Nara—Hubung

18/06/2025


Sepeda motor itu berhenti mendadak di tengah jalan. Nara memiringkan badan, menatap mamah yang sedang mencoba mengengkol motor. Beberapa kali motor terguncang. Mamah hanya berkata, “Nggak apa-apa, bentar lagi juga nyala, kok.”

Nara tersenyum. Namun, wajahnya berubah geram mendengar klakson bersahut-sahutan dari kendaraan di belakang mereka.

“Jangan berhenti dadakan!” salah seorang lelaki dewasa berteriak. Nara bingung. Mamah tak berhenti berusaha menyalakan motor, namun setelah beberapa kali mencoba dan gagal, dengan nafas berat dia beranjak agak menepi. “Mah, beneran nggak apa-apa?” tanya Nara sambil mengguncang pelan pundak Mamah. “Ya!” jawab Mamah singkat. 

Nara tersenyum tipis, merasa yakin Mamah pasti bisa menyalakan motor seperti biasa. Mengabaikan muka geram Mamah. Tetiba suara klakson kereta terdengar dari kejauhan, “Mah! Itu kereta!” seru Nara dengan mata berbinar, berdiri di atas pijakan kaki motor. “Kamu suka?” kata Mamah. Nara tak mengindahkan Mamah, matanya berbinar, terpaku melihat kereta.

“Mau naik kereta lagi!” kata Nara.

“Nunggu papah. Oke?”

Tak lama kereta itu pergi meninggalkan jejak angin yang berhembus di kulit Nara. Matanya mencari kembali yang menyenangkan, beberapa kali ia melihat orang lari pagi, motor yang sedang menyalip ke sana-sini, perlahan matanya menatap tiang yang menancap di tengah jalan. Plang berwarna hijau—Penanda jalan, bertulis Haji Darip.

“Mah, itu apa?” tanya Nara.

“Itu nama jalan, Nara. Biar kita tahu ada di mana." Mamah menunjuk ke plang, sedikit tersenyum melihat rasa penasaran Nara.”

“Oh, iya, itu nama pahlawan dari daerah sini. Ceritanya panjang, nanti kapan-kapan Mamah ceritakan." Mamah melanjutkan.

Mamah sudah tahu pertanyaan turunan yang akan ke luar dari mulut Nara. Jika itu benda yang bisa digunakan, ia pasti akan bertanya cara menggunakannya juga.

Sebelum Nara bertanya lagi, motor itu menyala. Mamah menarik gas beberapa kali untuk memastikan motor tidak mati. “pegangan” kata Mamah. Nara duduk, lalu memeluknya lagi. Tangannya tidak cukup sampai merangkul sempurna badan Mamah. Sering kali Nana ditepuk-tepuk untuk memastikan lebih erat lagi.

Motor itu melaju, makin lama makin kencang. Mamah membelah jalan dengan lincah. Tujuannya hanya satu, sampai tujuan sebelum jam tujuh pagi. Nara masih saja menikmati perjalanan, rambutnya terurai angin. Mata menyipit, agar di sela-sela matanya tidak menanam subur angin.  

Sesekali kepala Mamah ke belakang melihat muka Nara. Saat itu Nara langsung bertanya, “kenapa?” Mamah hanya diam dan tersenyum gembira. Mereka sudah hampir sampai. Mamah melirik ke spion untuk masuk. Mereka langsung memarkirkan sepeda motor.

“Gereja Santa Anna” Nara berbicara. Nara sudah lama tidak datang ke sini, sekitar sudah setahun ia pergi ke luar kota dengan semuanya. Karena keperluan, Nara dan Mamah pindah. Demikian, papah masih di sana.

Sinar mentari berkesiap di sela-sela pepohonan gereja. Orang-orang sibuk masuk. Beberapa kali mereka berbapapasan dengan belasan pasang mata, Nara dan Mamah hanya agak menunduk dan tersenyum.

Mamah menarik tangan Nara. Ia tidak punya kekuatan untuk menolak, tak sadar kakinya terus saja mengikuti Mamah, dengan tenang mereka masuk ke dalam. Mamah menelusuri wajah-wajah yang ia kenal, matanya sibuk menyapu setiap sudut gereja.

