Komedi Tiga Putaran

13/10/2022

KOMEDI TIGA PUTARAN

1

Sutari, usianya empat puluh tahun, tetapi setiap kali di depan cermin, dia berharap usianya dua puluh tahun. Jadi ketika melihat kerut di sekitar ujung matanya, cahaya matanya meredup. Lalu, dengan cepat tangannya meraba wajahnya, mengurut garis-garis tipis di sekitar kulitnya hingga tertarik ke ujung keningnya.  Setelah itu dia membuka mulutnya lebar-lebar dan menggerakannya ke semua arah, atas ke bawah, ke kanan ke kiri, dan kemudian diakhiri dengan merenggangkannya selama satu menit. Semua itu disebutnya senam muka. Sutari melakukan itu setiap hari selama satu bulan. Saat dia melihat hasilnya di akhir bulan, dia hanya menghela nafas.

"Sudah saatnya membeli antiaging," bisiknya lirih.

Pukul tujuh malam, Sutari duduk malas di sofa menghadap televisi menyala. Ketika saluran televisi menyiarkan berita tentang politik, tangan Sutari sibuk mencari produk kecantikan di ponsel pintarnya. Wajah politisi itu muram, tapi suaranya keras menjawab tuduhan korupsinya. Ketika televisi menyiarkan iklan pemutih wajah, mata Sutari memperhatikannya. Semua itu dilakukan berulangkali-hingga kemudian seorang reporter melaporkan berita dalam program `Breaking News`.

Saat itu, mata Sutari tengah menatap lekat produk kecantikan yang luar biasa. Luar biasa mahal, tapi luar biasa hasilnya, kata testimoni yang diberikan oleh seorang artis kecantikan yang tersohor di media sosial. Sementara Sutari terpesona dan bimbang, reporter TV itu melaporkan sebuah kecelakaan yang terjadi di sebuah jalan di kota Be.

"Seorang remaja pria menjadi korban meninggal," suara reporter perempuan itu terdengar melaporkan.

Mata Sutari melirik sebentar ke arah televisi, lalu mengarahkan lagi matanya ke ponselnya. Dia mencoba mencari produk lain. Jari dan jempolnya sibuk di atas layar ponsel, memindah dari produk ke produk yang lain. Tapi hatinya masih terpikat oleh produk pertama.

"Tapi kok mahal sekali ya," gumamnya.

Breaking News selesai. Saluran televisi masih tetap sama. Suara jingle terdengar. Jeda iklan. Mata Sutari beralih ke televisi. Dia melihat seorang gadis berkulit putih, hampir telanjang tengah masuk ke dalam bethup warna krem. Bunga-bunga merah dan putih bertebaran. Wajah gadis itu mulus, halus, kenyal, dan kencang berkilat. Ketika ponselnya berdering, Sutari tengah membayangkan dirinya adalah gadis dalam iklan. Setengah terkejut, dia melihat layar ponselnya.

"Halo," terdengar suara dari ponselnya.

"Halo, ada apa, Mus?"

"Lihat berita tidak?"

"Tidak, lagi sibuk."

"Haduh, tadi ada kecelakaan, kok namanya seperti anakmu."

"Hah?"

 

2

Sutari, menjanda sudah lima tahun. Suaminya pergi bersama perempuan lain. Setelah setahun, suaminya benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Kali ini  meninggalkannya dan kekasih gelapnya ke dunia lain.  Kabar itu membuatnya bahagia. Senyumnya merekah kecil ketika mendengar kabar itu.

"Impas," katanya.

Anak Sutari satu. Usianya empat belas tahun. Tinggal di kota Be bersama neneknya. Kini, anaknya juga sudah tak ada. Sutari menempuh dua belas jam dengan sebuah bis dari kota tinggalnya menuju kota Be untuk mengurus jenazah anaknya. Di sepanjang jalan, hatinya pilu dan pedih. Satu-satunya hiburannya adalah medsos. Jadi, diiringi oleh mendung hitam di langit hatinya, dia menulis status: `semoga kau bahagia di sana, Nak`. Statusnya itu dikomentari banyak temannya, dan diselingi iklan kecantikan.

Ketika sampai, tangisnya pecah. Ibunya menenangkannya, meskipun juga menangis dan sempat pingsan. Para tetangga berkumpul dan memberinya ucapan simpati. Satu-satu mereka menyalaminya, lalu duduk di kursi yang disediakan di depan. Satu dua orang saling bicara, lainnya sibuk melihat ponsel mereka. Usai dari pemakaman, seorang pria menemuinya. Katanya, dirinya mewakili lembaga yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Selain mengucapkan duka, pria itu memberikan uang duka sebagai tanggung jawab. Sutari menerimanya tanpa bicara. Tangannya gemetar akibat rasa dukanya.

