Perhitungan Pencuri

22/01/2022

 

Nahas. Keberuntungan tidak lagi berpihak pada Maman dan Miran belakangan waktu. Laki-laki yang sama-sama beranak satu itu memang senantiasa menang judi sabung ayam pada masa dahulu, tetapi kini mereka acap kali kalah. Akibatnya, uang dan barang-barang yang mereka dapatkan dari aktivitas berjudi itu, perlahan habis setelah kembali mereka pertaruhkan hanya untuk mendulang kekalahan yang berkepanjangan.

 

Namun judi memang perkara yang candu. Meski mereka telah merugi karena kalah secara terus-menerus, mereka tetap bersemangat nimbrung mengadu nasib dengan ayam-ayam. Mereka tak kunjung jera untuk mengharapkan kemenangan pada pertaruhan selanjutnya. Begitu terus, sampai mereka menderita kerugian yang makin besar. Sampai mereka terpaksa menggunakan uang tabungan yang semestinya untuk keperluan yang lebih primer. 

 

Untuk menghentikan tren kekalahan, mereka pun mulai mencari akar permasalahannya. Kemarin, ketika hari sudah sore, setelah mereka kembali kalah di medan persambungan, mereka lalu mendiskusikan langkah tepat untuk mengubah nasib mereka. Hingga akhirnya, mereka sama-sama menengarai bahwa ayam aduan mereka memang tak bisa lagi diandalkan. Karena itu, mereka lantas berencana untuk membeli ayam petarung yang lebih andal. 

 

"Tetapi bagaimana, ya? Ayam aduan sekarang harganya sangat mahal, dan aku tak punya persediaan uang untuk itu," keluh Maman, di tengah perjalanan pulang mereka. 

 

Miran pun mendengkus lesu. "Aku juga begitu. Hasil yang kudapatkan dari persabungan sudah habis. Kalau terus menggunakan uang tabunganku dari hasil mengojek, aku takut pemenuhan kebutuhan keluargaku terganggu. Istriku bisa curiga, dan itu berbahaya."

 

Hingga akhirnya, langkah Maman tiba-tiba terhenti setelah menemukan sebuah solusi. "Bagaimana kalau kita mencari ongkosnya di atas situ?" tanyanya, sambil menuding sebuah rumah yang berada di ujung deretan perumahan dan berjarak dari rumah warga yang lain, yang merupakan rumah milik Rasim, imam dusun mereka yang berusia kepala enam.

 

"Maksudmu, kita mencuri?" tanya Miran, meminta penegasan.

 

Maman mengangguk. "Aku yakin, di atas masih tersimpan banyak cengkih kering."

 

Miran tampak bimbang.

 

"Hasilnya akan kita bagi dua," tawar Maman.

 

"Apa kau berani?"

 

"Iyalah. Apa yang ditakutkan. Kau tahu sendiri kalau si tua itu hanya tinggal sendiri di rumahnya, dan kau tahu pula kalau dua hari yang lalu ia pergi dan tinggal di rumah anaknya di kota. Jadi, pasti aman," balas Maman. 

 

"Bagaimana kalau ia tiba-tiba datang? Atau bagaimana kalau ada orang yang memergoki aksi kita?" tanya Miran atas kekhawatirannya.

 

Maman lantas tergelak pendek. "Itulah sebabnya kita harus melakukannya berdua.” Ia lantas menepuk-nepuk punggung kawannya tersebut, kemudian menuturkan strateginya, "Jadi, biar aku yang masuk. Tugasmu cukup mengawasi keadaan di sekitar sini. Kalau ada orang yang datang atau melintas, entah si tua itu atau siapa pun, kau harus mengalihkan perhatiannya, sampai aku berhasil lolos. Bagaimana? Oke?"

 

"Tetapi bagaimana kalau si tua itu kemudian pulang dan menemukan bahwa cengkihnya telah hilang dicuri? Bisa-bisa ia lapor ke polisi dan penyelidikan dilakukan. Bisa-bisa kita ditangkap dan dipenjara," sergah Miran. Tampak masih ragu-ragu.

