Menjelang Magrib

08/09/2023

Budiman berdiri di depan surau sudah sekitar lima menit lalu. Magrib masih belum mengambang. Mungkin sekitar 30 menit lagi akan segera berkumandang. Belum ada seorang pun yang terlihat hilir mudik di surau. Hanya Budiman seorang saja, berdiri mematung menyerupai patung selamat datang.

             Kotak amal kayu itu berada tepat di sebelah pintu dan rak-rak mukena. Hanya ada gembok kecil yang berwarna keperak-perakan terkait di kotak amal itu. Pasti marbot atau kiai surau tak meragukan sedikit pun keamanan dari kotak amal. Selain karena tertempel stiker dengan tulisan ayat suci, tak mungkin penduduk desa atau orang usil siapa pun punya niatan mengambil kotak amal seukuran kotak sepatu itu.

            Bukan apa, bahkan sang marbot pun telah hafal dengan siapa saja jemaah yang hadir ke surau yang hanya dapat dihitung jari. Toh jikalau ada orang asing iseng datang menggondol kotak amal itu isinya pun tak bakal seberapa. Namun Budiman adalah orang asing iseng yang masuk dalam daftar suuzan dari marbot atau kiai itu.

            Pemuda kerempeng itu sangat butuh uang kali ini. Sebelum menjelang malam setidaknya Budiman harus dapat membeli sebotol arak Bali dari toko Atjong. 1,5 liter arak Bali setidaknya akan menyelamatkannya dari rekan-rekannya yang menyerupai kawanan bandit pemabuk dan suka berjudi.

            Kapan hari Budiman telah melakukan satu perjudian dengan ketua bandit Pendik. Itu telah menjadi kebiasaan bagi pemuda-pemuda desa Bolong untuk mempertaruhkan apa pun demi mendapat satu pesta. Terkadang mereka bertaruh mengenai sepak bola. Juga sesekali di saat malam-malam syahdu yang dirasa aman dari mata-mata polisi, mereka akan menggelar Cap Jiki untuk bertaruh angka siapa yang paling mendekati bandar.

            Tak jarang ketika sore dengan senja yang perlahan-lahan lindap namun masih memancarkan cercah-cercah cahaya yang memantul di sungai para pemuda-pemuda desa Bolong yang gemar cangkruk di bantaran itu akan ngotor dan bertaruh untuk kencing siapa yang paling panjang dan bisa mendekati seberang.

            Di saat-saat itulah perjudian kecil itu akan selalu dimenangkan Budiman. Dan puluhan bungkus rokok bergambar gudang tua yang dipertaruhkan, juga dipastikan akan selalu menjadi miliknya.

            “Bagaimana kalau taruhannya sore ini diganti, bukan kencing siapa yang sampai di ujung sana?” kata Pendik.

            Keempat pemuda itu masih khusyuk dengan satu batang rokok yang tertambat di mulut masing-masing.

            “Siapa pun yang bisa mengencingi Suci maka akan dapat motorku.” Pendik memulai taruhan dengan melemparkan kunci motornya.

            “Mengencingi?” tanya Gofar.

            Pendik langsung menunjukkan jempolnya yang diapit dan menjulur di antara jari telunjuk dan jari tengah.

            “Kamu gila Ndik.

            “Apa kamu nggak wani man? Banci. Cuih! Manuk kok gawe nguyuh tok,” kata Pendik.

            “Nguyuh dowo tok. Gak guna,” seru Karyo.

             Kini Budiman lebih membara dari bara api yang ada di rokoknya.

            “Gak usah takut. Kalau gagal cukup beliin arak sebotol. Deal?”

            Keduanya mengangguk terkecuali Budiman yang masih menimang-nimang kemustahilan yang akan diperbuat itu. Toh cuma sebotol arak, gumam Budiman. Akhirnya kesepakatan mereka pun tercapai.

***

Mungkin satu-satunya orang yang peduli pada Suci hanyalah Mbok Darsam. Perempuan itu, Suci dipasung sejak tiga tahun yang lalu. Usai satu-satunya keluarga yang tersisa, Jarot suaminya mati dibunuh korona. Satu minggu usai kematian Jarot, Suci menggila dengan menari telanjang mengitari desa.

            “Biarkanlah desa ini dikutuk seperti kalian mengutuki suamiku yang kalian sebut menyebar petaka.

            Perempuan itu terus berkeliling menari telanjang dengan sehelai sampur merah dan senandung lagu dari kesedihannya di setiap malam-malam yang buta. Orang-orang desa di saat-saat itu akan mengunci pintu dan menutup tirai jendela mereka. Bersikap dingin dan acuh. Tak membiarkan seorang pun bahkan anak-anak dengan satu rasa penasaran liar di pikiran mereka melihat perempuan itu.

