Mudik

12/10/2021

 

Kereta api yang kutumpangi berhenti di stasiun Banjar. Hanya sebentar, tapi cukup untuk mataku yang masih terkantuk-kantuk menangkap sosok pria itu. Di depan jejeran kusen-kusen tua dengan kaca jendela buram di samping setasiun. Seorang pria muda, kira-kira berapa usianya, ya? Masih SMA atau baru kuliah, mungkin 10 tahun lebih muda dari aku. Pria muda itu berdiri menatap ke jendela gerbongku. Ia mengenakan kaos hitam, jaket coklat, jeans hitam dan sepatu kets. Sebutlah satu pria tampan versi kalian dan aku katakan pria yang kulihat ini satu tingkat di atas pria tampan versi kalian. Wajahnya betul semua, mata, hidung, bibir, semuanya tidak ada yang salah, kulitnya bersih seperti rajin perawatan ke skin care. Tampaknya dia sedang menatapku.

       Aku menoleh ke bapak yang duduk di seat sebelahku, sedang tidur. Tiba-tiba kereta bergerak. Hey, tunggu! Pria itu belum naik! Ah, siapa bilang dia berniat naik kereta ini. Dia sama sekali tidak membawa tas atau barang bawaan seperti layaknya orang yang hendak bepergian. Mungkin dia sedang akan menjemput seseorang. Aku melirik pria itu yang tertinggal menjauh dari bingkai jendela gerbong. Apakah dia orang Banjar? Terasa mustahil di kota kecil itu ada manusia setampan itu yang rajin perawatan ke skin care.

       Sudah hampir sejam perjalanan kereta meninggalkan Banjar dan aku masih melamun tentang pria itu. Di stasiun Kota Tasikmalaya aku kembali memejamkan mata, sambil masih memikirkan sisa-sisa tatanan wajahnya. Sayang sekali jika sampai aku lupa. Tak sadar aku tersenyum. Akhirnya ada juga pengalaman menarik dalam perjalanan mudik ini. Setelah selama hampir 5 jam dari Yogyakarta hanya tidur, ngemil, mengganti musik di player hape-ku, dan tidur lagi. Kereta terus melaju menuju Bandung, kota kelahiranku. Bekerja di sebuah perusahaan penerbitan buku di Kota Yogyakarta dan setiap tahun mudik ke Bandung 3-4 kali, rasanya mulai membosankan bagiku di setiap perjalanannya selama dua tahun terakhir, tapi tidak hari ini.

       Aku mengecek jam tanganku saat terbangun untuk yang ke sekian kali. Pukul lima sore, dan aku merasa jadwalku ngopi sudah sangat mendesak. Pecandu kopi, iya, sejak SMA. Aku beranjak menuju gerbong Restorja, melewati 4 gerbong. Menatapi wajah-wajah lelah yang sejak berjam-jam lalu berada di kereta ini, melewati panjangnya perjalanan bersamaku. Samar kudengar suara tangisan anak kecil entah di seat mana.

       Gerbong Restorja sepi, hanya ada seorang ibu yang sedang makan mi kuah. Aku memilih tempat paling kanan, duduk lalu meletakkan HP-ku dan memesan segelas kopi. Memang rasa kopi di sini tidak seenak menyeduh di rumah, tapi lumayan untuk meredakan gelisah yang entah karena apa.

       Gelas kopi pesananku datang bertepatan dengan berakhirnya percakapanku di HP dengan ibuku yang bercerita tentang maraknya begal di kompleks rumah kami. Seseorang membuka pintu geser menuju gerbong ini. Refleks aku menoleh. Jika ini adalah adegan dalam sinetron, aku pasti sudah menjatuhkan gelas yang kupegang, lalu menatap orang yang baru masuk itu screen zoom in-zoom out ala sinetron.

       Ya, pria muda yang kulihat di Stasiun Banjar. Dia ternyata memang naik kereta ini. Mungkin di gerbong belakang sehingga aku tidak melihatnya naik. Tapi, sebentar. Dia memang tidak naik. Saat kereta ini melaju, dia masih kulihat dengan lirikan ujung mata, berdiri di tempatnya. Mana mungkin dia naik kereta dengan cara dramatis adegan film India yang melompat naik sambil berlarian. Sialan, ini akibatnya kalau aku telat ngopi! Otak ngelantur, mengaitkan segala kejadian yang kualami dengan adegan film.

