Rara Oyi

08/03/2023

Udara dingin menyeruak masuk ke bilik kamar yang pintunya baru saja dibuka oleh dayang-dayang. Bulan tampak samar oleh kabut yang tengah menyusuri kegelapan langit malam. Perempuan dengan lesung pipit itu sejenak berhenti di depan pintu, berharap bahwasannya fajar tidak akan segera menunjukkan dirinya di langit yang mulai temaram.

Sepasang kuda yang menarik kereta kencana telah siap di hadapan kamarnya. Ia segera saja beranjak, menuruni setapak tangga batu pualam dengan menjijitkan kaki karena rasa dingin yang tak dapat tertahankan.

Kusir kuda telah berdiri dan mempersilakannya untuk segera naik ke kereta kencana. Ia lantas kembali berhenti berjalan dan menatap tajam kusir kuda itu.

Kita harus segera pergi!” Ucapan kusir kuda itu sungguh mengusik hatinya.

Pergi? Bukankah aku telah melakukan itu selama ini dengan meninggalkan keluarga dan orang-orang terkasih, gumamnya dalam hati.

Ia menghela nafas dan langsung masuk ke dalam kereta kencana. Apa yang dapat diperbuat oleh seorang perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi suri dan pemuas birahi raja yang agung? umpatan itu ia pendam sedalam mungkin dalam hatinya.

Tentu ia masih ingat sekitar satu windu lalu, sebuah hari jahanam dalam hidupnya. Ketika panen raya ikan yang membuat bocah-bocah berbondong menyusuri Kali Mas memperebutkan jumlah tangkapan. Suara gelak tawa dari orang-orang yang berhasil memanen tangkapan ikan- ikan menggema sepanjang hari, hasilnya jauh lebih baik dari tahun lalu.

Rara Oyi yang masih bocah berlari bersama teman-temannya menyusur sungai mengikuti perahu-perahu nelayan yang sesekali memberikan mereka ikan hasil tangkapannya. Di antara gelak tawa itu, Rara Oyi tidak akan pernah mengira bahwa dirinya tengah diintai oleh sepasang serigala di seberang sungai.

“Kau lihat gadis kecil itu Nayatruna?” ucap Yudhakarti sambil menunjuk Rara Oyi yang berada di seberang sungai.

“Kamu punya pikiran tidak? Dia kan masih bocah, mana mau tuan kita menerima gadis yang masih ingusan seperti itu?”

Yudhakarti terdiam sejenak, “Tapi coba pikirkan lagi. Kita sudah berkeliling hampir satu gerhana lamanya. Lalu baru kali ini aku menemukan seorang gadis kecil dengan paras yang begitu menawan.

“Kalau dilihat secara seksama, gadis kecil itu mirip dengan permaisuri kan?” imbuh Yudhakarti dengan nada yang begitu meyakinkan.

Nayaturna mengernyitkan dahi dan mengamati—dilihat secara sekilas memang gadis kecil itu masih ingusandengan teliti si gadis, “Tapi benar juga katamu, di antara semua perempuan yang kita temui dia yang paling menawan dan mirip permaisuri.”

Mereka lantas saling menatap satu sama lain dengan penuh keyakinan, “Baik kita harus membawanya menghadap Baginda Raja bagaimanapun caranya,” tegas Nayatruna yang begitu percaya diri.

***

Wirareja tidak dapat memperlihatkan wajahnya ketika Amangkurat menatapnya dengan tatapan bengis bercampur dengan amarah. Ia tak kuasa menentang tatapan yang seolah menghunuskan keris yang kapan saja dapat menikam dirinya. Ia sudah limbung di hadapan kekuasaan raja yang dikenal dengan kebengisannya. Lantas dengan rasa putus asa, ia mengatakan keteledorannya menjaga Rara Oyi.

“Apa maksudmu Wirareja?” Mata itu semakin nanar menatap Wirareja yang tersimpuh tak berdaya. Sebilah keris dijulurkan di kepala yang tersimpuh, “apa maksudmu Wirareja?” Amangkurat begitu lantang mengulangi pertanyaannya.

Ujung keris itu tidak berjarak lebih dari satu jari kelingking dari leher Wirareja. Kepalanya kini tegap menghadap Amangkurat yang berdiri dan tengah siap menikam.

“Rara Oyi telah diculik.”

Belum sempat mulut Wirareja terkatup lantas Amangkurat tanpa membuang tempo menyambarnya dengan satu ayunan keris yang menggorok leher. Darah kental membanjiri lantai pendopo. Bau anyir menyerbak membuat seluruh orang merasakan mual yang tak tertahankan.

Semuanya hanya dapat diam melihat kebengisan Amangkurat. Satu tubuh tanpa nyawa jatuh ke lantai seolah menjadi saksi pilu betapa raja mereka tidak pernah mempunyai iba. Darah masih menetes pada keris yang diacungkan oleh Amangkurat.

“Siapa yang tidak suka dengan perbuatanku, segera angkat senjata kalian dan hadapilah aku!

Semuanya terdiam menghadapi sosok raja yang berubah menjadi tiran karena cinta.

“Jika kalian tidak ingin mengangkat senjata, maka katakan atas perintah siapa Rara Oyi dapat pergi dari tempat ini?”

Dengan nada yang gugup salah seorang perwira menjawab, “Atas perintah dari Adipati Anom tuan.”

