Ibu yang Tidak Pernah Duduk di Meja Makan

20/08/2025

 

Entah sudah malam ke berapa dalam perjalanan panjang hidup ibu, ia habiskan dengan berdiri, menyajikan hidangan, menuangkan teh, memunguti piring kotor. Sementara yang lain duduk santai di kursi, mengelilingi meja yang penuh makanan, ibu tetap berdiri di sudut ruang, tersenyum, sesekali tertawa kecil, tetapi tak pernah benar-benar ikut makan.

Sejak kecil, pemandangan itu tertanam dalam benakku seperti lukisan lama yang tak pernah berubah. Ibu bukan hanya tidak duduk, ia juga tidak pernah mengambil sendok lebih dulu, tidak menyentuh lauk sebelum yang lain selesai, tidak bersandar meski tubuhnya letih. Ada sesuatu dalam caranya berdiri yang seperti bagian dari rumah itu sendiri. Seolah-olah, jika ibu duduk, maka keseimbangan dunia akan runtuh.

Aku pernah bertanya ketika masih kanak-kanak, polos dan belum belajar diam, "Bu, kenapa Ibu enggak duduk?"

Ibu mengelus kepalaku dan tersenyum. "Sudah begini seharusnya, Nak."

Begini seharusnya. Kalimat itu menggantung lama di udara, menempel di langit-langit rumah, di dinding dapur, bahkan di buku pelajaran sekolah. Lama-lama aku pun berhenti bertanya. Mungkin karena aku mulai mengerti, atau karena semua orang di sekitarku tidak pernah merasa perlu untuk mengerti.

Hari-hari terus berlalu. Aku tumbuh, belajar memasak, mencuci, menyusun piring, dan berdiri dalam diam seperti ibu. Dalam banyak hal, aku mencintai peran-peran itu. Ada semacam kebanggaan ketika aku bisa membuat orang lain merasa nyaman. Tapi kadang, ada perasaan asing yang menyelinap diam-diam. Perasaan bahwa diriku hanya hidup untuk melayani, bukan untuk hadir sebagai manusia utuh.

Saat aku dewasa dan menikah, rumah tangga yang kubentuk pun mulai menyerupai rumah masa kecilku. Tak kusadari, aku ikut mengulang pola, menyeduh teh, menyiapkan meja, menunggu yang lain makan lebih dulu. Bukan karena ada yang memaksa, tapi karena tubuhku seperti telah diprogram untuk itu.

Suamiku bukan lelaki jahat. Ia hanya laki-laki biasa, yang tumbuh dari dunia yang mengajarinya bahwa laki-laki duduk lebih dulu, dan perempuan baru makan setelahnya. Ia menyebutku istri yang baik jika aku bekerja tanpa bersuara, dan menyebutku pembangkang jika aku bertanya balik.

"Kalau semua kau kerjakan sendiri, kau akan jadi istri yang hebat," katanya suatu malam, sambil menyelonjorkan kaki di sofa. Sementara aku mengangkat galon air dan mengganti isinya sendirian.

Aku mulai lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Malam-malam terasa panjang, meja makan menjadi panggung di mana aku memainkan peran tanpa dialog. Aku tak tahu kapan tepatnya dorongan itu muncul, tapi suatu malam, aku duduk. Bukan karena makanan sudah habis atau pekerjaan selesai, aku hanya merasa perlu duduk. Untuk pertama kalinya, aku menarik kursi dan menaruh diri di atasnya.

Dunia tidak runtuh. Rumah tidak terbakar. Tapi aku tahu, sesuatu telah berubah.

Suamiku menatapku lama, seolah menunggu penjelasan. Ia tidak marah, tidak juga bicara. Tapi sorot matanya membuatku merasa seperti telah melanggar aturan yang tak tertulis. Tatapan yang mengatakan bahwa aku telah merusak skenario yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Keesokan harinya, kabar tentang "aku yang duduk" menyebar lebih cepat dari bau rendang. Beberapa tetangga mulai berspekulasi, ibu-ibu arisan tertawa kecil sambil menyebutku "perempuan keras kepala". Bahkan adik iparku mengingatkanku agar tidak terlalu banyak protes jika ingin rumah tangga awet. Yang paling menyakitkan adalah ketika ibu datang, duduk di ruang tamu rumahku, dan dengan suara lirih tapi tegas berkata,

"Apa yang kamu lakukan, Nak? Duduk sebelum semua selesai? Suami itu harus dihormati. Perempuan tidak boleh mendahului. Ibu malu."