       Ini bukan adegan film, karena jika dalam film, orang yang ditemui untuk yang kedua kalinya itu akan menyapamu dan saling berkenalan lalu muncul percikan ala drama Korea yang…-stop, otak, STOP! Aku menegak kopiku dua teguk sekaligus.

       “Hai.”

       Seperti orang bego, aku menoleh ke arah suara itu. Pria muda idaman wanita seluruh dunia itu berdiri di sebelah mejaku. Aku menoleh ke arah ibu sebelah yang sedang makan. Bergeming. Aku menanti adegan selanjutnya dengan jantung hampir lepas karena terlalu kencang berdetak.

       “Bangku itu kosong?”

       Fix ! Dia bicara padaku! Aku menatapnya seolah mimpi, “K..kosong.” dan akhirnya menjawab dengan kering. Pria itu langsung duduk dan meletakkan cangkir kopinya.

       Selama 32 tahun hidupku, tidak pernah sekali pun ada pria (apalagi yang ganteng begini) menyapaku tanpa sebab seperti ini. Aku ini sadar diri kalau aku bukan cewek yang menarik secara fisik. Tidak perlu aku jelaskan bagaimana kondisi wajah dan fisikku karena bakal kena pasal mengenai body shamming.

       Tidak ada percakapan antara kami. Dia hanya duduk tenang menikmati kopinya sambil membaca buku bersampul kulit. Aku sibuk meredakan debaran dan menjawab pertanyaan-pertanyaan liar dalam kepalaku. Sesekali aku meliriknya, wajahnya sangat bening, tidak ada noda apa pun atau tahi lalat, apalagi jerawat, mulus seperti porselen.

       Mana dialog ala drama Korea? Tidak ada. Kenapa kami tidak bercakap-cakap? Buat apa dia duduk di sebelahku, di antara sekian banyak meja kursi di gerbong Restorja ini? Ini mulai terasa aneh. Gagal dengan skenario romantis, otakku mulai berpikir kriminal. Jangan-jangan dia orang mesum. Tidak, aku tidak rela wajah setampan itu berkarakter minus.

       Aku memerhatikan orang sekelilingku. Dua pramugari kereta lalu-lalang tanpa merasa posisi kami yang duduk bersebelahan adalah hal yang aneh. Mungkin mereka kira kami berteman dan mengenal satu sama lain. Pun ibu yang sudah menghabiskan mi kuahnya, melirik kami tanpa sedikit pun menyiratkan pandangan aneh. Apa hanya aku saja yang merasa berlebihan? Entah-meski kejadian ini terasa janggal, tapi aku tidak ingin adegan ini berakhir, setidaknya sampai ke Bandung. Tapi aku tidak mungkin selama dua jam berada di sini. Tanpa berkata sepatah…

       “Turun di Bandung, kan?” pria itu tiba-tiba berkata sambil menutup bukunya, dan melirikku.

       “I..iya.”

       “Baiklah, aku juga.” Lalu ia beranjak dan berjalan keluar dari gerbong Restorja, meninggalkan aku yang bengong tak tahu bagaimana harus bersikap.

       Kereta tiba di stasiun Bandung sekitar pukul 7 malam, aku tidak melihat pria itu lagi. Aku berjalan keluar dari stasiun, menghirup udara kota kelahiranku, menuju ke jalan raya agak menjauh dari area stasiun untuk kemudian memesan Grab. Sambil menunggu jemputan, aku bersandar pada pintu sebuah toko yang sudah tutup. Ada rasa sedih tiba-tiba karena aku menyadari tak akan lagi melihat pria itu. Ini jelas bukan kebetulan yang akan terjadi lagi yang mana aku akan berjumpa dengannya besok di belokan jalan. Sudah bertemu dua kali dengannya saja hari ini sudah merupakan keajaiban.

       Aku meminta pada driver Grab untuk menurunkanku di Indomaret depan  kompleks rumahku. Ada tukang nasi goreng tenda di sebelah minimarket itu, mau aku bawa pulang untuk makan malam. Meskipun tadi sore ibuku sudah menelepon, menawarkan apa mau disisakan lodeh untuk makan malam, aku jawab mau beli nasi goreng Indomaret saja. Ibuku paham, itu memang nasi goreng favoritku.

       Aku melirik jam tanganku ketika memesan nasi goreng, pukul 8 malam.

