenghuni lagi, karena sebahagian penduduknya yang tersisa dari bencana itu memilih untuk berpindah tempat. Sehingga hari ini, Gunuang Tigo diyakini sebagai desa yang telah hilang ditelan bumi, dan sebagian lagi meyakini bahwa Gunuang Tigo dan desa Cumanak yang berada di pinggiran kaki gunung itu sudah mati total, sehingga tidak ada kehidupan lagi di sana.

Menariknya, terlepas dari hilangnya Negeri itu, Gunuang Tigo yang menyimpan berbagai macam cerita dari masa penjajahan itu masih melekat di benak para penduduknya yang hari ini telah diungsikan di sebuah perumahan yang jauh dari lokasi kejadian. Meski bencana itu tetap menjadi trauma besar bagi penduduk dan masyarakat setempat, namun seluruh cerita-cerita yang amat melegenda di Gunuang Tigo tetap menjadi buah bibir masyarakatnya hingga hari ini, dan masih diceritakan kepada anak cucunya.

Cerita yang diangkat dalam tulisan ini ialah cerita-cerita yang beredar di masyarakat yang menetap di sana sebelum gempa melanda. Seperti namanya, Gunuang Tigo terletak berderet dan berbaris serangkai berupa 3 gunung yang saling menopang dan berdekatan. Walaupun bentuk ketiga gunung tidak terlalu jauh berbeda, gunung ini mempunyai penamaan masing-masing. Dari segi ukuran, gunung ini tidak terlalu besar untuk dikatakan sebagai sebuah gunung, namun terlalu besar jika dikatakan sebagai sebuah bukit.

 

Asal-usul Penamaan Gunuang Nan Tigo

Gunuang Tigo memiliki nama di masing-masing gunungnya, dan setiap pemberian nama pada gunung tersebut juga menyimpan cerita yang dianggap magis dan diyakini benar adanya oleh masyarakat setempat dan dianggap sebagai salah satu kesakralan.

Gunuang yang pertama adalah gunuang yang berada di ujung kiri dari ketiga gunuang, dan dari ketiga gunuang, diketahui hanya gunuang inilah yang memiliki penghuni yang bermukim tetap, jika dilihat dari sisi nagari Tandikek, gunuang ini akan dijumpai pertama karena berdekatan dengan nagari Tandikek. Gunuang ini bernama Gunuang Parumahan. Tentunya  pemberian nama gunuang ini tak terlepas dari hal-hal yang dipercayai penduduk sekitar gunuang.

Di puncak Gunuang Parumahan ditemukan sebuah tempat tidur yang lengkap dengan bantal dan alas kasurnya yang terbuat full dari batu. Tempat tidur ini dilengkapi dengan kasur, tonggak (tiang penyangga) dan dipan seperti seolah-olah sebuah kamar, namun semua bahannya terbuat dari batu sungguhan, seolah sebuah kamar yang lengkap dengan fasilitasnya. Masyarakat setempat mempercayai bahwa dahulunya di sana terdapat sebuah kerajaan yang terpaksa berpindah karena merasa terganggu akan kedatangan manusia yang menetap di sekitar gunung. Diyakini juga kamar dan tempat tidur tersebut ialah milik seorang ‘Puti’ (Puteri/dewa/bidadari) yang telah pindah ke bulan dan meninggalkan bekas rumahnya karena merasa terganggu akan kehidupan manusia. Ketika Sang Puti pergi, maka semua perkakas rumah tersebut akan berubah menjadi batu, karena sang Puti tidak mau perkakasnya dipakai oleh manusia yang tinggal di sekitar area gunuang.  Sang puti diyakini pergi ke bulan dan menjadi penerang di bulan tersebut. Masyarakat sekitar percaya, ketika bulan purnama yang terang benderang, Puti berada di sana dengan cahaya yang menerangi mereka, dan cahaya itulah diri puti sendiri yang telah menyatu dengan bulan.  Dikabarkan pula, bahwasanya ketika puti terbang ke bulan, seluruh daerah yang tersapu oleh baju sang Puti dan dilewati oleh tubuh puti dikenal dengan nama Nagari ditampuah Puti diyakini akan memiliki keturunan anak gadis yang cantik-cantik. Karena rumah Puti inilah gunuang ini dikenal dengan gunuang parumahan (perumahan). Dan gunuang inilah satu-satunya gunuang yang memiliki penduduk, karena di 2 gunuang lagi tidak ada kehidupan masyarakat yang menetap, kecuali hanya berladang saja.

Di sekitar kamar Puti itu juga terdapat sebuah batang limau (jeruk) yang hanya dapat dilihat oleh orang yang memiliki kelainan (entah itu berupa penyakit atau ilmu pandai) yang tidak semua orang bisa melihatnya. Apabila kita bisa melihat pohon jeruk itu, maka diyakini kita adalah orang yang berpenyakit atau berilmu dan ada pantangan terhadap pohon itu. Konon kabarnya, buahnya amat manis, namun jika dibawa pulang, kita akan tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Penduduk setempat meyakini bahwa buah tersebut merupakan buah yang ditanam langsung oleh Puti, dan barang siapa yang memakannya, akan dibawa pindah ke bulan.

