Pulang

10/12/2021

 

 

Sesibuk apa pun, sejauh ke mana pun pergi, keluarga adalah tempat engkau pulang.

 

Pekan terakhir kuliah suasana kampus mulai tampak sepi, gedung-gedung terlihat lengang. Mahasiswa yang datang hanya untuk keperluan Ujian Akhir Semester atau mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Di ruang perpustakaan, sekelompok mahasiswa masih terlihat belajar bersama, saling berdiskusi untuk menyelesaikan tugas mata kuliah. Nira, mahasiswi Jurnalistik tingkat akhir, juga masih sibuk menyusun materi usulan naskah skripsi. Beberapa usulan judul skripsi usulan Nira sebelumnya ditolak.

Gadis itu terpaksa memutar otak mencari strategi baru agar dosen pembimbing menerima usulan judul skripsi yang sudah ia rancang sejak minggu lalu. Ia bangun lebih awal lalu pergi ke perpustakaan pagi-pagi sekali. Rencana mudik sudah ia susun sedemikian rupa agar dapat terlaksana sehabis bimbingan.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya doa dan harapan Nira terwujud. Dosen pembimbing menerima usulan judul skripsi membuat hati gadis itu senang bukan kepalang. Sosok kedua orang tua makin terbayang di pelupuk mata, sudah berbulan-bulan tak bertemu, rasa kangen Nira pada kedua orang tuanya seakan tak bisa lagi ditawar-tawar.

Dering telepon berbunyi, sebuah notifikasi pesan masuk dari ibunda membuat Nira tersenyum semringah. Sang ibu ingin memastikan jadwal pasti kepulangan gadis itu dan berniat menjemputnya di terminal bus Pangandaran. Rasa rindu kian menggebu. Sebelum menuju terminal, Nira menyempatkan diri terlebih dahulu menyambangi toko oleh-oleh yang berada tak jauh dari kawasan terminal bus Cicaheum, Bandung.

Suasana di kawasan terminal cukup ramai. Para calon penumpang bergegas hilir mudik menuju bus tujuan kota masing-masing membawa berbagai macam barang bawaan. Kondektur bus melemparkan senyum ketika mereka berpapasan. Nira kebagian duduk di jok belakang, sementara kursi jok bagian depan sudah terisi oleh rombongan mahasiswa yang kelihatannya hendak berlibur ke daerah tempat asal kelahiran Nira, Pangandaran. 

Seorang perempuan muda berambut pendek, beralis tebal, dengan pipi merah merona memakai topi pantai berpita kuning ditemani seorang teman menenteng sebuah gitar. Mereka tampak siap untuk bersenang-senang. Diiringi petikan gitar, perempuan itu lantas bernyanyi dengan merdu membuat seorang pengamen urung menaiki bus. Seorang gadis kecil tampak malu-malu mulai ikut bernyanyi dan bergoyang. Keceriaan para penumpang semakin terasa ketika bus mulai bergerak memulai perjalanan. 

Meski jarak Bandung – Pangandaran cukup jauh tapi tetap terasa mengasyikkan. Melewati serangkaian pemandangan alam seperti pegunungan, hutan, bukit dan lembah, juga melintasi kota-kota kecil seperti Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, dan Banjarsari. Cuaca cerah, awan-awan putih berarak membingkai langit biru. Ah, senang rasanya bisa kembali pulang, ujar Nira bergumam.

Tak berapa lama, sebutir pil antimo membuat Nira terlena dalam buaian mimpi. Mimpi berada di pesisir pantai yang biru dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Nira tidak sendiri. Ia bersama kedua orang tuanya tengah berpiknik, menggelar tikar di atas pasir putih yang lembut. Mereka lalu berjalan-jalan di pinggir pantai Pangandaran, memandang ke arah laut biru, sambil tersenyum dan tertawa bahagia.

Rasa rindu membuat Nira memeluk sang ibu. Pelukan itu terasa hangat. Wangi khas tubuh ibu selalu membuat Nira tenang. Deburan ombak seakan terasa nyata. Tiba-tiba seseorang tertawa amat keras membuat mahasiswi berambut panjang itu terjaga. Rupanya hari telah beranjak senja.

