Gelandangan yang Memakai Sarung Biru

07/03/2022

 “Terima kasih Pak, terima kasih banyak. Maaf saya menghalangi Bapak membuka pintu toko“.

Aku selalu menundukan kepala dan sering meminta maaf Pada orang–orang, padahal aku sungguh tidak merasa bersalah. Tapi ya.... Mau bagaimana lagi, hidup di jalanan menggelandang bukan keinginanku, aku juga tidak yakin jika ini takdir kehendak Tuhan. Sepertinya aku juga sudah lupa kapan terakhir kali Tanganku ada di atas tangan orang lain.

Hidup terasa lama bagiku, hari–hari begitu membosankan. Aku tak begitu paham tentang agama, tak mengerti caranya mendapatkan kerja. Hal yang paling damai bagiku adalah merebahkan badan di emperan toko, sambil berkhayal hidup seperti orang–orang. Tempat tidur ternyaman.

Profesiku sebagai gelandangan telah memecahkan rekor, entah sudah 9 tahun aku bolak  balik Kadipaten – Cigasong setiap harinya. Sambil menggembol sarung warna biru berisi sisa makanan dan puntung rokok yang kutemukan di jalan. Biasanya aku akan merasa berhasil ketika berjalan sampai di titik 0,073 kota Majalengka.

Waktu makanku tidak tentu, aku tidak memiliki waktu mengatur waktu makanku, karena sibuk mengamati lingkungan yang dirasa akan mengasihaniku. Jika di sepanjang jalan utama, rute menggelandangku, aku telah mendata toko–toko dan rumah mana saja yang akan memberiku makan , serta tidak rewel saat berandanya di jadikan kamar.

Sudah tiga kali aku ditangkap oleh Pol PP, rasanya menegangkan, tapi kenyang. Aku merasakan diriku seolah bekerja saat menjadi tahanan, setiap pagi membersihkan ruangan kamar mandi dan halaman depan kantor, lalu hormat kepada tiang bendera, bendera negaraku Indonesia, setelah itu aku diberi makan dan dipersilahkan tidur. Kadang aku merindukan masa–masa itu, biasanya jika yang masih berkeluarga akan dipulangkan. Namun aku tidak.

Mau bagaimana lagi, hidup sudah sejauh ini, tubuhku juga sudah menerima kelaparan dan tetap bertahan di dingin malam. Mengandalkan sarung sebagai selimut dan teras toko Sebagai pemagar angin agar tidak menabrakku.

Pada satu ketika, dalam perjalananku, aku mendengar percakapan beberapa orang di emperan toko yang akan aku singgahi sebagai peristirahatan. Mereka berbicara tentang seseorang yang meninggal, menyebutkan nama dan tempatnya. Saat itu aku mengetahui siapa orang yang tengah dibicarakan, mendengar ciri–cirinya, itu adalah kakek yang suka memarahiku di dekat toko pernak–pernik. Sebenarnya aku sedikit senang, karena mungkin aku bisa tidur hingga jam toko itu akan buka.

Keesokan harinya aku sengaja melewati toko pernak–pernik itu, namun tampak orang–orang bergegas menuju rumah kakek yang baru meninggal, karena mereka memakai sarung, aku pun mengikuti mereka memakai sarung biruku yang penuh remeh nasi. Lalu aku mendekati kerumunan. Setelah sampai aku berdiri agak jauh dari mereka, mengamati sedang ada apa orang–orang berteriak, hingga anak kecil pun banyak berkumpul.

Seseorang menghampiriku dengan semangat dan mempersiapkan kursi plastik. Aku kebingungan, tapi aku ikuti saja, bersalaman dengan orang yang mengajaku, lalu duduk seperti kebanyakan orang. Aku tidak bisa mengikuti ucapan orang–orang, karena itu aku memilih diam, melihat–lihat ke arah dalam rumah Alm. Kakek yang memarahiku. Ternyata masih banyak lagi orang lain di sana.

Waktu berlalu. Langit sudah agak gelap, orang – orang yang berkumpul mengangkat tangannya di depan dada, sambil mengucap amin. Aku mengikuti mereka. Setelah itu tanganku diangkat ada yang memberiku kresek disimpan di atas paha yang tertadah oleh sarung. Di sana aku terdiam aneh lalu penasaran, aku langsung membuka isi kreseknya. Ternyata ada nasi bungkus, kerupuk, teh gelas dan wafer. Aku senang karena mendapatkan makanan. Saat aku melihat lihat isi ternyata banyak anak kecil berlari, berhamburan, situasi ini mengingatkanku, lalu aku pun sama dengan refleks bangun lalu berlari sambil memakai sarung.

“Haduh, hah,, hehhh ,, hooh. Ada apa ya , Pol PP atau apa ya.“

Aku beristirahat di sebuah bangunan beratap bulat, sambil takut apa yang mengejar. Tapi bibirku tersenyum, mendapatkan satu paket makanan pembuka dan penutup. Tanpa pikir panjang aku santap makanan yang kudapat. Saat akan menuntaskan satu kepal nasi terakhir , ada suara kencang dalam bangunan yang kusinggahi. Tubuhku kaget namun sayang kertas nasi yang kupegang terlempar, kepalan nasi terakhir berhamburan.

Saat itu aku marah. Tapi aku baru sadar, suara yang keluar ini adalah azan. Suara yang sering kudengar setiap hari, batal amarahku, kembali terduduk lalu mewajari suara azan yang keras ini. Akhirnya aku menikmati wafer sambil bersandar di antara umpak keramik yang bertuliskan batas suci. Sungguh nyaman dan bersih tempat ini untuk dipakai beristirahat.