Malam itu, para tetangga berkumpul lagi untuk tahlilan. Sembari menunggu, Sutari duduk di belakang bersama ibu-ibu yang membantu menyiapkan jamuan. Dia melihat orang-orang sibuk, lalu memotret mereka dengan ponselnya. Setelah sedikit mengeditnya, dia mempostingnya di akun medsosnya. Dia menambahkan caption: `malam tahlilan pertama anakku. Semoga Dede bersama para malaikat di surga.` Dalam semenit banyak like dan komen mendoakan. Sutari membaca dan membalas like setiap komen, juga menghitung jumlah likenya. Tapi dia tak melihat sosok pria yang baru-baru ini membuatnya tertarik. Mukanya kecewa. Setelah itu mencoba melihat status teman-temannya. Semua tak menarik perhatiannya, kecuali iklan kosmetik yang muncul. Iklan yang sering dia ikuti.

Ketika tahlilan selesai, di kamarnya, Sutari kembali melihat ponselnya. Rasa penasarannya memenuhi dadanya ketika tak menemukan pria di medsos itu. Berulang kali dia mencoba mengabaikan, tapi serangan rasa penasarannya semakin kuat. Tubuhnya terbaring di ranjang, tapi pikirannya berlarian tak tenang. Bayangan pria itu bergeseran silih berganti dengan bayangan anaknya, hingga kemudian dia melihat like dan komen di statusnya. Dadanya terasa lega kali ini. Dia memaafkan prasangkannya sendiri. Pria itu ternyata memberi perhatian. Segera saja dia membalas dan memutuskan tidur dengan tenang. Tapi, niatnya urung karena hatinya berharap pria itu membalas lagi. Hampir menjelang pagi dia menunggu balasan, tapi tak ada.

 

3

Setelah seminggu, Sutari memutuskan kembali ke kota tinggalnya. Perjalanannya kali ini diiringi lagu Frank&Jane. Sopir bis itu memutar dvd-nya. Satu sisi dia merasakan kerinduan seorang ibu pada anaknya ketika melihat seorang gadis yang mirip anaknya di kereta. Sutari sendiri ingat anaknya. Di sisi lain dia merasakan ada kerinduan lain yang samar. Sutari hanyut dan nyaris menangis oleh alunan lagu itu jika tidak sopir bis di depannya ikut menyanyi. Karena merasa sedikit terganggu, akhirnya dia memutuskan menulis status: `suara sopir bis itu payah, membuat para malaikat jengah.`  Setelah itu dia memutuskan tidur.

Pukul delapan pagi, Sutari sudah berada di tempat tinggalnya. Sinar matahari berlimpah dan hangat. Musik dangdut koplo terdengar dari arah tetangga menembus telinganya. Dia kenal benar lagu itu, dan membuatnya sedikit ikut bersenandung. Dengan keadaan masih mengantuk, Sutari berdiri di depan cermin. Menatap nanar wajahnya yang layu oleh perjalanan semalaman. Meskipun begitu, tetap saja matanya masih bisa menangkap kerut-kerut di bawah dan pinggir matanya yang kuyu. Setelah berdiri agak lama, dia memutuskan berbaring di ranjangnya yang dingin. Dia tertidur nyenyak dan bermimpi.

Saat bangun, hari sudah menjelang siang. Sutari kemudian menelepon temannya, mengabari dirinya sudah pulang, dan akan mulai bekerja besok pagi. Setelah itu, dia memutuskan mandi, dan kembali meraih ponselnya sambil makan malam di di depan televisi yang dinyalakannya. Ketika dia membuka akun medsosnya, Sutari membaca pesan dari pria yang selama ini ditunggunya. Bergegas diletakkannya piringnya dan memikirkan apa yang akan ditulisnya. Tapi, tak satu kalimat pun yang bisa dia pikirkan. Dia menunda membalas. Kemudian, dengan sedikit panik, dia menaruh ponselnya dan berlari ke kamarnya untuk melihat kerut di mukanya. Berkali-kali dia mengusap wajahnya, melakukan senam muka untuk menghilangkan kerut yang semakin banyak. Karena hasilnya tetap tak memuaskan, Sutari kembali ke ponselnya. Tapi bukan untuk membalas pesan. Dia tak ingin cepat membalas sebelum urusan kerut di mukanya lenyap.

Iklan kosmetik itu masih sama keadaannya, setia menunggunya. Harganya tak berubah, juga modelnya yang cantik bukan kepalang. Sutari merasa lega karena produk itu masih ada. Kali ini dia tak lagi bimbang. Dia punya cukup uang untuk dibelanjakan. Jadi, dia memesannya dengan pilihan paket utama. Paling mahal. Malamnya, dia mencoba membalas pesan pria itu, tapi pesannya gagal. Pria itu sudah memblokirnya. Sutari termenung. Mencoba bertanya apa salahnya. Hanya karena lambat menjawab? Karena tak mendapatkan jawaban, Sutari tersenyum sinis, lalu menulis status: `banyak pria bodoh di dunia, para malaikat jadi takut melangkah `.

Setelah itu dia menangis. Ingat anaknya.

 

-Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris dan naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pacamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya “Mitoni Terakhir” diterbitkan penerbit Nyala (2021). Tinggal di Magelang. IG: Ranang_Aji_SP.