            Keluarga itu memang ditakdirkan untuk menjadi keluarga yang terkutuk. Suci akan selalu mengenang bagaimana suaminya yang diasingkan dan dianggap seorang dukun penyebar teluh yang ditularkan melalui tubuhnya. Teluh itu muncul usai Jarot dikebumikan oleh orang-orang desa.

            Sependek pengetahuan mereka, Jarot hanya mengalami demam biasa. Lantas mati sehari berselang. Tanpa ada tanda-tanda apapun yang patut dicurigai mereka semua mengubur Jarot sebagaimana orang-orang mati pada umumnya di TPU Budi Dharma. Pemakaman itu berjalan khidmat, namun malapetaka datang sesudahnya.

            Secara serentak orang-orang desa terkena demam dan keesokannya ditemukan mati. Awalnya tiga orang dalam sehari. Lima orang keesokan harinya. Delapan orang di hari ketiga. Hingga kematian terus saja bertambah menjadi wabah yang mencekam.

            “Semua ini disebabkan oleh Jarot yang menyebarkan teluh usai mati.

            Pikiran liar itu diikuti dengan tindakan yang tak kalah liar. Kuburan Jarot dibongkar seminggu berselang usai dikebumikan. Kuburan itu dibiarkan terbuka menganga begitu saja seperti luka borok yang menguak. Entah siapa yang bertindak atas kekesalan itu. Karena semuanya akan saling lempar hingga seekor anjinglah yang disalahkan.

Kasak-kusuk itu masuk ke telinga Suci. Menjelang Magrib dengan senja yang berjalan khidmat turun dari bukit, perempuan itu mendapati kubur suaminya kosong melompong dalam satu kunjungannya di TPU Budi Dharma. Ia sudah tak bisa sesegukan atau sekedar meronta, matanya nyalang kesetanan memburu satu demi satu penduduk desa.

***

Lima belas menit berlalu begitu cepat, namun keheningan masih tetap terjaga. Tak ada seorang pun yang muncul di surau. Budiman terbaring di lantai dengan segumpal pertimbangan yang mengitari pikirannya. Pandangannya tak bergeming sedikit pun dengan kotak amal surau. Setidaknya inilah kesempatan yang tepat untuk menggondolnya.

            Pemuda berambut ikal itu terus saja terusik akan pikirannya sendiri. Budiman tak kuasa menahannya, terbangun dan bergegas mengambil air wudhu. Mungkin saja membasuh tubuh dengan air wudhu dapat menghilangkan setan yang bersemayam menghuni tubuhnya.

            Budiman setidaknya percaya cerita-cerita dari para tetua desa bahwa menjelang Magrib ada sesosok setan yang disebut Bathara Kala berkeliaran. Terkadang setan itu menggoda manusia untuk berbuat maksiat dengan meninggalkan salat atau godaan-godaan lain yang semestinya tak terhindarkan.

Parahnya anak kecil hingga anak ayam harus segera masuk rumah dan kandang menjelang magrib. Saat-saat itulah Bathara Kala tak segan-segan memangsa anak kecil atau juga seekor anak ayam. Ada yang bilang siapa pun yang hilang telah dibawa Bathara Kala ke dunia gaib.

“Wujud dari Bathara Kala itu seperti apa mbah?” kata Budiman pada delapan tahun lalu dengan satu keluguan seorang bocah.

Kakeknya, Mardian tersenyum menyaksikan cucunya yang menghentikan kisah yang dituturkannya. “Beda-beda. Kadang bisa menyerupa raksasa dengan rambut api yang menyalak, juga bisa menjelma siluman ular sepanjang pohon kelapa. Tapi yang jelas jangan sampai kau langar pantangan itu.

Ucapan Mardian sama saktinya dengan pedoman hidup negara yang selalu dipegang teguh Budiman hingga saat ini. Pemuda itu berdiri di depan pancuran air. Mengulurkan tangan kanannya. Hawa dingin selepas gerimis ritmis siang tadi serasa menguar kembali dari air-air yang mengucur.

Budiman kembali hening. Terakhir kali ia salat tentu saja saat menginjak SMP. Itu artinya saat itu juga ia terakhir berwudu. Kedua tangannya kini terulur di pancuran. Sementara matanya terpejam. Ingatan Budiman berusaha keras untuk menghafalkan doa wudhu. Ia menghela nafas. Sejauh apapun usahanya terasa sia-sia bahkan untuk sekedar mengingat sepatah kata awalan doa. Yang teringat hanyalah Bismillah.

