Tidak Ada Sore di Rumahku

03/11/2021

 

 

Bagiku sore selalu menenangkan. Ada banyak pertanyaan di kepala yang hilang begitu saja ketika menikmati sore dengan segelas kopi dan sebatang rokok di tangan. Warna sepia dari matahari yang mulai tenggelam begitu syahdu dan candu untuk dinikmati. Setiap sore, aku selalu senang menikmati kekosongan pikiran. Benar-benar tidak memikirkan apa pun. Dunia ini, carut-marut sekali.

—Sore satu.

Warung Mang Ujang dan segala kesibukannya. Pukul tujuh belas lebih sedikit aku selalu ada di sana untuk duduk dan menikmati sore. Warung kopi ini dekat dengan kampus, tempat aku mengajar sebagai seorang dosen.

“Sore Mas Raiyan, pesan seperti biasanya?” sapa Ibu Ujang dengan ramah. Aku hanya menjawab iya dan duduk di meja yang menghadap ke jalan.

Warung ini sungguh ramah terhadap siapa pun pembelinya. Sering kali aku bertemu mahasiswa yang kebetulan diajar olehku. Dan dengan canggung mereka akan menyapa “Sore, Pak Raiyan” dengan senyum yang dibuat-buat itu.

Aku tak pernah merasa canggung berada di tempat ini. Meskipun kian kali aku bertemu dengan mahasiswaku. Bagiku tempat ini menjadi wadah yang mempertemukan semua orang. Siapa pun saling beramah-tamah tanpa terhalang perbedaan kasta. Aku sering kali berkata kepada mahasiswaku bahwa aku juga manusia, kita memiliki derajat yang sama di mata Tuhan. Tak peduli seberapa kaya dan bermartabatnya engkau di dunia, bagi Tuhan kita hanyalah hamba-Nya.

Secangkir kopi hitam yang airnya hanya setengah dan kepulnya masih menguap diletakkan di depanku. Ibu Ujang tersenyum ramah “Silakan diminum, Mas.” kemudian berlalu. Sebatang rokok mulai kubakar. Kopi dan rokok di sore hari membuat kepala ini lebih ringan.

“Sore, Pak Raiyan, boleh ikut duduk?” salah satu mahasiswa anggota teater menyapaku.

Aku menggeser gelas kopi, mempersilakannya untuk duduk. Selain menjadi dosen, aku juga menjadi penanggung jawab unit kegiatan mahasiswa—Teater Deras—setahun ini.

“Pak, mengenai pentas keliling di bulan November nanti rencananya kami akan…” mahasiswaku ini dengan semangatnya mengajakku berdiskusi. Jiwa muda memang selalu bersemangat. Aku tenggelam dalam obrolan yang ia mulai.

Menikmati sore di warung ini menjadi salah satu rutinitasku. Sebab tempat ini menjadi wadah segala pertemuan. Semacam takdir yang ditentukan Tuhan, bertemu dan berbincang. Aku lebih memilih pulang setelah matahari tenggelam, sebab aku tak pernah menemukan sore di rumahku.

—Sore dua.

“Banyak orang-orang pusing Fa.”

“Gapapa Re, rupa-rupa hidup kan?” Kamu tertawa, kemudian mengelus rambutku. Dan aku selalu senang saat kamu memperlakukanku seperti ini.

Di lain waktu aku berkata “Cape Fa.” dan dengan hangatnya kamu memelukku. Membiarkanku melepas penat di bahumu yang mungil. Seharusnya bahuku lebih kuat tapi aku selalu saja seperti ini bila di hadapanmu. Menjadi manusia lemah dan manja. Seperti bayi kecil yang sedih karena tak menemukan keberadaan Ibu di dekatnya.

Bukan hanya di setiap sore, kapan pun itu kamu selalu bisa menjawab pertanyaanku tentang ‘bagaimana.’ Membuatku sejenak menghentikan segala pikiran di kepala dan berjalan perlahan. Menikmati setiap langkah, bersamamu.