       Setelah berbasa-basi sejenak dengan Si Mas nasi goreng yang menanyakan keadaan dan pekerjaanku. Aku duduk di bangku kayu menunggu antrean dua pembeli lain sebelum pesananku dimasak. Seorang pria datang dan duduk di sampingku. Aku yang sedang asyik dengan HP-ku menoleh, sekadar mengecek.

       Jantungku berdegup. Baiklah, ini sudah mulai aneh! Di sampingku duduk pria tampan yang di kereta tadi. Perasaanku bercampur aduk antara gembira dan takut. Jika ini bukan mimpi, berarti aku sudah gila. Halusinasi akut!

       “Maaf.” Aku menyapanya. Dia menoleh. Tersenyum. Lalu hanya duduk di sebelahku dengan tenang, memandang aksi Mas nasi goreng yang masih memasak beberapa pesanan.

       “Maaf, apakah saya mengenal Anda?” tak kuasa menahan rasa penasaran, aku melawan rasa takutku.

       “Tidak. Tapi aku mengenalmu.” Jawabnya tenang.

       “Kita pernah ketemu di mana? Sebelum di kereta maksud saya. Siapa tahu saya lupa. Apakah klien perusahaan tempat saya bekerja?”

       “Bukan.”

       “Anda mengikuti saya?” nada suaraku mulai serius, karena, jika dia seorang penguntit, seganteng apa pun bakal aku laporkan ke polisi.

       Seorang bapak yang juga sedang antre nasi goreng menoleh ke arah kami dengan pandangan menyelidik. Mungkin suaraku terlalu lantang.

       "Iya.”

       Iya?! Dengan wajah dan sikap setenang itu dia menjawab “Iya?” Dia mengakui kalau dia penguntit! Aku sudah mau beranjak dari duduk, ketika ia melanjutkan kalimatnya.

       “Kita akan segera bertemu lagi, Melia.” Lalu ia berdiri dan keluar dari tenda nasi goreng. Aku tercengang sungguh, pria itu tahu namaku!

       Rasanya lama sekali nasi goreng pesananku selesai dimasak. Aku sudah tak sabar ingin segera tiba di rumah. Memang benar ini perjalanan mudikku yang paling spektakuler sepanjang hidup! Rasanya lebih baik mengalami perjalanan yang membosankan tanpa perlu bertemu makhluk ganteng jika ternyata kehadirannya membuatku gelisah seperti ini.

       Aku menenteng tas di tangan kanan dan plastik nasi goreng di tangan kiri, berjalan agak tergesa memasuki kompleks perumahanku. Jalanan di situ selalu sepi, tapi karena aku penghuni di sini, aku sudah terbiasa. Satu-satunya hal yang kutakutkan adalah pria ganteng itu. Aku beberapa kali menoleh ke belakang, kuatir dia muncul lagi entah dari mana dan berjalan mengikutiku.

       Saat aku menoleh untuk yang ke sekian kalinya, aku melihat dua sepeda motor melaju kencang ke arahku. Sungguh hanya beberapa detik saja kejadian itu berlangsung. Aku tergeletak di jalanan aspal. Mereka merampas tasku dan menebas senjata, semacam parang, ke arah perutku. Plastik berisi nasi goreng terserak di jalan. Aku merasakan cairan mengalir deras dari perutku yang sobek. Pandanganku mulai mengabur, ketika pria tampan itu muncul lagi dan berjongkok di samping tubuhku yang tergeletak sekarat. Ia membuka buku bersampul kulit yang selalu dibawanya.

       “Melia Putri Pratiwi. Usia 32 tahun. Pekerjaan karyawan perusahaan penerbitan. Tanggal kematian 12 Juni 2019. Pukul 20.24 WIB.”

       Aku melihat sosok pria itu bercahaya. Seluruh tubuhku dingin. Sayup-sayup aku mendengar suaranya mengalun lembut seperti musik.

       “Iya, aku mengikutimu, sejak kamu lahir. Tapi aku hanya muncul dan bisa kaulihat saat hendak menjemputmu pulang, Melia.” Pria itu mengulurkan tangannya kepadaku.  “Ayo, pulang.”

       Aku menutup mataku.

 

*     *     *

Rancamaya, 30 Juni 2019

 

 

Alexandreia Wibawa, penulis novel ”Supata Sangkuriang” yang lahir di Kota Tasikmalaya pada hari Jumat, 12 Agustus. Suka melukis dan menggambar, karyanya dipajang di akun Instagram @kuya_ijo.