 

Maman lalu tersenyum lebar. "Nah, karena itulah, aku akan mengambil beberapa sendokan saja dari karung per karung cengkih itu, sampai terkumpul jumlah yang kira-kira senilai dengan keperluan kita. Dengan begitu, ia tidak akan bisa membaca kalau jumlah cengkihnya telah berkurang," urainya, lantas mengedut-ngedutkan alisnya. "Bagaimana? Oke?"

 

Miran pun mengangguk paham. Tetapi keberaniannya belum juga bangkit. Ia malah kembali melontarkan pertanyaan berdasarkan nuraninya, "Tetapi, apa kau tidak merasa bersalah? Maksudku, kita memang penjudi, tetapi kita bukanlah pencuri."

 

Seketika, Maman menggeleng-geleng dongkol. "Apa bedanya mencuri dengan berjudi, he? Lagi pula, kukira, bekal untuk berjudi akan lebih baik jika didapatkan dari hasil mencuri. Akan lebih manjur untuk mendapatkan kemenangan."

 

Akhirnya, Miran mengangguk dengan raut wajah yang datar. 

 

"Sudahlah. Jangan banyak pikir. Situasi sekarang sudah sangat mendukung. Ayo kita laksanakan," desak Maman. 

 

"Baiklah," pungkas Miran, bersepakat.

 

Tanpa menunda lagi, mereka pun mulai melaksanakan tugas mereka masing-masing. Tak butuh waktu lama, aksi mereka selesai dengan sukses. Mereka berhasil membawa kabur setengah karung cengkih dari atas rumah sang imam dusun. Hasil curian itu kemudian dibawa dan diamankan oleh Miran untuk sementara waktu, sebab ia tengah sendiri di rumahnya setelah istri dan anaknya pulang ke kampung halamannya.

 

Namun saat malam tiba, Maman kembali waswas. Ia takut kalau-kalau aksinya ketahuan sang imam. Apalagi, pada waktu magrib, ia mendengar sendiri suara sang imam dusun yang kembali mengimami para jemaah. Tetapi ia berusaha menepis prasangkanya tersebut. Bagaimanapun, Miran telah memantau keadaan saat pencurian berlangsung, dan kawannya itu mengaku tidak melihat kehadiran sang imam atau siapa pun. 

 

Akhirnya, hari ini, di tengah perasaannya yang mulai tenang selepas tidur malam yang nyenyak, Maman berangkat ke pasar, beriringan dengan Miran. Setelah sampai, cengkih tersebut mereka jual pada seorang pedagang, dan hasilnya mereka bagi rata. Sesaat kemudian, mereka lantas berangkat ke lapak seorang penjual ayam jago yang kabarnya memiliki koleksi ayam yang andal untuk disabung, hingga mereka berhasil mendapatkan ayam jago pilihan mereka masing-masing. 

 

Tetapi, setelah pembelian ayam itu, Maman sedikit iri, sebab ia membeli ayam sabungan yang tampaknya tidak sebaik ayam belian Miran. Sebagai seseorang yang sudah berpengalaman, Maman tahu betul bahwa dari segi perawakan, ayam Miran memiliki kemampuan bertarung yang lebih baik. Tetapi, apa mau dikata, Maman memang tak punya uang tambahan di luar dari uang bagian penjualan cengkih untuk membeli ayam aduan yang lebih baik, sedangkan Miran sebaliknya. 

 

Tetapi Maman tak ingin berkecil hati. Ia merasa masih punya harapan dan peluang untuk memperbaiki rekornya. Dengan ayam beliannya tersebut, ia yakin bisa memenangkan laga-laga. Apalagi, kemenangan ayam di medan persabungan, menurutnya lebih dipengaruhi oleh pola pemeliharaan dan pelatihan. Karena itu, ia bertekad memberikan perlakuan khusus kepada ayamnya itu agar bisa mengalahkan ayam para pengadu yang lain, termasuk ayam Miran.