“Anak anjing!!! Segera tangkap Adipati Anom dan siapa pun yang telah membuat Rara Oyi dapat pergi. Satu hal lagi, dapatkan Rara Oyi dalam kondisi hidup bagaimanapun caranya!

Setelah mengucapkan titah itu, sang raja dengan penuh amarah menyambar kudanya dan segera menghilang dari pendopo.

***

Bagaimanapun ia tak akan pernah melupakan malam di mana secara sadar masuk dalam kamar Rara Oyi. Itu terjadi satu purnama yang lalu, ketika cintanya yang secara diam-diam kepada Rara Oyi tak dapat dibendung oleh akal pikirannya yang selalu menyangkal gadis pujaannya itu dimiliki oleh Amangkurat.

Rara Oyi tahu bahwa Adipati Anom terpikat oleh dirinya secara diam-diam. Begitu pula Adipati Anom yang mengetahui bahwa Rara Oyi juga menambatkan hati untuknya seorang. Cinta mereka terhalang Amangkurat seorang, tapi seorang raja pun tak dapat menahan birahi seekor anjing di musim kawin.

Mengetahui setiap malam dari balik celah jendela ia diintip oleh Adipati Anom, malam itu Rara Oyi sengaja menanggalkan kebayanya. Tubuhnya bukan lagi seperti seorang bocah ingusan yang diseret ke hadapan Amangkurat oleh Yudhakarti dan Nayaturna, tapi ia sudah menjadi perempuan menyerupai keindahan bunga teratai yang baru saja mekar. Tampak begitu indah walau sekedar dipandang.

Rara Oyi melirik ke arah jendela, Adipati Anom masih di balik jendela dengan ketenangan seorang pertapa. Kemudian ia melepas sanggulnya, menggerai rambutnya yang jauh lebih beraroma dari daun melati. Dadanya mencuat dari balik sibakan rambutnya yang bergelombang.

Dengan rasa penasaran keajaiban apa lagi yang akan terjadi, Adipati Anom membuka daun jendela sedikit lebih lebar. Suara daun jendela terbuka tak mengagetkan Rara Oyi yang hanya berbalik dan mengangguk penuh tatapan menggoda. Dalam pikiran Adipati Anom dihiasi sihir tubuh perempuan yang membuatnya tunduk lalu masuk melalui jendela dengan penuh kesadaran.

“Aku telah menunggumu cukup lama,” ucap Rara Oyi.

Malam percumbuan yang tak dapat dilupakan oleh Adipati Anom kini berubah menjadi malam peraduan. Perempuan yang telah menyihirnya dalam satu gejolak membuatnya menentang Amangkurat. Ia ingin mempunyai Rara Oyi seorang diri tanpa membagi kepada siapa pun, seperti Rara Oyi yang mungkin berpikir demikian. Bukankah cinta memang buta, pikir Adipati Anom saat membujuk Rara Oyi untuk melarikan diri dari cengkeraman Amangkurat.

“Kau telah gagal tuan, sebagaimana aku delapan tahun lalu yang gagal lepas menjadi tawanan. Pun sepertinya akan sama saja pelarian ini, Amangkurat atau dirimu perempuan sepertiku akan tetap dijadikan tawanan berahi para raja,” ucap Rara Oyi melepas keheningan.

Amangkurat berdiri di belakang Adipati Anom setelah melemparkan kerisnya sambil membusungkan dadanya dalam kemenangan karena memperoleh tangkapan besar. Adipati Anom hanya dapat mematung menghadap kengerian yang berjarak sejengkal dari tangannya. “Bunuh dia atau kau yang akan kubunuh!” ucap Amangkurat mengulangi perintahnya.

Dari balik keremangan barisan pasukan yang berhasil membunuh pangeran Pekik beserta puluhan pengikut yang merencanakan pelarian Adipati Anom dan Rara Oyi berdiri dalam kesigapan menantikan hukuman menghujam sang gadis.

“Lihatlah mereka menunggu kematian yang bahkan hampa dari seorang perempuan semacam diriku!” ucap Rara Oyi yang duduk tersimpuh dengan dua ikatan yang melilit di tangannya.

“Kalian tau ini hukuman yang aneh, karena tak seorang pun raja menerima sisa tubuh dari perempuan yang telah dicicipi bahkan oleh putranya sendiri!” teriak Rara Oyi. Amangkurat tak bergeming, atas dasar apa pun ucapan Rara Oyi 

“Apakah memang perempuan hidupnya hanya berkalang pada lelaki? Hei! Amangkurat telingamu sepertinya tersumpal. Kau jauh lebih menyerupai anjing birahi di musim kawin!

Tangan Adipati Anom langsung menyambar keris yang dilemparkan Amangkurat, meski hatinya terus bergeming tapi sejauh apa pun kematian Rara Oyi tak terhindarkan. Rara Oyi memejamkan matanya, mengharapkan kematian yang tak sebegitu menyakitkan dari hidupnya.

Keris itu menancap di dada Rara Oyi membuat jiwanya terlihat membumbung terbang ke langit. Menggemparkan prajurit-prajurit yang dalam diam tengah menunggu kematian Rara Oyi.

“Maka bersambutlah kutuk dari perempuan hina ini, darah harus dibalas oleh darah Amangkurat,” ucap jiwa itu yang lantas melesat menuju langit ke tujuh, moksa.

 

 

Fajar Satriyo, alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga 2018 yang tergerak dalam bidang kepenulisan sastra baik puisi maupun cerpen.