Sepeda Kecil untuk Nina

14/10/2021

 

Sebuah kardus besar tergeletak begitu saja di depan sebuah rumah. Berbungkus kertas kado dan pita yang diikat merah. Terpintal membentuk sayap kupu-kupu yang indah.


Pagi hari itu di saat musim hujan tiba.
----

Nina semalam merengek meminta ibunya untuk membelikan sebuah sepeda. Tidak lantas membuat ia menyerah meski sang ibu benar-benar tidak mempunyai uang sedikit pun.

"Nina maunya sepeda!" Nina, anak berusia enam tahun itu duduk merajuk di sudut meja. Menghindari orang tuanya. Tidak mau makan.

Sang ibu menyentuh tangannya pelan-pelan. Membelainya penuh rasa sayang. "Sedikit saja, Nak, makan dulu, nanti tubuhmu sakit."

"Enggak mau, Nina pengennya sepeda!" Nina masih bersikukuh dengan niat semalam. "Teman-teman di TK pada pakai sepeda kalau sekolah."

"Nina kan bisa pinjam dulu, cuma sebentar, boleh, kan?"

"Nina mau punya sendiri. Ga mau pinjam barang orang, malu!" Nina persis karakter ayahnya.

Sang ibu menyendok sayur dan mencoba menyuapinya. Seolah arang panas, secepat kilat Nina menepis tangan ibunya, sangat keras. Seketika makanan jatuh berhamburan. Namun sang ibu menahan diri.

"Nina kan udah bilang, maunya sepeda!" Anak perempuan kesayangan ayahnya itu berkata dengan menaikkan suaranya. Pecah tangisnya.

Sang ibu memunguti satu persatu nasi yang berjatuhan di lantai. Nina melihat sang ibu tidak marah. Tapi hatinya sudah terlanjur terisi dengan sepeda. Barang yang pasti akan segera dibelikan oleh sang Ayah. Tapi di manakah sang ayah berada?

••••

"Ibu yakin?"

"Apakah Ibu yakin mau menggadaikannya?" Lagi-lagi petugas meyakinkan sang ibu pada kalung yang hendak ia berikan. Sang ibu mengangguk. Pelan sekali. Ada setengah keengganan. Tapi ia pasrah, jika demikian jalannya.

"Baiklah kalau begitu, kita lihat dulu berapa harga yang bisa saya berikan. Sebentar." Petugas mengecek kalungnya.

"Cuma segini yang bisa kami berikan, bagaimana, Bu?" Uang lima lembar seratus ribuan, disimpan di tangan ibu muda itu. Tak bisa menolak, sang ibu terpaksa mengangguk.

•••

Sang ibu pergi ke toko sepeda dan mencari barang yang cukup dengan uang miliknya. Ketemu. Tapi harganya cukup tinggi. Ini bisa menghabiskan uang hasil gadai kalungnya.

"Bagaimana, Bu, jadi beli sepedanya?" Penjual kembali meyakinkan sang ibu. "Barang yang dibeli tidak bisa ditukar lagi."

Sang ibu terpaksa mengangguk. Demi Nina anak semata wayangnya. Jadilah ia membeli sepeda. Dan dibawanya masuk ke angkutan umum.

Jika ada yang bertanya, ia menjawab `hadiah untuk anaknya` pada setiap orang. Ia dorong dari jalanan angkutan hingga rumah. Keringat bercucuran, tapi wajahnya begitu gembira.
-----

Sesampainya di pekarangan rumah, Nina terlihat gembira. Tidak ada kesedihan sedikit pun di wajahnya. Nyanyian pagi itu membuat tubuh lelah sang ibu tenang. Mungkin Nina sudah menebak apa yang sedang dibawanya.

Tapi, ia keliru.

Nina memeluk seorang pria yang membawakan sepeda yang lebih bagus. Sepeda yang lebih mahal. Nina sangat senang, sampai ia mencobanya di pekarangan.

"Ibu, Ayah pulang. Aku dapat sepeda!" Nina menggenjot sepedanya kegirangan. Berkeliling pekarangan sambil bersenandung.

Sang ibu yang mendorong sepeda dari jalan utama, tergetar melihat sosok pria mantan suami yang datang mendekat.

•••

"Aku kira sudah jelas, Nina harus ikut denganku. Aku bisa memberikan apa saja untuknya!" Lelaki itu mengajak Nina pergi ke dalam mobil.

Sang ibu menatapnya dari jauh; dalam hati ia berteriak. Tak kuasa menahan duka dan kehilangan anak.
--

 

Agus Sutisna, Staf Akademik STT YBSI Tasikmalaya. Penyuka dunia literasi, dunia digital, dan dunia pendidikan. Karya pertamanya terbit di Langgam Pustaka dalam kumpulan fiksi mini "Sebotol Kecil Racun’" bersama teman-teman penulis lainnya. Dan buku cerpen solo pertama pun diterbitkan di Langgam Pustaka, yaitu "Makhluk Utusan" dan novel "Murid Pindahan" yang baru diterbitkan.