Gunuang yang kedua, gunuang yang berada di tengah-tengah kedua gunuang nan tigo ini diberi nama gunuang “Pila”  (pilar/tonggak penyangga). Dibalik penamaan gunung ini, ada sebuah misteri besar yang konon katanya hingga hari ini belum terpecahkan oleh masyarakat sekitar. Seperti namanya, di puncak gunung pila, ditemukan sebuah tonggak/tiang yang berbentuk kubus persegi, berukuran kira-kira 4 x 4 terbuat dari semen. Masyarakat sekitar mempercayai di bawah  terdapat bongkahan emas sebesar kuda yang disimpan oleh orang penjajah dahulu ketika perang kemerdekaan. Pila ini diyakini sebagai penanda tempat penyimpanan emas sebesar kuda itu agar ketika para penjajah kembali ke negeri ini, mereka bisa menikmati kekayaannya. Oleh penduduk sekitar, Pila pernah coba digali oleh 12 orang dengan menumbalkan 1 kambing terlebih dahulu sebagai persembahan. Namun nihil, kabarnya mereka pulang dengan tangan kosong dan malah menewaskan 2 orang di antara mereka. Hingga hari ini, menurut masyarakat sekitar, belum ada yang mengetahui secara pasti apakah emas tersebut masih ada atau sudah dicuri.

Gunung yang terakhir, yang berada di samping gunung pila ialah gunung “Tatabie”. Penamaan gunung ini berbeda dengan kedua gunung sebelumnya, jika gunuang Parumahan diberi nama demikian karena ditemukan Parumahan puti, dan gunuang pila ditemukan tonggak pila, namun di gunuang Tatabie, diberi nama demikian karena luasnya yang lebih panjang dari dua gunuang sebelumnya. Dalam bahasa masyarakat sekitar “Tabie” Atau dikenal dengan tabir yang berarti tirai/ dinding penyekat. Dalam kebiasaan masyarakat sekitar biasanya mereka menggunakan kain tabie ketika ada baralek (kondangan), dan tabie digambarkan sebagai tirai yang besar yang bisa menutupi dinding rumahnya. Oleh karena keluasan gunung ini melebihi dua gunung di sampingnya, maka gunuang ini dikenal dengan gunuang Tatabie.

 

Asal-usul Penamaan Kampuang Cumanak

Cumanak adalah sebuah desa atau kampuang yang berada di kaki gunung tigo, tepatnya di kaki Gunuang Parumahan. Masyarakat yang tinggal di sekitar gunuang Parumahan dahulunya sebelum tertimbun longsor dahsyat 2009 kala itu, menjadikan Cumanak sebagai daerah tempat berkumpulnya mereka, tempat bersawah karena tentu mereka tidak bisa bersawah di sekitar gunung yang tidak datar, dan juga dikarenakan akses dari Cumanak ke pasar lumayan dekat ditempuh dengan kaki dibanding dari gunuang.

Penamaan nagari Cumanak sendiri Mulanya, nagari Cumanak dikenal dengan nama kampuang Cubadak  (nangka). Karena dahulu, konon katanya banyak sekali ditemukan pohon nangka dan berbuah amat lebat di sana. Dikisahkan, ada salah seorang masyarakat Gunuang Tigo yang senang mengunjungi Cumanak. Setiap hari berkunjung ke Cumanak, namun ketika ditanya oleh temannya “dari ma uni?” orang tersebut selalu menjawab “dari cumanak” dikarenakan ia langiah (sumbing) yang mulanya Cubadak, karena tidak jelas mengucapkan konsonan M, malah dipelesetkan menjadi Cumanak.

Mulanya, penduduk sekitar memanggil sebutan Cumanak hanya sebagai bentuk lelucon, atau candaan, sesuatu yang dianggap lucu dan menggelikan bagi mereka, namun lama-kelamaan panggilan tersebut terus melekat pada Nagari Cumanak. Kampuang itu lama-kelamaan dikenal dengan Cumanak hingga hari ini, walaupun sekarang yang tersisa hanyalah puing-puing pasca gempa.

            Hingga hari ini setelah gempa melanda, menurut penelusuran beberapa tim tidak ada lagi kehidupan di Gunuang Tigo dan Desa Cumanak. Semuanya telah rata dengan tanah, seluruh warga yang selamat diungsikan dan dibuatkan sebuah perumahan. Dan di perumahan inilah cerita-cerita seputar Negeri Cumanak dan Gunuang Tigo masih tetap lestari di telinga dan ingatan masyarakat setempat. Inilah salah satu bukti pentingnya menjaga warisan budaya dalam bentuk apa pun, selain sebagai suatu ingatan kolektif masyarakat cerita-cerita seputar asal-usul ini juga sebagai sarana pengenalan sejarah suatu kaum kepada anak-cucu nantinya tentang asal-usul mereka. Negeri Cumanak dan Gunuang Tigo memang sudah hancur akibat longsor dan gempa maha dahsyat itu, namun ingatan-ingatan masyarakatnya tetap lestari lewat cerita dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat hingga hari ini.

 

Penulis :

Rosidatul Arifah, Mahasiswi Aktif Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya. Bergerak dalam di bidang sastra dan budaya, beberapa tulisannya telah tayang di media cetak dan platform digital. Bergiat di Labor Penulisan Kreatif Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Dapat dihubungi lewat email : rosidatularifah578@gmail.com. Instagram : rosidatul_arifah