“Di mana orang yang kukenal?” Mamah berucap dalam hatinya.

Nara terus saja asyik mengikuti—terpaksa. Ia tidak bisa menolak. “Mah, di sana saja” Nara mengarahkan. Mamah tidak menggubris. Nara tidak putus asa, ia terus saja menunjuk-nunjuk. Orang-orang di sana terlihat memerhatikan mereka. Mamah terus menggenggam dan menyeretnya.

“Nah di sini” mereka akhirnya duduk tepat di baris kedua sebelah kiri dari depan. “Sudah di sini saja.”

Mamah memberikan salam dan tersenyum permisi ke yang lain, Nara diam saja. Lalu mereka membuat tanda salib dan menekuk lutut ke arah Tabernakel. Beberapa orang lain sibuk dalam keheningan, berdoa, bahkan menyiapkan persembahan kolekte. Nara terpana tak berkesudahan. 

Cahaya menerobos masuk ke celah-celah gereja, sinarnya bias ke mana-mana. Hangatnya menambah syahdu gereja. Suara kereta beberapa kali terdengar, Nara mencari-cari. Tidak ketemu. 

Mamah melirik ke arah Nara dan memberi isyarat dengan tangannya agar ikut berdoa. Semua umat perlahan hening mengikuti ibadah. Desir angin dan jam dinding lebih terdengar. Ritus pembuka dimulai. Perarakan masuk dan lagu pembuka. Imam dan pelayan berarak ke altar dan umat bernyanyi.

Nara memerhatikan Mamah. Ia sudah tahu lagu ini, namun tidak tahu dengan judulnya. Nara ingin bertanya, namun takut Mamah marah.

“Nyanyi, jangan cuma lihat,” bisik Mamah padaku.

Semua orang terdengar bernyanyi, “soraklah haleluya, soraklah haleluya”

Nara memerhatikan kurang lebih ada sepuluh orang yang menuju altar. Di kanan-kiri umat bernyanyi serentak. Imam dan para pelayan tiba, lalu mereka memberi hormat, mencium altar, dan duduk di tempat yang telah disiapkan di presbiterium.

Tak lama Imam berdiri kembali. Imam membuat Tanda Salib lalu berucap, “Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus”, lalu semuanya serentak mengikuti dan menjawab, “Amin”. Walaupun Nara masih sepinggang Mamah, ia hikmat mengikuti.

Nara hanya fokus kepada beberapa sudut ruangan gereja. Ia mendengar Imam sibuk berbicara, tanpa tahu arti dari semuanya. Mamah menyenggol dengan kaki, “hei, mikirin apa?” Nara menengok, hanya menggelengkan kepala.

Imam mengajak para umat menyadari dosa-dosa dan menyiapkan diri dengan baik. Umat mengikuti dalam doa tobat. Tak lama sampailah Imam kepada pembebasan dari dosa ringan. Nara tetap asyik saja menikmati gereja. Lirikan matanya tidak berhenti—sedikit pun. Mamah membiarkan, yang penting ia tidak mengganggu.

Suasana gereja semakin hangat. Umat sedang mengharapkan pengampunan Tuhan. Beberapa tangisan jatuh beriringan dengan doa. Angin pagi merayap perlahan membuat teduh. Sesekali kicau burung hinggap di telinga. Menidurkan segala kekhawatiran dunia dengan kasih Tuhan.

Doa masih mengalun, pelan dan khidmat. Jemaat menunduk, menekuri harapan masing-masing. Tak seorang pun menyangka, tiba-tiba— DUAR! 

Ledakan mengoyak udara, merobek sunyi yang tadi suci. Getaran hebat menjalar ke seluruh lantai. Altar di depan retak, pecah, lalu runtuh berkeping-keping diiringi debu tebal yang mengepul. Puing-puing besar menghantam lantai bagai hujan batu yang mengerikan, menimbulkan suara dentuman dan pecahan yang memilukan. Bau mesiu tercium pekat, menyesakkan nafas.

