Kenyataan Itu

01/02/2023

 

Untuk sekarang Rustam tak lagi banyak bicara pada siapa pun bahkan termasuk juga aku. Setelah kegagalannya ia mengambil keputusan. Waktu itu dari kedua bola matanya yang tajam menatap padaku sambil menentengi koper-kopernya berkata, “Kalau sudah ada niatan, maka tak ada yang bisa menghalangi.” Lalu ia memberesi berbagai surat-surat di atas meja untuk perjalanan ke Singapura.

Memulai karier sebagai pelayan di sebuah restoran sushi. Dua-tiga tahun kira-kira berjalan lancar dan kariernya begitu cemerlang. Hingga suatu waktu, kiriman sebuah surat pos ke istrinya sampai ke tanganku. Isinya selembar potret. Dari potret itu terlihat ia mengenakan busana serba hitam, rapi serta necis, dan berkaca mata. Akan tetapi sekarang janggutnya sudah mulai panjang lebat, terlihat dirinya sedang berjabat tangan bersama orang yang mengenakan pakaian yang sama juga dengannya. Jika dari sudut pandangku mereka sedang melakukan rapat kerja sama, lalu aku hanya paling mengartikan sendiri: tak ada artinya bertanya makna-makna dari sebuah potret itu. Dan aku jauh lebih tahu bukan potret itu menjadikan istrinya kegirangan, “Dia sekarang CEO.” Tetapi sebuah check nominal yang dipegangnya itu (tiga bulan saja pun aku bekerja tak akan mungkin juga aku bisa mengumpulkan uang yang sama dengan yang di check itu).

Sekarang semua berlalu. Tahun-tahun yang terlewat itu seakan sekilas saja berjalan. Dan drama kehidupan juga seakan hilang dalam waktu per detik saja. Di depan rumah, ia tiba-tiba muncul. Sontak saja aku coba berpikir jernih sejenak –aku tidak perlu kaget, sebab itu hanya satu ruang dari sekian banyak pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya yang selalu datang dengan misterinya. Dan dengan tenang aku bertanya, “Kapan engkau sampai? Kenapa engkau di sini?”

Ia mengabaikan pertanyaanku, kemudian malah bertanya balik, “Kau tahu di mana istriku bukan?!”

Ditariknya kerah bajuku dan sekali lagi aku menatap kedua bola mata yang tajam itu sambil berkaca-kaca. Yang dahulu bila aku melihat itu, ada sesuatu keniscayaan. Bahwa itu adalah benar. Dengan bersikap tenang aku memegang bahunya. Mengendurkan ancaman, “Tenanglah dulu sahabatku.”

Kini ia seperti orang papa di mataku dan tentunya batu prahara besar yang menimpa tepat jatuh ke jiwanya. Ia menoleh ke bawah kakiku. Hening. Kami berdua diliputi rasa kehausan akan keinginan sedang keheningan mendekap jua ke tubuh kami. Rasa sakit baginya, tetapi lebih baik bagiku. Bibirnya begetar menahan dingin, bau parfumnya sangat begitu kental dan menyengat atau barangkali karena aku tak terbiasa terhadap orang-orang yang sangat suka kekentalan.

“Seharusnya aku tidak berangkat ke Singapura.”

Kembali ia mendekam dalam penjara keputusasaannya sendiri dan memang sedari dahulu ia selalu berkata menyesal. Salah satunya menikahi istrinya. Beberapa kali itu terlontar dari celah tenggorokannya dan sampai pada ia telah berhasil, untuk kabur dari penyesalan itu dengan berangkat ke Singapura. Lalu, sekarang ia menudingku.

“Kau dengannya sama pembohongnya!”

“Aku tidak berbohong sahabatku, engkau yang menolak kenyataan itu. Wanitamu itu tidak berbahagia. Saat menerima check darimu, hanya wadah kepalsuan. Tawanya begitu sepi.”

“Lalu kau berkhianat padaku. Kalau begitu terkutuklah kau oleh Tuhan.”

Untuk yang satu ini aku terperangah, oleh hunjaman buruk sebuah doa. Bila menyangkut persoalan kemalangan Ilahi, akan benar-benar membenam kesetiaanku pada kehidupan yang percaya bahwa dunia bersifat non materil. Aku hanya berusaha untuk “baik” dengan kemampuan manusia. Jadi ia membikin taman Firdaus yang ada di angkasa itu sekarang menolak aku berkunjung.

“Bawa gundik itu ke neraka bersamamu!”

Kemudian ia pergi meninggalkanku di ambang pintu. Agak semakin jauh, terlihat ia berjalan laksana Sysiphus membawa beban. Memanggul duka. Namun gagah membawa angin. Alih-alih sisa kekusutan kerah bajuku menerima halnya bahwa dia tidak terlalu membenci aku. Tidak lama berselang sebuah tangan mendekap, merayap bayangan kehitaman dan hangat mencoba menangkap aku dari belakang ke pundakku melingkari leher. Aku bersigap melepaskan dengan pelan, dia, wanita ini istrinya.

“Bagaimana kau mendengarnya tadi?” tanyaku pada istri Rustam ini.

“Mendengar apa?”

“Dia masih membutuhkanmu, setidaknya sudah menerima kenyataan.”

Ia jengkel kemudian dia buru-buru mengambil jaketnya yang terebah lemas di sofa belakang. Berlari melewatiku tanpa berbicara lagi padaku sepatah kata. Aku tetap berpikir terhadap waktu-waktu yang melewati telah berderap lalu sekilas dan terasa kurang dari sedetik saja. Tumpukan berbagai agenda kejadian kehidupan seperti tertekan ke bawah lantas menjadi lebih tipis belaka. Saat aku berbalik lagi menutup pintu tanpa perasaan apa pun, kenangan yang tak diinginkan itu tiba-tiba bagaikan sekelebat cahaya yang masuk ke dalam tempurung kepala. Persahabatan kami yang dalam bentuk terbungkus kemalangan itu jauh lebih kuat ikatannya ketimbang sekawanan burung, bila salah satu dari mereka mati atau sayapnya patah tidak akan ada yang mengidahkan. 

Esok harinya, aku masuk kantor lalu melihat kilas papan pengumuman: pergantian Branch Manager  di situ potret Rustam terpampang beserta nama lengkap. Pada saat yang sama ketika itu ia melewatiku dari belakang. Kami saling bertatapan. Ah, lagi… . Tatapan itu pikirku begitu tajam dan penuh keyakinan. Tetapi kali ini –untuk terakhir ini ia berbicara padaku dengan kata-kata sesingkat sapaan dan garis senyuman. Selanjutnya ia tidak pernah lagi berbicara kepada siapa pun hanya terlepas untuk hal kepentingan saja.

 

 

Dion Rahmat Prasetiawan. Lahir di Pekanbaru pada tanggal 28 Agustus 1997. Pegiat sastra di komunitas Suku Seni Riau. Whatsaap: 083185104021. Instagram: Dion_R.Pra.