 

Berbekal pemikiran itu, Maman lantas pulang dengan cita-cita yang besar dan angan-angan yang indah. Ia ingin kembali menjadi pesabung jagoan, dan ia yakin bisa mewujudkannya. Tetapi khayalannya seketika buyar setelah ia menyaksikan keberadaan Rasim, sang imam dusun, yang tampak duduk di tepi jalan dengan sekeranjang belanjaannya, seolah menunggu tumpangan untuk pulang.

 

Atas rasa bersalahnya, Maman pun mencoba cuek. Tetapi lelaki tua itu malah menyahutinya sembari melambaikan tangan untuk menahannya. Akhirnya, dengan rasa terpaksa, ia pun menghentikan sepeda motornya, lantas memboncengkan sang imam. Tak pelak, sepanjang perjalanan, ia pun jadi mati kutu. Karena itu, ia memilih diam saja dan sekadar menanggapi jika sang imam melontarkan pertanyaan. 

 

Sampai akhirnya, di tengah perjalanan, sang imam menyinggung perkara rahasianya, "Kok beli ayam jago lagi, Pak? Bukankah Bapak sudah punya beberapa ayam jago?"

 

Seketika, Maman berpikir keras untuk meramu kilahan, dan akhirnya menjawab, "Ya, untuk keperluan perkawinan saja. Kukira, makin banyak ayam jantan, makin baik pula perkawinan dan perkembangbiakan ayam peliharaanku."

 

Sang imam pun tertawa pendek. "Ya, semestinya ayam jago difungsikan untuk itu. Jangan malah disabung dan diperjudikan, seperti yang dilakukan beberapa orang, sebab itu jelas-jelas dilarang oleh agama."

 

Diam-diam, nurani Maman tersentil mendengar nasihat tersebut. Ia merasa sangat tersinggung. Karena itu, ia hanya menanggapi dengan seadanya, "Benar, Pak Haji," katanya, sembari berharap sang imam berhenti menyinggung perihal persabungan ayam.

 

Tetapi sejenak kemudian, sang imam malah membuka pembahasan yang lebih menggelisahkannya, "Sebenarnya, sudah lama juga aku ingin membeli ayam jantan, agar ayam betinaku beranak-pinak. Tetapi sayang, rencana tersebut aku urungkan sebab sepulang dari rumah anakku kemarin, aku menjumpai bahwa cengkihku telah hilang digondol maling."

 

Sontak, Maman merasa kalang kabut. Ia ingin diam saja, tetapi itu terkesan tidak wajar. Karena itu, ia menanggapi saja secara sewajar, "Wah. Bahaya kalau ada maling di kampung kita, Pak Haji," responsnya untuk mengesankan keprihatinannya sekaligus menyamarkan keterlibatannya. Ia kemudian bertanya, "Banyak cengkih Pak Haji yang tercuri?"

 

"Iya, Pak. Ada sepuluh kilogram," tutur sang imam. 

 

Mendengar jawaban itu membuat Maman seketika emosi telah menjadi korban kecurangan. Pasalnya, Miran mengatakan kalau berat cengkih curian mereka hanya enam kilogram, sehingga ia hanya mendapatkan uang bagian senilai tiga kilogram cengkih. "Wah, banyak juga, Pak Haji," ujarnya kemudian. 

 

"Iya. Sudah lebih dari cukup untuk membeli beberapa ayam pejantan," kata sang imam.

 

Maman tak lagi menimpali. Ia diam saja sambil meredam kejengkelannya atas keculasan Miran. 

 

Tetapi sang imam kembali bertutur, "Kalau pencuri itu memang terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, aku sih tak mengapa. Tetapi kebanyakan para pencuri hanya akan menggunakan hasil curiannya untuk hal yang buruk."

 

Lagi-lagi, Maman merasa tersinggung.

 

"Setiap perbuatan buruk memang tidak akan bermuara pada kebaikan. Dosa adalah candu bagi para pendosa, yang menjerumuskan dan membuat mereka tak lagi bisa menemukan kebenaran,” nasihat sang imam. “Ah, semoga saja kita senantiasa diberi petunjuk, sehingga kita terhindar dari perbuatan dosa. Semoga pula kita diberikan kekuatan iman, sehingga terhindar dari pengaruh negatif para pendosa.”