Mamah memeluk Nara. Tubuh kecil itu gemetar. Seorang pelayan berteriak panik. Imam tersentak, suaranya pecah, “Semuanya, selamatkan diri!”

Umat berhamburan. Semuanya berlari tak tahu arah hanya ada satu kata: selamat. Ledakan berbunyi lagi di sudut altar lainnya. Suara tangisan menggerayangi gereja, ucapan tolong tanpa henti berserakan di mana-mana. Laki-laki yang berani terus saja mencari cara agar semuanya bisa terkendalikan. Ada beberapa yang mengarahkan untuk ke luar. 

“Cepat semuanya. Cari tempat perlindungan yang aman.” Seorang pelayan berpostur tinggi dan tegap, yang belakangan Nara tahu bernama Romo Anton, berteriak tanpa henti, suaranya menggelegar di tengah hiruk-pikuk.

Nara menggenggam erat tangan Mamah. Ia sadar saat ini bukan tempat untuk bertanya kepada Mamah sedang terjadi apa. Ia tahu, pasti ada yang tidak beres. Sesekali badan mungilnya terhimpit, terlempar, tersandung. Mamah tetap menggenggam dengan erat.

Doa beterbangan di sana-sini. Tidak ada yang tahu siapa yang akan masih hidup—mati. Hanya Tuhan yang memutuskan. 

“Nara, cepat!” Mamah menegaskan.

“I… iya, mah…” suara Nara gemetar gugup.

Mamah dan Nara sudah hampir sampai di depan gerbang. Tak disangka ledakan berbunyi. Dekat dengan Mamah. Mamah dan Nara terlempar—berpisah. Nara panik dengan apa yang terjadi. Nara berteriak-teriak, “Mamah”, berulang kali. Namun, ucapan itu tidak terdengar dari riuhnya saat ini. Semua orang berlari, mencari arah, menjauh sejadi-jadinya. Nara menangis. Dari matanya penuh dengan harap soal Mamah. Air mata Nara tak kunjung berhenti. Seperti mata air yang pecah tak berujung.

Tangisnya menembus dinding, menggema dalam sunyi yang menggigil. Suaranya memukul hati siapa pun yang mendengarnya. Seorang pelayan menarik tangannya, “Cepat berlari dulu. Jangan di sini. Ikut saya.” 

Ia tidak membutuhkan jawaban Nara. Nara mencoba melepaskan tarikannya, namun genggamannya sangat kuat. Nara memukul-mukul tangan pelayan dengan lemah. Tapi pelayan itu tetap menggenggam erat—keselamatan gadis kecil itu lebih penting dari rasa sakit di pergelangan tangannya.

“Jangan tarik saya! Mamah saya di sana” ucap Nara dengan sesenggukan tangisnya.

“Nanti kita cari. Cepat ikut” Katanya.

Pelayan itu terus menyeretnya, sementara Nara tiada henti meronta. Akhirnya pelayan itu menggendongnya. Nara terus saja berteriak histeris, memukul-memukul, sebisa mungkin untuk menemukan Mamah.

“Cepat ke seberang jalur kereta” gumam pelayan lainnya.

Semua orang berlari secepat yang ia bisa—tanpa henti. Kepada satu tujuan. Seberang perlintasan kereta. Mereka berlari di atas kerikil perlintasan. Ledakan sekali lagi terdengar di gereja, semua orang berlari dengan lebih cepat. Masyarakat sekitar mengarahkan, saling membantu.

Teriakan masih meracau di mana-mana, tidak ada yang merdu. Mata Nara saat ini tidak mencari hal-hal yang menyenangkan saja, tapi hanya soal Mamah. Pikirannya bising dengan dentuman. Tanpa tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Nara ingin kembali ke tempat tadi, namun pelayan akan menghalangi.

Nara terus saja digendong, batu kerikil ini memperlambat ia jalan. Sesekali tangannya mencoba melepaskan, namun tetap saja sia-sia. Orang-orang yang sudah sampai di seberang meneriaki kami untuk cepat sampai. Para masyarakat membantu lansia. Perlahan Nara sudah sampai di seberang.