Di rumah ini, tepatnya di belakang rumahmu. Dengan kursi kayu dan meja kecil, juga sekulen-sekulen yang kau rawat dengan penuh kasih sayang menjadi tempat favoritku yang lain untuk menikmati sore. Tempat ini selalu sejuk dan hangat di saat yang bersamaan. Warna sepia masih bisa terlihat, tetapi matahari yang terbenam itu tak bisa terlihat dari sini. Tak jadi masalah, bagiku bersamamu sudah lebih dari cukup. Dan aku sangat bersyukur akan itu.

Sepiring kue kering dan segelas kopi kau letakkan di meja. Segelas teh juga kau letakkan di meja. Kamu selalu tahu, bahwa kopi menjadi bagian lain dari diriku dan kamu tak pernah mempermasalahkan itu. Oh, iya, tapi di tempat ini, aku tak pernah bisa menghisap rokok, barang sebatang pun. Aku takut itu akan melukaimu. Aku yang saat ini saja sudah sangat merepotkanmu, sungguh aku tak ingin melukaimu lebih dari ini. Kamu, adalah nada yang selalu kujaga agar selalu syahdu.

“Ada cerita apa sore ini, Re? Lama tidak menikmati sore bersama, pasti ada banyak cerita yang menarik.” kamu selalu membuka obrolan kita dengan cara seperti itu Fa.

Kemudian kita tenggelam dengan cerita dan tawa masing-masing. Kamu nona teh dan aku tuan kopi. Bersanding di meja yang sama, tanpa pernah berdebat tentang perbedaan itu.

Aku selalu bersyukur sebab Tuhan mempertemukanku denganmu Fa. Seseorang yang selalu mendengarkan segala kisah dan keluhku tentang dunia ini. Seseorang yang selalu menerimaku bagaimanapun itu. Kamu, Fa, selalu memanggilku dengan panggilan itu—Re—dan aku selalu menyukainya. Re terdengar seperti nada yang tak belum usai. Aku yang selalu senang berkelana, menjadi nada yang tak pernah usai.

Menikmati sore di tempat ini selalu menjadi bagian menyenangkan dalam hidupku. Rasanya aku seperti menanggalkan isi kepala di jalanan itu dan menemuimu dengan rindu yang bahagia. Fa, aku selalu ingin kamu menjadi wanitaku.

—Sore tiga.

“Kakak di rumah, kan?” tanya itu terlihat dari pesan yang dikirimkan adikku—Bimo. Aku jawab “iya” singkat saja.

Kamarku terasa pengap sekali. Seperti basement yang terkunci rapat tanpa udara. Suara ramai di luar terdengar. Teriakan dan benda-benda berjatuhan. Sekarang pukul tujuh belas lewat lima menit, sebenarnya aku tidak ingin berada di sini tapi sebaiknya aku di sini sebab bapak pulang. Rumah akan selalu ramai saat bapak pulang, dan aku perlu ada di sana untuk berada di samping ibu. Ibu yang tak pernah bisa melawan bapak. Dan aku serta Bimo yang jemu dengan tingkah bapak.

Suara benda pecah terbanting dan terdengar teriakan histeris, dengan panik aku keluar. Mendapati bapak dengan botol orang tua yang pecah dan ibu yang tergeletak dengan kepala penuh darah. Satu pukulan kulayangkan ke dagu bapak. Terjerembap bapak. Dengan gesit aku membopong ibu ke mobil, bergegas pergi dari sana.

Rasa waswas menghantuiku. Ada rasa khawatir dan rasa bersalah. Jika saja aku tidak menuruti kata-kata ibu untuk masuk ke kamar, mungkin ibu tak akan seperti ini. Kukendarai mobilku dengan kecepatan maksimum, menyalip sana-sini dengan tujuan sampai rumah sakit dengan cepat.