 Suara kecipak langkah terdengar. Memecah satu usaha sia-sia Budiman untuk menghafal doa. Ia mengintip dari celah-celah bilik tempat wudhu.

“Haduh pitekku durung mlebu,” gerutu Mbok Darsam yang lantas segera menutup pintu.

Di samping timur surau berjajar persis rumah Suci sang janda gila. Budiman melihat satu celah seolah gembok kecil pintu itu melambai-lambai kepada dirinya. Ia mengintip, mengharapkan Mbok Darsam tak segera kembali. Apa yang diharapkannya rupanya menjadi kenyataan. Ia berjalan mengendap-ngendap dengan langkah seekor tupai lantas masuk melalui pintu yang sepatutnya harus terkunci.

            Perempuan gila itu tertidur. Aroma dari sabun pepaya masih menguar tercium dalam satu ruangan. Budiman memeriksa pasung yang mengikat bagian kaki Suci secara seksama. Matanya kini segera beralih pada setiap inci lekuk tubuh yang masih menyisakan sisa-sisa kecantikan dari seorang penari itu.

            Bagai bocah yang baru datang ke museum, tangannya mulai terasa gatal untuk menyentuh kulit kuning langsat yang jauh lebih mengkilat dari guci Cina itu. Ia terkenang akan wajah Suci di suatu waktu menjelang Magrib.

Waktu itu musim berburu layangan dengan angin liar yang melambai-lambai, Budiman berlari menembus jalan setapak pematang sawah dengan nafas berburu seekor harimau membidik seuntai benang layangan. Ia terus menyusur jalan pematang, melompati parit dan menembus rerimbunan semak. Matanya terus membidik layang-layang putih dengan gambar seekor garuda yang terus meliuk bagai sebuah tarian yang menggoda.

Tanpa ia sadari perburuannya telah menuntunnya menuju kebon tebu. Layangan itu kemungkinan kecil akan tergapai. Dari balik belukar tebu, Budiman mendengarkan sebuah suara. Menjelang Magrib tak mungkin ada seorang petani iseng berada di kebon, pikirnya.

Pikiran itu menggiringnya menerjang semak belukar tebu. Dari satu jarak pandang, ia melihat empat orang dengan nafas dan liur seekor anjing liar memburu satu tangkapan besar. Seketika ada yang berputar-putar di kepalanya dan ingin untuk diledakkan. Seluruh jajanan dan menu makan siangnya tadi ingin dimuntahkan segera.

Dua lelaki tengah berjaga dengan mata awas. Satu lelaki dengan luka bakar di dadanya telah telanjang bulat, menghadap perempuan dengan lesung pipit itu tengah terbaring di belukar dengan wajah pucat. Sementara satu orang lelaki lainnya dengan kumis berwarna perak dengan dada telanjang tengah menyalakan sebatang kretek untuk memenggal rasa dingin.

“Cepatlah!” kata lelaki dada telanjang sambil menghisap kretek.

Budiman tak dapat berkutik. Berdiri mematung menghadapi empat babak drama perburuan yang teramat singkat yang diakhiri dengan lenguh lesu dari perempuan yang tampaknya tak punya tenaga lagi untuk meraung. Perempuan itu koyak. Ditinggalkan begitu saja dalam satu kemalangan hidup.

Mata itu tetap sayu. Sama seperti saat dihampiri Budiman di satu Magrib yang berbeda. Suci tak kaget sama sekali akan kehadiran dari Budiman. Seolah pertemuan ini tengah lama ditunggu oleh mereka berdua. Budiman tau Suci tidaklah gila. Yang gila adalah keempat lelaki yang dulu pernah menyetubuhi Suci hingga membuatnya menjadi seperti ini sekarang.

Magrib mengambang. Bukan suara azan yang terdengar riuh di gendang telinga Budiman, namun suara-suara Pendik yang terus saja menantangnya. Ia menangkap satu kesadaran dan melihat Suci dengan pandangan mengagumkan.

“Kemarilah, kau harus selesaikan ini,” pandangan mata itu seperti sebuah sihir yang menuntunnya menjadi seekor anjing liar yang mendadak jinak.

Suara lantunan muazin telah berhenti, Budiman menjelma anjing jinak yang dulu cukup dikenalinya. Menjadi anjing yang serupa sama dengan lelaki dengan luka bakar di dada. Menjadi anjing dengan kumis keparak-perakan. Menjadi anjing dalam satu permainan drama empat babak.

Fajar Satriyo, seorang jurnalis dan merupakan alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga 2018 yang tergerak dalam bidang kepenulisan sastra baik puisi maupun cerpen.