“Berhenti, kereta ingin lewat!” seorang masyarakat mengarahkan.

Suara klakson kereta terdengar dari kejauhan. Nara di seberang melihat mereka berhenti dengan tertib. Umat linglung dengan apa yang terjadi, mereka mencari celah untuk menjauh dari gereja. Kereta melaju dengan cepat, klaksonnya tidak berhenti berbunyi—sedikit pun. Suaranya memenuhi gendang telinga.

Dari kejauhan, gereja itu penuh dengan asap. Hanya gumpalan-gumpalan hitam dan umat yang berhamburan. Tanpa sadar, Nara perlahan lemas. Ia seperti jiwa yang ditinggal tubuhnya. Pelayan mengguncang badannya beberapa kali. Nara tidak kuat menahannya. Matanya menutup, badannya dingin.

“Hei, bawa anak kecil itu ke dalam. Cepat!” 

“Eh, Pak Arman. Siap. Saya izin titip anak ini” Pelayan menjawab dengan cepat.

Tubuh Nara di baringkan perlahan di ruang tamu. Di depan ada beberapa orang yang sedang mengungsi. Mereka sama seperti Nara—menyelamatkan diri. Tangisan masih terdengar. Hanya Nara yang saat ini sedang tenang.

Berjam-jam waktu berlalu, Nara juga belum sadar. Perlahan setelah aparat kepolisian datang, dan jajarannya. Semua berangsur membaik. Waktu terus berputar, Nara tetap berbaring. Pertanyaan yang sering ke luar oleh Nara, saat ini muncul di kepala Pak Arman.

Di Rumah tua sederhana dekat rel, foto-foto hitam putih, dan beberapa nama ada di dinding, semacam silsilah—Nara istirahat. Pak Arman memandangi tubuh mungil Nara yang terbaring, matanya penuh cemas. Pelayan itu hanya bisa berkata, “Nggak apa-apa, Pak... cuma syok.” Hanya beberapa luka dan lebam yang terlihat. Keadaan yang membuatnya seperti itu. Mereka tidak saling tatap. Matanya mengarah ke gereja. Hanya beberapa kali percakapan menghampiri.

“Mau teh? Nenangin diri dulu.” Ucap Pak Arman sambil mengelus pundak pelayan.

“Nggak, Pak.”

“Jangan dipikirin banyak-banyak, apalagi buat pundak lu capek. Pundak lu udah banyak nanggung beban orang lain. Buat lega dada lu, kasihan. Lu punya jalan untuk apa yang lu percaya.”

Perlahan Nara tersadar. Sekitar sudah lima jam lebih ia berbaring. Dari mulutnya kata, “Mamah” terucap pertama kali. Nara merasakan nyeri dan sakit di mana-mana, khususnya kepala. Perlahan ia mencoba bangkit, sayangnya ia tidak kuat. Badannya terlalu kecil untuk menanggung secara tiba-tiba. Pelayan dan Pak Arman mendekat—mereka tersenyum.

Nara diberikan teh, secara cepat ia menghabiskan. Ia merasa lelah yang tak berkesudahan. Bahkan secangkir teh tidak menghilangkan hausnya. Ia ditawari lagi, Nara mengangguk mau. Pak Arman ke belakang membuatnya kembali.

"Mamahmu? Ada," kata pelayan itu, suaranya menenangkan. Nara merasakan gelombang lega yang luar biasa, namun disusul keraguan. Apakah Mamah baik-baik saja? Di mana dia sekarang? Senyum tipis mengembang di wajahnya, bercampur kelegaan dan sedikit ketakutan yang masih tersisa. Ia ingin sekali segera melihat Mamah, memastikan semuanya nyata, dan menceritakan semua yang terjadi padanya.

Kabar itu bagai pelangi setelah hujan badai baginya. Matanya binar yang tidak henti menyampaikan harapan kesehatan Mamah. 

“Nanti kita ketemu dengannya.” Pelayan melanjutkan bicara.