Dalam benak Nira masih terbayang mimpi bertemu ibu, ketika lambat laun akhirnya ia menyadari perjalanan yang tadinya terasa normal mulai terasa janggal. Awan gelap menyelimuti Langit biru berubah mendung kelam. Dari balik kaca jendela bus, orang-orang tampak berlari ketakutan. Deretan kendaraan yang melaju dari arah berlawanan terlihat dipacu dalam kecepatan tinggi. Sopir menekan klakson nyaring saling. Hampir bertabrakan. Kendaraan itu terlihat sama-sama ngebut, saling menyalip dari kiri dan kanan. 

Seorang pesepeda motor terlihat mengangkut tas besar dan sebuah kasur! Disusul pesepeda motor lain di belakangnya membonceng seekor kambing meringkik nyaring. Anak-anak berteriak dan menangis berada di atas mobil pick up. Dari balik jendela bus yang kini bergerak lamban, Nira mendengar teriakan seorang pengendara motor berkata, “Balik arah! Balik arah! Tsunami! Tsunami! Tsunami!”  

Sontak para penumpang di dalam bus panik. Nira mendengar suara teriakan penumpang menangis histeris, menjerit-jerit. Perempuan muda itu meraung-raung meminta sopir agar kembali berbalik memutar arah. Situasi yang awalnya terasa begitu hangat, ceria, berubah drastis menjadi mencekam.

Kendaraan terlihat banyak berseliweran. Rumah-rumah dibiarkan kosong dengan pintu terbuka. Warga sekitar pergi membawa perlengkapan seadanya bahkan hanya baju yang menempel di badan. Kalut dan bingung. Bus akhirnya berhenti. Sang sopir yang terlihat syok langsung turun ke jalan berusaha mendekati orang-orang yang sibuk menyelamatkan diri.

Sementara ketegangan di dalam bus kian memuncak, tangisan perempuan itu semakin menjadi-jadi. Penumpang lain mulai kehilangan kesabaran, satu persatu mulai saling berteriak dan memaki hingga nyaris terjadi baku hantam. Kondektur bus berusaha melerai, meredam amarah yang kian tak terbendung. 

Salah seorang penumpang kemudian mencoba mengambil alih kemudi, tapi usahanya gagal. Sang sopir langsung mengambil tindakan. Ia lantas segera masuk kembali ke dalam bus, duduk di kursi jok lalu menyalakan mesin. Bus perlahan bergerak memutar arah balik lalu perlahan menghilang dari pandangan. 

** 

Bumi terasa bergetar. Suara gemuruh samudera menggema dari balik sana. Aroma khas angin laut bercampur garam. Menempel menembus rongga hidung gadis itu. Pohon-pohon bergoyang nyaris tumbang, dahan-dahannya saling beradu. Seorang ibu berlari mengendong bayinya yang menangis, anak-anaknya yang lain mengikutinya dari belakang. Kakek tua berjalan terpincang-pincang, tongkatnya hilang terbawa angin. Sehelai kain pakaian mendarat di permukaan wajah seorang pengemudi motor membuatnya oleng. 

Kabut pun perlahan mulai turun. Namun kedua kaki si gadis terus bergerak mengikuti bayang-bayang samar dua sosok yang ia rindukan. Dalam benaknya, mereka bertiga menyusuri pantai menyaksikan keindahan matahari terbenam. Indahnya masa kecil bermain pasir di pantai dekat rumah. Selama ini yang ia tahu, laut tidak pernah menyakitkan. Setengah berbisik, pelan-pelan mulut Nira bergumam; Bapak… Ibu… Nira pulang… Ibu pasti tengah menunggu kepulanganku. Apa pun yang terjadi, aku pasti datang. 

 

 

*Mengenang 15 tahun Tsunami Pangandaran 

2006-2021

 

Widya Yustina seorang penulis lepas berasal dari Cimindi, Pangandaran. Menyelesaikan studi Ilmu Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hobinya nonton dan jalan-jalan pinggir pantai. Bisa dihubungi melalui email widyayustina@gmail.com atau 081220019800. IG @dyadiary.