Lalu orang–orang kembali datang berkerumun ke arah tempatku bersandar. Aku tergegas bangun dan akan berpindah tempat, namun orang yang kutemui di tempat aku mendapatkan nasi itu juga datang dan menyapaku. Mengajaku masuk ke dalam. Aku mengikutinya, lalu dia masuk ke bangunan itu, berjalan ke arah keran air. Aku mengikuti gerak–geriknya, dia membasuh wajah, rambut hingga kaki. Aku pun sama sudah berapa lama tidak membasuh muka.

Setelah selesai aku benar–benar mengikuti orang itu masuk. Aku melewati pintu pembatas antar luar dan dalam, sungguh ruangan yang istimewa, lantainya ditutupi karpet, lampunya terang di mana–mana, wangi dan suasananya begitu damai. Aku menyesal baru mengetahui ini. Begitu orang–orang duduk aku pun ikut duduk seperti mereka, semua orang begitu bersih, rapi, dan sederhana. Tempat yang sangat nyaman dan damai, hingga tanpa sadar aku terlelap tidur.

“Pak bangun, pak.“

“Dia orang mana, kalian tau nggak?“

“Saya gak tahu, dan juga tidak ada yang tahu pak ustaz.“

“Mungkin musafir. Tapi pakaiannya sangat kotor dan kakinya hitam.“

“Bawa ke kantor desa saja apa bagaimana?“

“Coba kita bangunkan saja dulu, berarti dia sudah tidur dari magrib. Sampai kita tadarusan pun belum bangun ya. Ini sudah jam 9 malam.“

“Ya sudah bangunkan saja dulu, lalu beri dia besek karena ada lebih untuk orang yang ikut tadarusan.“

“Iya pak ustaz. Tapi susah bangun.“

Aku terkejut ! Terbangun dari tidur nyenyak, membuka mata tubuhku sudah dikelilingi banyak orang.

“Maaf, maaf , maaf saya tidak mencuri. Saya cuman ikut beristirahat maaf, maaf.“

Sambil meringkukkan badan bersujud di antara kerumunan itu.

“Hei tenang–tenang, ada apa, jangan seperti itu.“

“Maaf Pak, saya hanya menumpang tidur. Jangan pukuli saya . Saya tidak mencuri.“

“Iya tenang dulu, kamu orang mana?“

“Mmmm, maaf Pak, saya gak tahu orang mana. Saya tinggal di jalanan menggelandang.“

“Ternyata kamu gelandangan ya. Sudah–sudah angkat kepalanya, ini ada sedikit makanan.“

“Eeuuu, iya makasih Pak.“

“Kami pulang dulu, nanti kamu bersih–bersih. Mandi di kamar mandi sana.“

Saat mereka pergi beberapa lampu dimatikan. Aku kebingungan melihat cara orang-orang tadi menganggapku. Di sana aku menjadi seorang manusia yang sama derajatnya. Bangun tidur sudah disuguhi makanan. Lalu aku tertidur kembali pulas.

“Pak, bangun sudah pagi. Shalat subuh “.

Aku terbangun dari mimpiku yang indah, bapak yang baik hati tadi sudah ada membangunkanku. Kini ruangan menyala dengan terang. Aku terbangun, memakan beberapa kue yang diberikan semalam. Aku mendengarkan seseorang melantunkan azan begitu dekat. Sampai tak lama kemudian setiap manusia masuk ke dalam ruangan ini, sampai akhirnya aku menghindari mereka keluar.

“Ternyata masih gelap. Orang–orang itu begitu bersemangat, tapi mengganggu tidurku.“

Badanku yang masih berselimut sarung bergegas keluar, aku tidak membasuh muka terlebih dahulu. Karena kebiasaan yang selama ini aku lakukan. Aku bergegas keluar, kembali berjalan pada rute menggelandangku. Hari ini tubuh terasa begitu sehat. Makan kenyang dan tidur pulas.

Perjalananku di pagi buta ini adalah awal mula yang baru. Ternyata orang–orang yang pergi ke suara azan itu adalah orang–orang yang baik. Dan mestinya aku juga harus mendekati setiap ada suara azan. Aku bisa tidur sebentar di tempatnya dan mengikuti dulu beberapa ritual yang membuatku damai.

Sebagai gelandangan, tidak ada pilihan lain kecuali bertemu dengan orang yang baik dan ramah. Menganggap manusia sebagai manusia tanpa derajat yang berbeda. Mengingat hal itu, aku menambahkan data tempat yang bisa aku singgahi. Di sana tempat yang bisa merubah hidupku dan mengenalkanku kepada waktu.

 

 

Muhamad Jessa Rezky lahir di Majalengka, 13 Mei 2000. Saat ini tinggal di Blok Rabu, Desa Maja Selatan, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka. Mendaki gunung dan menulis adalah hobinya. Kesibukannya sehari-hari adalah di perpustakaan , karena baginya perpustakaan adalah ruang yang serba bisa dan serba ada. Dia aktif di komunitas literasi bernama MAJABACA. Pada tahun 2020 buku pertamanya terbit secara indie dengan judul “ Tidak beraturan “ sekumpulan puisi dari sejak Sekolah menengah pertama.  No hp : 085520742899. Instagram: @bbojes _ .Twitter: bbojes_