Seperti biasa, ia tidak menjawab. Hanya mengangguk. Nara melihat-lihat rumah ini. Dalam kepedihannya, satu pertanyaan terus tumbuh dalam hati kecil Nara: Mengapa doa yang paling ia percayai… justru tak sempat diselesaikan? Ia kaget dengan apa yang dilihatnya. Ada tulisan, Haji Darip. Nama yang sama dengan nama jalan. Pak Arman kembali membawa teh.

“Bapak kenal Haji Darip?” tanya Nara.

Pak Arman mengangguk, Nara tidak berhenti bertanya, ia terus bertanya, dan menceritakan bagaimana ia menemukan nama Haji Darip pertama kali. Pak Arman gembira, ada anak kecil yang sangat antusias mendengarkan cerita Haji Darip.

Dalam cerita itu, Pak Arman menceritakan perjuangan Haji Darip untuk menyatukan masyarakat melawan penjajah. Ia dijuluki Macan Klender. Konon katanya Soekarno pernah berkunjung beberapa kali ke tempatnya. Nara tidak kenal Soekarno. 

“Berarti, Haji Darip itu orang yang seram, ya, Pak?” kata Nara.

“Seram. Bagi penjajah. Ia gigih melawan, tak pernah takut sedikit pun. Makanya saya heran, Haji Darip dengan segitunya kuat menyatukan masyarakat untuk melawan penjajah, sekarang, coba lihat? banyak orang aneh” Pak Arman kesal.

Pelayan hanya diam menyimak. Sesekali matanya berubah arah menuju gereja. Suara kereta terdengar. Pijakan terasa gemetar saat kereta melintas. Nara hanyut dengan cerita mengenai Haji Darip. Seorang pahlawan dari Klender yang siap-siaga menyatukan untuk melawan.

“Ayo kita ketemu Mamah.” Pelayan itu memotong penceritaan.

Nara dengan cepat mengangguk. Ia bangun, namun kakinya tidak kuat. jatuh lagi. Pelayan mengangkat Nara, menggendong di punggung. Nara diam saja mengikuti arahan. Kali ini ia tidak melawan dan memukul pelayan, hanya ada kepatuhan karena kerinduan kepada Mamah. Mereka berpamitan dan perlahan menyeberangi perlintasan kereta. Perlahan, tenang, dan pasti.

Desau nafas pelayan terdengar. Tersengal-sengal. Nara menganggap tubuhnya tidak mungkin berat. Pelayan memanggil Nara, katanya ia ingin menyampaikan satu hal, Nara mendengarkan.

“Saat kamu dewasa nanti, entah jadi apa pun, jika Tuhan memberkati kamu jadi orang besar, tolong tanam ini baik-baik. Di mana pun kamu berada, tolong jadi orang yang memperjuangkan kata damai.”

Nara tersenyum mengerti. Ia paham tanpa bertanya maksud dari pelayan itu ke mana. Mereka berhasil melewati perlintasan kereta. Tak lama lagi Nara dan Mamah akan bersatu. Tidak ada kebahagiaan yang ditunggunya selain bertemu. Perpisahan sementara dengan Mamah adalah waktu yang panjang tanpa mau berhenti. Nara ingin bercerita banyak hal dengannya—segera.

 

Alfiansyah Bayu Wardhana, biasa dipanggil Alfian. Lahir pada 16 Juli 2001 di Jakarta. Saat ini sedang PPG Calon Guru di Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Setiap hari membuat konten di Tiktok @mendengarkanceritamu dan @hoyalfi. Cerpen yang pernah dipublikasikan : (1) Cerpen, Bulan Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan terbit di Literasi Kalbar (2024); (2) Cerpen, Sepi Sesudah Ramai terbit di Riau Sastra (2024) dan LPM Al-Mizan (2024); (3) Cerpen, Pintu Itu Diketuk terbit di Jurnal Post (2024); (4) Cerpen, Di Jalan Koningsplein Veld di Magrib.id (2024); (5) Cerpen, Bumi Hanya Untuk Lelaki di Langgampustaka.com (2024); (6) Cerpen, Untuk Mamah dan Nenek di Tatkala Media (2024); (7) Menyumbang Kembang pada Malam di Omong-omong.com (2025).