Rumah sakit begitu ramai. Segala riuh, kesibukan, dan akhirnya Ibu segera ditangani. Kemeja putihku terkena noda darah. Persetan dengan itu, pikiranku kalut. Mondar-mandir di ruang tunggu.

“Kak, Ibu bagaimana?” tanya Bimo cemas. Bimo yang saat itu sedang bersiap untuk ujian tesisnya segera menyusul ke rumah sakit. Persetan dengan ujian tesis esok hari, urusan ini lebih penting.

Ruang tunggu begitu menyesakkan. Bagiku rumah sakit selalu menyeramkan. Di sini, aku selalu dihantui perasaan akan kehilangan ibu karena bajingannya seorang bapak. Padahal seharusnya aku sadar bahwa bapak tak pernah berubah, sejak aku kecil akan selalu seperti itu sampai aku dewasa. Keegoisanku meninggalkan rumah dan meninggalkan ibu sendirian membuat ia menjadi samsak bagi bapak. Ini bukan pertama kalinya ibu masuk rumah sakit karena ulah bapak. Dulu aku tidak tahu apa yang terjadi pada ibu karena aku hidup merantau untuk menuntaskan studiku, baru setahun belakangan ini aku bisa berada di dekat ibu. Aku kerap kali enggan menikmati sore di rumah, sebab setiap sore ibu selalu saja memaafkan segala tindak jahat bapak. Dan bapak selalu saja berperilaku layaknya bajingan. Aku muak dengan tingkah mereka berdua. Aku tak pernah bisa menemukan sore di rumah.

“Rian, kamu ke kamar saja ya. Biar Ibu yang selesaikan urusan ini dengan Bapak.” Ibu memegang pundakku. Rian. Ibu selalu memanggilku dengan panggilan itu. Membanggakanku dengan nama itu. Ibu selalu memanggilku dengan penuh kasih. “Rian anak kesayangan Ibu, sudah makan belum? Ibu masak ayam rica-rica.” Lalu senyum yang menyimpan banyak kepedihan itu selalu terlukis di wajahnya. Selalu begitu, setiap kali lepas magrib aku pulang dan membuka pintu rumah. Mungkin ibu sadar atau mungkin juga tidak, tentang mengapa aku selalu pulang setelah matahari tenggelam.

Sore ini, ibu akhirnya berani untuk mengambil keputusan menggugat bapak atas tindakan KDRT dan meminta cerai. Semua itu atas segala tuntutan yang aku dan Bimo layangkan kepada ibu.

Aku yang begitu naif bahwa urusan ini akan mudah, meninggalkan ibu dengan suara teriakan dan benda-benda yang terbanting di ruang tengah. Aku dengan naifnya menganggap ini kan usai dengan mulusnya. Aku, seharusnya tahu bahwa bapak tak akan pernah menjadi manusia. Ia monster brutal yang menjelma menjadi sosok bapak. Bertopeng dan menjadi bapak paling baik sedunia. Aku harusnya tahu bahwa urusan ini akan kapiran sekali. Aku terlalu bodoh.

Dokter keluar dari ruang operasi. Jubah hijau itu masih ia kenakan. Kalimat-kalimat berseliweran, berlalu saja dalam kepalaku. Mati otak. Aku geming. Bimo sibuk menelepon, melapor dengan tergesa. Sepertinya ia sedang menelepon polisi atau semacamnya. Aku masih mematung. Kamu memelukku, air mata ini mengalir begitu saja dari mataku.

“Bagaimana ini, Fa? Tidak pernah ada sore di rumahku.”

Kamu, memelukku erat. Aku, terisak di bahu mungilmu.

***

 

Cirebon, 22 September 2021

 

 

Arifatul Hikmah, lahir di Cirebon 23 Oktober 1999. Nomor Hp/WA: 082115582537. Instagram @arifahrima.