Aku tidak menangis, tidak membantah. Tapi hatiku seperti diremas dari dalam. Ibu, perempuan yang paling aku hormati, yang seharusnya mengerti, justru menyuruhku kembali berdiri. Apakah seumur hidupnya ia berdiri karena pilihan, atau karena tidak pernah diberi kesempatan untuk duduk?

Aku ingin bertanya itu, tapi tidak sanggup.

Sejak saat itu, aku mulai memperhatikan lebih dalam. Bukan hanya pada diriku sendiri, tapi juga pada ibu-ibu lain di sekitar. Betapa banyak dari mereka yang tak pernah duduk di meja makan. Bahkan saat pesta keluarga, saat lebaran, saat ulang tahun anak-anak mereka sendiri. Mereka selalu berada di dapur, atau berdiri di dekat meja, memastikan piring terisi, memastikan semua bahagia. Tapi siapa yang memastikan kebahagiaan mereka?

Beberapa bulan setelahnya, ibu pergi meninggalkan dunia. Tidak mendadak, tapi juga tidak sempat bicara banyak. Ia hanya menjadi semakin sunyi hari demi hari, sampai tubuhnya menyerah. Tidak ada pesan terakhir, tidak ada kata-kata bijak. Hanya keheningan.

Setelah pemakamannya, aku membersihkan rumah masa kecil kami. Dapur masih sama seperti dulu, meja kayu yang tergores pisau, panci besar yang digantung di dinding, dan rak usang di sudut dekat jendela. Di sanalah aku menemukan sebuah buku resep tua, sudah pudar dan lapuk dimakan waktu.

Ada catatan tentang sambal balado, tentang gulai ayam, bahkan tentang resep kolak pisang yang dulu selalu kusukai. Tapi di halaman paling belakang, tersembunyi di balik catatan resep semur dan gulai, kutemukan sepucuk tulisan tangan ibu. Tinta biru yang hampir luntur:

"Aku pernah duduk. Sekali saja. Lalu aku dipukul dan diusir. Aku kembali dengan luka di tubuh dan anak dalam perut. Sejak itu aku berdiri. Bukan karena takut. Tapi karena berharap anakku bisa duduk suatu hari. Dan sekarang kau sudah melakukannya. Duduklah. Dan jangan berdiri untuk siapa pun."

Tanganku gemetar. Napasku tersengal. Surat itu bukan pengakuan, ia adalah warisan. Ibu yang selama ini kuanggap pasrah, ternyata sedang melindungiku.

Tangisku pecah pelan. Untuk pertama kalinya sejak pemakamannya, aku menangis bukan hanya karena kehilangan, tapi karena menemukan. Menemukan jejak keberanian ibu yang selama ini disembunyikan di balik diamnya. Menemukan luka-luka yang dikunci rapat agar aku tak mewarisinya.

Aku duduk malam itu. Di kursi kayu warisan keluarga, dengan teh panas di tangan dan hati yang penuh getar. Bukan karena ingin istirahat. Tapi karena kini aku tahu, hak untuk duduk bukanlah pemberian, tapi perjuangan yang diwariskan dengan diam-diam.

Dan sejak malam itu, aku berjanji, anak perempuanku akan duduk lebih awal dari aku. Lebih tegak. Lebih tenang. Di meja makan yang penuh makanan, dan bukan hanya sisa. Ia akan belajar bahwa tubuhnya berharga. Bahwa tangannya tidak harus selalu sibuk untuk dianggap berarti. Bahwa berdiri bukan satu-satunya bentuk cinta.

Ibu tidak pernah duduk di meja makan. Tapi ia berdiri cukup lama, agar aku punya tempat di sana. Kini, aku duduk. 

Suatu hari, putriku juga akan duduk tanpa rasa bersalah. Tanpa harus meminta izin.

 

Rifkah Mannaf. Lahir di Sidoarjo. Lulusan S1 Psikologi. Sedang bermukim di Yogyakarta. Menulis puisi dan prosa di sela-sela belajar memahami manusia, termasuk dirinya sendiri. Instagram @sincerelyrmannaf