 

Hati dan pikiran Maman seketika sengkarut mendengar pesan-pesan itu. Tetapi demi kepatutan, ia menandaskan saja, "Amin, Pak Haji."

 

Sampai akhirnya, selepas menurunkan sang imam, Maman pun sampai di rumahnya dengan perasaan jengkel terhadap Miran yang telah membagi hasil curian secara tidak adil. Waktu demi waktu, kejengkelannya itu makin menguat dan mendesak, hingga ia memutuskan untuk menemui Miran demi menuntut keadilan.

 

Tak lama kemudian, ia tiba di rumah Miran. Tanpa menunda waktu, ia segera menghampiri Miran yang tengah memberikan makan untuk ayam jagonya di halaman belakang. Tanpa berbasa-basi, ia pun mendakwa, "Hai, tega-teganya kau mencurangiku."

 

Miran sontak terheran. "He, ada apa? Kenapa marah-marah begitu?"

 

"Kamu jangan pura-pura bodoh," sergah Maman. "Aku tahu kalau aku seharusnya mendapatkan bagian uang senilai lima kilogram dari cengkih itu, tetapi kau malah mencurangiku."

 

"Bagaimana bisa? Kan, berat hanya enam kilogram, Man!" respons Miran, bingung.

 

"Ah, aku tahu kalau beratnya sepuluh kilogram," tegas Maman.

 

"Aduh…," keluh Miran. "Kau lihat sendiri kuitansi penjualannya, dan kau lihat sendiri kalau beratnya cuma enam kilogram. Lalu kenapa kau bilang sepuluh kilogram?"

 

"Aku dengar langsung dari si tua itu. Ia bilang kalau ia kehilangan cengkih seberat sepuluh kilogram," terang Maman.

 

Miran pun menggeleng-geleng. Seperti tak habis pikir. “Kalau begitu, di mana sisanya? Kau kira aku mengortingnya, lalu menyembunyikannya? Periksa saja rumahku kalau kau tak percaya padaku.”

 

Namun Maman malah makin emosi. “Memangnya kau tidak bisa menyembunyikannya di tempat lain atau menjualnya secara sembunyi-sembunyi?” Ia lantas mencengkeram kerah baju Miran. "Kau jangan mengelak terus! Akui saja!"

 

"He, aku serius, Man!” tegas Miran.

 

Maman lantas mendengkus. "Jadi aku semestinya lebih memercayaimu ketimbang si tua itu?"

 

"Tetapi kali ini, aku tidak berbohong, Man. Sungguh!" ulang Miran, sembari berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Maman.

 

"Ah!" geram Maman, lantas meninju perut Miran. 

 

Akhirnya mereka pun berkelahi. Mereka berbalas pukulan dan tendangan. Tetapi beruntung, para warga segera datang dan melerai mereka.

 

Beberapa warga kemudian menanyakan perihal penyebab perkelahian mereka, tetapi mereka sama-sama bungkam dan tak mau bercerita.

 

Sesaat berselang, kepala dusun dan imam dusun pun datang. Mereka berdua lalu berusaha mendamaikan Maman dan Miran. 

 

"Apa pun masalah di antara kalian, saling memaafkanlah, sebab dosa di antara manusia tidak akan terampuni sebelum mereka saling memaafkan," nasihat sang imam dusun. 

 

Dengan sikap setengah terpaksa, Maman dan Miran akhirnya berjabat tangan dan berpelukan.

 

"Jadi, camkanlah, kalau kalian punya kesalahan kepada siapa pun, segeralah meminta maaf. Kalau kalian mengambil hak seseorang, kembalikanlah sebelum ajal menjemput," sambung sang imam. 

 

Maman dan Miran pun mengangguk saja dengan isi hati dan pikiran mereka masing-masing.***

 

 

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping). Nomor Telepon: 082189466674